(Dari ancaman bencana sosial dan bencana ekologi)
Negeri Indonesia yang kaya akan sumber daya alam (SDA) pada masa silam, kini perlahan namun pasti akan meninggalkan masa “keemasannya” itu. Betapa tidak; hutan, tanah dan air sebagai sumber hidup dan kehidupan warganya kini kian terdegradasi oleh karena aktifitas eksploitasi yang tidak terkendali. Kegiatan yang mengancam keberadaan sumber daya alam melalui izin kuasa illegal logging maupun leggal logging melalui pembukaan perkebunan skala besar, pertambangan dan sejenisnya dalam skala besar kian menjadi. Hal ini otomatis memberikan dampak tersendiri seperti kian menyempitnya lahan pertanian dan terbatasnya akses warga terhadap SDA. Fenomena dari kondisi ini terasa miris bila kita melihat realita yang memang terjadi mewarnai perjalaan republik ini.
Tiada hari tanpa bencana misalnya mewarnai derap dan langkah negeri ini. Kondisi demikian kiranya dapat menjadi isyarat betapa makin rapuhnya upaya pengamanan diri agar alam tidak ”murka”. Berdasarkan catatan BNPB tahun 2010 misalnya, dalam kurun waktu 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana. Ini berarti pula bahwa setiap harinya muncul satu bencana dan atau setiap satu minggu terjadi 10 kali bencana yang terdiri dari Banjir, kekeringan, longsor, badai dan kebakaran. Fakta krisis dan bencana diatas menunjukan bahwa Indonesia dalam Situasi Darurat Ekologis.
Sebagai bagian dari wilayah nasional tersebut, Kalimantan Barat merupakan wilayah yang tidak luput dari kawasan yang turut menyumbangkan krisis terhadap lingkungannya oleh karena realita kondisi ekologi yang kian terdegradasi. Hutan, tanah dan air sebagai sumber hidup dan kehidupan masyarakat didaerah ini dalam kawasan wilayah di Kabupaten/Kota kian ”terkontaminasi” oleh karena sikap kebijakan pembangunan yang cenderung eksploitatif terhadap kekayaan sumber daya alam.
Pembukaan kawasan hutan dalam skala besar khususnya melalui konsesi perkebunan sawit dan pertambangan yang mengeruk lahan/hutan, air, bahan mineral, dan sumberdaya alam lainnya telah memberikan sejumlah konsekuensi logis-destruktif terhadap fenomena sosial dan ekologi di Kalimantan Barat. Sementara dampak positifnya hanya mampu memberikan ”kesejahteraan” dalam waktu jangka pendek sementara khususnya bagi pihak-pihak ”tangan kanan” perusahaan sementara warga yang bekerja hanya mendapatkan imbalan sesuai dengan jumlah keringat yang dikeluarkan. Sedangkan untuk masa depan, negeri ini harus bersiap menerima ulah dari ”keserakahan” manusia dengan tindakannya yang cenderung eksploitatif.
Meningkatnya suhu bumi (pemanasan global) akibat dari serangkaian aktifitas pembabatan hutan dan kawasan gambut untuk areal perkebunan skala besar, pelepasan emisi melalui aktifitas industeri dan kebakaran hutan (land cleaning) tidak dapat terelakkan mewarnai kondisi lingkungan di Bumi Khatulistiwa. Bencana banjir, kekeringan, dan kabut asap mengiringi krisis lingkungan yang terjadi. Indikasi ini kian menguatkan bahwa krisis sumber air bersih, krisis energi dan krisis pangan kedepan akan menjadi ancaman serius bila upaya-upaya proteksi ”kesungguhan untuk menjaga dan menyelamatkan ekologi” sejak dini tidak dilakukan secara massif oleh seluruh komponen bangsa. Pemerintah mestinya mengambil langkah kongkrit guna menyikapi serius fenomena ini sesuai dengan kewenangan yang dimiliki melalui kebijakan yang progres-produktif.
Hal lain dari fenomena pembukaan kawasan hutan skala besar untuk perkebunan dan pertambangan adalah munculnya ”bencana” sosial di masyarakat berupa konflik. Konflik vertikal dan horizontal sebagai dampak perluasan pembukaan investasi dalam skala besar tidak terlepas dari sebuah proses yang dibangun salah sedari awal baik oleh pihak pemerintah maupun pemilik usaha (investor). Dalam catatan Sawit Watch misalnya, sebanyak 513 konflik dalam beberapa tahun belakangan terjadi terkait dengan perkebunan sawit.
Prinsip FPIC (Free, prior, informed dan concent) yakni sebuah prinsip dengan mengutamakan masyarakat dengan kebebasannya untuk menyatakan menerima dan atau menolak sebuah investasi (pembangunan) yang disertai dengan pemberian informasi yang utuh mengenai berbagai kemungkinan yang berdampak baik maupun buruk, seringkali tidak dilakukan. Bila prinsip ini diabaikan, tentunya sudah dapat dinilai niat baik yang dimiliki pihak investor maupun pemerintah. Sehingga wajarlah kiranya bila kemudian ”bencana sosial” tersebut turut hadir lantaran upaya yang dibangun lebih banyak bersifat formalitas semata dengan hanya menggandeng oknum tertentu yang seolah sebagai refresentasi warga untuk memberikan persetujuan dalam memuluskan berbagai persyaratan administrasi dalam membangun sebuah investasi.
Celakanya, warga yang dengan sadar melakukan perlawanan dan menolak pembukaan kawasan hutan untuk babat seringkali dianggap sebagai pihak yang ”anti pembangunan”. Situasi pro dan kontra di masyarakat seringkali dimanfaatkan sebagai peluang bagi pihak investor untuk memuluskan usahanya.
Dalam sisi yang lain, pemerintah daerah di tingkat kabupaten yang memiliki kuasa untuk mengeluarka perizinan dengan mudahnya menyanggupi dan ”manut” pada pemodal tanpa melakukan konsultasi serius hingga ke masyarakat akar rumput disekitar tempat akan (telah) dibukanya usaha pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan dan sejenisnya. Persyaratan administrasi terkait kajian dampak penting terhadap lingkungan melalui dokumen AMDAL seringkali pula hanya formalitas. Kondisi demikian menunjukkan bahwa orientasi pembangunan yang dilakukan pemerintah didaerah hanya mengutamaka aspek ekonomi semata, namun mengabaikan aspek lainnya seperti kondisi sosial, budaya dan adat istiadat maupun keberlanjutan lingkungan.
Lantas, apa yang salah dari fenomena ini? Terjadinya persoalan lingkungan adalah suatu yang tidak hadir dengan sendirinya. Perampasan hak masyarakat atas akses terhadap sumber daya alam juga sangat terkait dengan political will dari pemerintah dalam mewujudkan penegakan supremasi hukum lingkungan. Pelanggaran administrasi, tumpang tindih kawasan, hadirnya mafia kasus, keterlibatan aparat, kriminalisasi masyarakat, perampasan tanah adalah deretan fenomena yang kerapkali ditemui sekaligus menjadi boomerang persoalan lingkungan disamping bencana asap, banjir, dan krisis air bersih yang akan menjadi fenomena.
Sejumlah kasus banjir yang terjadi belakangan didaerah ini. Demikian pula kasus kriminalisasi masyarakat sebagai akibat dari dibukanya perkebunan terjadi dan dialami warga di Semunying Jaya, Bengkayang (Momonus-Jamaludin), warga Silat Hulu Ketapang (Andi-Japin). Dan selanjutnya perjuangan masyarakat adat di Kabupaten Melawi. Tiga pemimpin masyarakat setempat yakni Kepala Desa Pelaik Keruap, Kepala dusun Pelaik Keruap dan Ketua RT Sungai Lalau kecamatan Menukung Kabupaten Melawi yang ingin menegakan hukum adat atas pelaku pelanggaran adat (pemerintah dan PT. Mekanica), justru ditahan dan disidangkan. Tentunya, tiga kejadian miris yang menimpa warga Kalbar ini hanya bagian kecil dari sekian banyak kasus yang dialami masyarakat sebagai akibat dari upaya atas nama pembangunan yang digaungkan selama ini.
Rencana pemerintah memasukkan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan tentu akan berdampak secara sistemik bagi kelangsungan dan keberlanjutan hutan dan ekosistem didalamnya. Jika saat ini saja ketika perkebunan belum diperbolehkan masuk dalam kawasan hutan saja, hampir seluruh areal kawasan hutan termasuk taman Nasional telah dikepung oleh perkebunan kelapa sawit, apa lagi jika ruang dan pintu kawasan hutan dibuka untuk kebun sawit. Taman Nasional di Kapuas Hulu (TNDS) adalah contoh kawasan konservasi yang kini dikelilingi perkebunan sawit namun belum ada kebijakan rill untuk menghentikan aktifitas permbukaan hutan di daerah tersebut. TNDS merupakan kawasan terpenting warga Klaimantan Barat yang kini sungguh terancam.
Dengan demikian, ancaman bencana sosial dan ancaman bencana ekologi menjadi suatu hal yang tidak terpisahkan dan sangat mungkin terjadi setiap saat dengan kondisi bumi rumah kita yang ternyata telah ”keropos”. Dan tentunya akan dapat terjadi lebih dasyat lagi sebagai akibat dari upaya-upaya eksploitasi permbukaan kawasan hutan-lahan dalam skala yang besar bila tidak dikendalikan secara serius. Sekalipun potensi gempa bumi tidak mungkin terjadi didaerah Kalbar, namun bukan berarti kita tidak perlu waspada terhadap berbagai bentuk bencana. Oleh karenanya, peran serta semua pihak baik kaum muda, para praktisi hukum, media maupun masyarakat dalam menjaga dan menyelamatkan bumi untuk masa depan menjadi penting. Kebijakan pro rakyat menjadi impian bersama.
Rakyat Indonesia umumnya dan Kalimantan Barat khususnya harus memerdekakan dirinya sendiri dan berdaulat atas sumberdaya alam yang ada. Dikarenakan kekayaan negeri ini belum di peruntukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terasa sangat miris memang manakala sebuah negeri yang dikenal kaya akan sumber daya alam namun kondisi masyarakatnya tetap saja miskin. Pengerukan lahan/hutan, air, bahan mineral, isi laut dan sumberdaya alam lainnya, hingga masa 65 tahun kemerdekaan masih terjadi dan berjalan secara sistemik. Untuk itu, WALHI Kalimantan Barat mengajak seluruh elemen bangsa (khususnya rakyat Indonesia) untuk bersama melakukan langkah persiapan Pemulihan Indonesia dan pemulihan Kalimantan Barat;
1. Memperjuangkan pemulihan lingkungan di komunitas, desa, kampung, dan kota.
2. Mempertahankan seluruh sumberdaya alam yang tersisa dari jarahan korporasi.
3. Menemukan, menguatkan dan mengakumulasi alternatif-solusi lokal maupun kearifan nenek moyang dalam memulihkan lingkungan hidup secara keseluruhan.
4. Bersama membangun proses dan menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemulihan Indonesia untuk Keadilan Lingkungan.
Melihat berbagai fenomena sosial, budaya, adat istiadat dan lingkungan sebagai bagian dari tatanan sistem nilai kemasyarakatan yang kian tersingkir oleh karena upaya atas nama pembangunan melalui eksploitasi sumber daya alam yang kian menjadi didaerah ini, melalui momentum Peringatan Hari Bumi (22 April) ini Walhi Kalimantan Barat bersama Sahabat Lingkungan Kalbar (Salak) menyerukan:
1. Hentikan perluasan pembukaan kawasan perkebunan sawit dan pertambangan skala besar di Kalimantan Barat serta maksimalkan perkebunan yang telah ada.
2. Tuntaskan berbagai kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat (Seperti kasus warga Semunying Jaya yang kini masih diintimidasi dan dibabat hutannya dan kasus warga Desa Pelaik Keruap yang memperjuangkan keadilan.
3. Tindak tegas perusahaan yang ”nakal” dan melakukan pelanggaran atas hak masyarakat dan perundang-undangan maupun ketentuan lainnya.
4. Hentikan dan tindak tegas kebijakan ekspansi pembukaan kawasan hutan di Sekitar Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS).
5. Agar masyarakat cermat melakukan penilaian dan pemilihan pemimpin yang memiliki visi serta komitmen yang sungguh-sungguh berjuang dan berpihak atas hak-hak masyarakat (adat), penyelamatan maupun perlindungan lingkungan.
Pontianak, 22 April 2010
Walhi Kalimantan Barat – Sahabat Lingkungan Kalbar
Jumat, 20 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar