Jumat, 20 Agustus 2010

Pulihkan Bumi, Cari Pemimpin Baru!!!...

Salahkah bila hutan kita tetap rimbun dan indah adanya dengan dihiasi keanekaragamanhayati yang ada didalamnya? Salahkah bila tanah yang ada dan dimiliki warga tetap terjaga? Salahkah bila sungai dan danau serta sumber air rakyat yang ada tetap bening dan bersih? Sederet pertanyaan tersebut, merupakan ungkapan kegalauan yang ada atas fenomena yang terjadi mengenai lingkungan kita disaat upaya massif penghancuran sumber kehidupan terus terjadi di negeri ini. Label sebagai penghasil emisi diurutan ketiga dunia, agaknya belum cukup bagi negeri ini (Indonesia) untuk terus meningkatkan prestasi buruk lainnya terkait dengan kerusakan ekologi.

Tiada hari tanpa bencana misalnya mewarnai derap dan langkah negeri ini. Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2010 misalnya, dalam kurun waktu 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana terkait ekologi. Di Indonesia, hingga tahun 2010 sebanyak 630 konflik terkait perkebunan sawit (Sawit Watch, 2010). Sedikitnya 200 konflik perkebunan monokultur terjadi di Kalbar (Walhi, 2010). Fakta krisis dan bencana di atas menunjukan bahwa Indonesia dalam Situasi Darurat Ekologis.

Bagi warga Kalimantan Barat khususnya, HUTAN-TANAH-AIR yang ada di dalam perut Bumi ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan. Ketiga hal tersebut merupakan “apotik” dan “supermarket” yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. HUTAN-TANAH-AIR merupakan asset rakyat yang terkandung nilai historis. Keberagaman latar belakang etnisitas, adat istiadat maupun budaya yang merupakan bagian yang tak terpisahkan sebagai identitas warga yang sangat terkait dengan ketiga hal dimaksud sebagai suatu hal yang penting.

Namun demikian, keberadaan HUTAN-TANAH-AIR yang adalah “nafas” bagi hidup dan kehidupan warga Kalbar kian terancam seiring dengan ambisi pemodal (investor) yang didukung penguasa (pihak pemerintah) dengan memberikan izin skala besar pembukaan investasi di daerah ini. “Perselingkuhan” antara pemodal dan penguasa yang hanya mengedepankan aspek ekonomi semata, namun mengabaikan aspek sosial, budaya, adat istiadat warga serta mengabaikan aspek keberlanjutan ekologi kian memastikan bumi rumah kita mengalami degradasi. Degradasi oleh karena berbagai hal, dan bahkan deforestasi terus terjadi hingga saat ini yang diamini kebijakan pemerintah yang selalu berdalih untuk “kesejahteraan” dan atas nama “pembangunan” untuk kepentingan umum. Fenomena paradoks begitu kentara disaat harapan pemerintah agar rakyatnya menjaga HUTAN-TANAH-AIR dari kehancuran, sementara disisi lain kebijakan negara melalui aparat pemerintah terkait justeru merestui pembabatan kawasan secara “legal” seperti misalnya melalui pemberian izin maupun melalui sejumlah regulasi untuk di bukanya hutan dalam skala besar melalui perkebunan monokultur (sawit) maupun pertambangan dan sejenisnya.

Dampak lingkungan dari kebijakan yang cenderung merugikan ini (pembabatan kawasan ekologi) dapat dirasakan akhir-akhir ini seperti; suhu bumi yang kian terasa panas, musim tidak menentu, naiknya permukaan laut yang dipicu mencairnya es dibelahan bumi, polusi udara yang mengganggu kesehatan, hasil tangkapan nelayan yang kian berkurang, hasil pertanian yang terancam gagal panen, hilangnya sumber air bersih, banjir, bencana kekeringan, terancamnya keberadaan flora dan fauna endemik dan sejumlah dampak lainnya. Sedangkan dampak sosial yang terjadi misalnya muncul konflik di masyarakat karena kebijakan monopoli yang berujung perampasan hak atas tanah rakyat, kriminalisasi rakyat, hancurnya budaya, sumber pangan-papan rakyat dari hutan terancam hilang. Fenomena akan terus meningkatnya suhu bumi kian diperparah dengan dikeluarkannya regulasi yang membolehkan kawasan hutan gambut dikonversi untuk perkebunan sawit (Permentan Nomor : 14/Permentan/PL.110/2/2009). Kawasan penyimpan karbon ini bila dieksploitasi, justeru akan menghasilkan emisi tambahan gas rumah kaca (GRK).

Berkaca dari fenomena dan realitas yang terjadi, peran pemerintah Pusat, Propinsi maupun Daerah (Bupati) sangat menentukan dalam pelaksanaan pembangunan berkeadilan, pro rakyat dan pro ekologi, khususnya di Kalimantan Barat. Karenanya, dengan penuh kesadaran, kami menyerukan;

1. Mengajak warga Kalbar (khususnya di enam kabupaten yang akan menyambut pesta Pilkada) untuk Cerdas, Cermat, dan Rasional dalam memilih calon pemimpin baru yang memiliki komitmen untuk berjuang bersama rakyat dan memiliki komitmen penyelamatan ekologi.
2. Hentikan kebijakan eksploitasi dan penghancuran atas SDA melalui Perkebunan sawit dan Pertambangan yang mengancam sumber kehidupan, kondisi sosial, budaya, adat istiadat maupun mengancam ekologi yang kaya akan keanekaragaman hayati di Kalbar.
3. Mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersatu melawan berbagai bentuk kebijakan dan upaya-upaya perusakan ekologi di Kalbar.
4. Hentikan kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan hak-haknya.
5. Tindak tegas pelaku dan atau oknum ”mafia” perusak lingkungan.
6. Hargai dan kembalikan hak masyarakat adat dalam menjaga dan melestarikan ekologi dengan kearifan lokal yang dimiliki.

“Bumi rumah kita sedang “sakit”, tapi jangan ditambah sakit!!! Mari pulihkan, cari pemimpin baru yang pro rakyat dan pro keberlanjutan Ekologi!!!....”


Pontianak, 17 Mei 2010

Aliansi Pro Ekologi;
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat
- Aliansi Kalimantan Rescue (Akar)
- Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Pontianak
- Gerakan Mahasiswa Pencinta Alam (GEMPA) FISIP Untan
- HIBER Universitas Tanjungpura
- Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Pontianak
- Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Pontianak.
- Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Pontianak
- Mahasiswa Pencinta Alam (MATA) Universitas Muhammadiyah Pontianak
- Sahabat Lingkungan Kalimantan Barat (Salak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar