Rabu, 29 September 2010

Jangan Paksakan Rakyat Menyerahkan Alat Produksinya!

Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Di Semunying Jaya (Momonus-Jamaludin) Kabupaten sejak beberapa tahun silam dua orang warga dipenjara karena berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan sumber daya alamnya yang digusur tanpa permisi oleh perusahaan sawit (PT. Ledo Lestari).

Selanjutnya juga terjadi penahanan tiga warga Keruap Pelaik di Kabupaten Melawi atas persoalan yang tidka jauh berbeda. Di Ketapang, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) yang berjuang mempertahankan tanahnya atas konsesi sebuah perusahaan Sawit (PT. BNM) adalah deretan persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Terlebih upaya yang terjadi dan dialami masyarakat adat seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga.

Pihak perusahaan yang mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam melakukan usahanya membuka kasawan hutan untuk perkebunan sawit seringkali menggunakan jargon untuk mensejahterakan rakyat. Warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang sebuah investasi yang akan dibangun dalam suatu daerah. Sedikitnya ada empat mitos yang seringkali dilakukan untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat walaupun dalam kenyataannya dilapangan lebih banyak masuk karena “dipaksakan”.

Keempat hal tersebut adalah; mengenai akan membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat. Keempat dalih pembangunan investasi ini seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain. Keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila kita telaah lebih kritis. Karena pada kenyataannya sesungguhnya, warga kita di daerah pedalaman sana tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan.

Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menorah karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup. Sebaliknya, justeru sesungguhnya pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir. Dalih ini juga terlalu mengada-ada. Yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya. Seakan-akan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan.
Jadi seharusnya tidak ada sistem barter. Rakyat di daerah memang membutuhkan perbaikan jalan, silahkan dibangun oleh Negara (pemerintah). Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga. Demikian halnya juga dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Faktanya saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil. Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki. Demikian juga dalih kesejahteraan. Siapa yang berani menjamin, bila perkebunan masuk dalam suatu wilayah maka warga setempat akan sejahtera?

Kasus yang menimpa dua orang ibu rumah tangga di kampung Sanjan Emberas di Kabupaten Sanggau beberapa waktu lalu yang dikriminalisasi adalah sebuah realita dimana keterbatasan akses terhadap tanah karena telah dikuasai oleh perusahaan. Hanya karena mengambil ”sisa” brondolan sawit yang tidak lagi terpakai, sampai-sampai pihak managemen perusahaan perkebunan sawit memprosesnya hingga ke jalur hukum positif. Pada hal seharusnya bisa diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan. Kondisi ini mengambarkan betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit.

Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) dengan perlindungan sejumlah oknum ”aparat” seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya. Di kampung Sejirak, Kecamatan Ketungau Hilir beberapa waktu lalu, kriminalisasi dialami oleh sebanyak 15 orang warga (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten.

Bila memang harus melapor, maka sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. Atau bahkan dihentikan proses hukum ini! Pihak pelapor juga hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini. Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ”nekad” tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti. Pihak eksekutif juga harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga Sejirak yang dilaporkan oleh pihak PT. Finnantara Intiga (saat ini dimiliki Sinar Mas Groups dan Inhutani III).

Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor. Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Negara melalui pemerintah hendaknya memberikan ruang bagi rakyat untuk melakukan pengelolaan terhadap alat produksinya. Jangan paksakan mereka dengan gaya pembangunan yang justeru mengancam keberadaan ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat.

[Hendrikus Adam, Walhi Kalimantan Barat]

Sabtu, 11 September 2010

Mengungkap Fakta, Meluruskan Informasi Soal Semunying

Pada hari ini, Minggu 29 Agustus 2010 pukul 13.00 wiba - selesai bertempat di Aula Gedung PSE KAP Jalan WR. Supratman Nomor 100, telah dilangsungkan Konferensi Pers mengenai kasus Semunying Jaya dan Pelurusan Informasi oleh warga Semunying Jaya terkait penayangan acara OASIS bertajuk "Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan"

Mengungkap Fakta,
Meluruskan Informasi Soal Semunying
(Pers Release)
Sifat: Untuk disiarkan segera

Perjalanan panjang kasus yang menimpa anak negeri di sekitar Perbatasan yakni warga Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang propinsi Kalimantan Barat terkait dengan ekspansi PT. Ledo Lestari anak perusahaan Duta Palma Group yang sejak awal hadir tanpa permisi kepada warga, belum menemukan penyelesaian. Penyerobotan atas lahan dan kawasan hutan adat milik masyarakat Desa Semunying Jaya untuk perkebunan sawit PT. Ledo Lestari yang mulai beroperasi sejak Maret 2005 itu telah menimbulkan dampak destruktif berupa konflik dan keresahan warga. Bahkan dua orang tokoh masyarakat yang berjuang bersama warganya dalam mempertahankan kedaulatan dan hak-hak (atas hutan-tanah-air) warga setempat sempat dikriminalisasi hingga masuk wisma prodeo (bui) dengan tuduhan pemerasan dan perampasan.

Peran pihak Pemerintah kabupaten Bengkayang dan pihak terkait lainnya diharapkan dapat menyelesaikan persoalan. Namun faktanya, tidaklah demikian. Pemerintah Daerah lamban dan bahkan terkesan mengulur-ulur waktu dalam proses penyelesaian polemik yang terjadi. Dengan memahami duduk persoalan yang dialami warga Desa Semunying Jaya, seharusnya pemerintah Bengkayang yang sesungguhnya memiliki kompetensi malah tidak punya ”taring” dalam memberi solusi bagi warga. Akibatnya, persoalan yang dihadapi warga yang berjuang dan bahkan pernah membawa kasus ini ke Komnas HAM dan sejumlah instansi terkait lainnya malah tak kunjung tuntas. PT. Ledo Lestari sendiri telah habis masa izinnya sejak tahun 2007 sebagaimana ditegaskan surat pejabat Bupati Bengkayang.

Kondisi dan dinamika sosial di lingkungan masyarakat Semunying Jaya yang cenderung menimbulkan gejolak dan sejumlah potensi kerawanan sosial oleh karena dampak dari pembangunan perkebunan sawit (PT. Ledo Lestari) yang merusak kawasan kelola warga dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Singkat kata, kondisi dan dinamika kehidupan masyarakat sejak dibukannya perkebunan monokultur di daerah Semunying Jaya masih ”jauh panggang dari api”. Masih jauh dari harapan dan janji manis (kesejahteraan) seperti yang selama ini diwacanakan oleh para pendukung investasi perkebunan skala besar. Fakta dan realita seperti ini menjadi penting dipahami secara bersama sebagai bentuk kegagalan dari kebijakan pembangunan investasi yang mendapat restu dari pejabat daerah. Namun demikian, fakta dan realita yang terjadi dan dialami warga setempat bisa saja menjadi kabur bila dalam proses penyampaian informasi kepada publik jika mengabaikan nilai objektifitas dan rasa keadilan bagi warga.

Hadirnya suguhan informasi di media massa elektronik swasta nasional (Metro Tv) melalui acara OASIS dengan judul “Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan” yang ditayangkan beberapa waktu terakhir (5 Agustus 2010) terasa menyayat hati. Bahkan dapat menambah kian kompleksnya persoalan yang dihadapi warga Semunying Jaya. Sebuah tayangan yang menampilkan seakan-akan warga Semunying Jaya telah meraih kesejahteraan dengan hadirnya perusahaan sawit selayaknya dikritisi karena telah mengaburkan hakikat dari kondisi yang sesungguhnya. Dengan demikian, keprihatinan mendalam memang sepantasnya dirasakan oleh warga Semunying Jaya khususnya dan oleh warga negeri ini pada umumnya atas penayangan berita tersebut yang justeru berpotensi memicu kian menguatnya polemik (baru) di masyarakat. Penayangan berita dalam program OASIS tersebut berpotensi menimbulkan konflik baru, karena telah menutupi realitas dengan menapikkan kondisi sosial kemasyarakatan di wilayah Desa Semunying Jaya yang sesungguhnya.

”Sebagai Kades Semunying Jaya, saya yang tahu situasi maupun kondisi masyarakat kami di sana. Apa yang disebutkan seakan telah sejahtera itu tidak benar karena tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Kenyataannya saat ini sekitar 99% warga Desa Semunying Jaya kondisinya masih miskin. Telah banyak kasus kami alami sejak masuknya PT. Ledo Lestari yang belum tuntas hingga saat ini. Kami juga tidak pernah mengadakan ritual adat yang merestui permbukaan hutan untuk areal perkebunan PT. Ledo Lestari,” ungkap Momonus, Kades Semunying Jaya.

Pernyataan lainnya juga disampaikan Jamaludin, Nuh Rusmanto dan Abulipah. ”Kami merasa dilecehkan dan merasa malu dengan penayangan soal Semunying Jaya itu. Banyak orang yang menganggap kami telah sejahtera dengan hadirnya PT. Ledo Lestari, tetapi kenyataannya tidak demikian. Hal ini berpotensi memicu konflik antar warga di daerah kami. Media kiranya dapat menyajikan berita yang sesuai dengan fakta dan realita di lapangan,” jelas Jamaludin warga Desa Semunying Jaya yang juga sebagai Wakil BPD.

“Apa yang di tayangkan sangat jauh dari kenyataan yang ada di Semunying Jaya,” sambung Nuh Rusmanto yang juga Ketua BPD Semunying Jaya. Sedangkan Abulipah yang juga Sekdes Semunying Jaya mengatakan; “Kami sebagai masyarakat sangat terpukul sekali dengan penayangan liputan tersebut, karena kenyataannya tidak demikian. Justeru, kondisi ekonomi masyarakat Semunying Jaya masih jauh lebih baik sebelum perusahaan masuk di daerah kami,” ungkapnya.

Sebagai manusia yang dianugerahi naluri, pernyataan warga Desa Semunying Jaya ini sungguh naluriah sebagai bentuk kegelisahan. Terlebih bila peliputan video tayangan program OASIS di Metro Tv itu tanpa sepengetahuan pemerintah di Desa. Tanpa harus dijelaskan, bila kita berada pada posisi sebagai warga Semunying Jaya pun perasaan prihatin dengan pemberitaan yang tidak sesuai kenyataan pasti akan dialami.

Tentu saja harus diakui bahwa hadirnya sejumlah penayangan dan pemberitaan oleh media massa selama ini telah banyak membantu khususnya dalam menyuguhkan berbagai informasi kepada khalayak ramai. Namun demikian, masyarakat umum pun kiranya perlu dididik dan dicerdaskan melalui penayangan maupun pemberitaan media massa yang ada dengan menyajikan fakta maupun realita secara objektif dan bukan malah ”mengarang” sebuah pemberitaan tendensius dan “menyesatkan”.

Guna mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan atas fakta dan realita dimaksud, maka kami memandang perlulah kiranya meluruskan informasi terkait dengan kondisi yang dialami warga Semunying Jaya seperti yang ditayangkan oleh Metro Tv melalui acara OASIS tersebut dengan sejumlah argumentasi sebagai berikut;

1. Bahwa dalam liputan program OASIS ”Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan” lebih banyak menyorot lokasi kebun sawit milik PT. Ceria Prima yang terletak di Desa Kalon, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang. Dan bukan berada di Desa Semunying Jaya. Perlu diketahui bahwa kebun sawit yang berada di Desa Semunying Jaya baru usia 3 tahun tanam (belum produktif).
2. Perlu diketahui bersama bahwa salah satu narasumber yang bernama Supardi bukan warga Desa Semunying Jaya, melainkan warga Pasir Putih, Kecamatan Seluas yang berprofesi sebagai Humas PT. Ledo Lestari.
3. Bahwa jembatan yang ditampilkan dalam tayangan liputan program acara OASIS di Metro Tv tersebut, bukan berada di Desa Semunying Jaya, melainkan berada di Desa Sinar Baru.
4. Bangunan Masjid yang terlihat dalam tayangan liputan tersebut bukan berada di Desa Semunying Jaya, tetapi berada di Desa Kalon, Kecamatan Seluas. Tidak ada bangunan Masjid di Desa Semunying Jaya, mayoritas penganut agama Kristiani.
5. Bahwa gedung Sekolah Dasar (SD) dan proses belajar mengajar yang diliput bukan berada di Desa Semunying Jaya, tetapi berada di Desa Sinar Baru dan Desa Kalon, Kecamatan Seluas.
6. Bahwa usaha koperasi yang diliput dalam program OASIS tersebut merupakan koperasi milik PT. Ceria Prima yang berada di Desa Kalon, kecamatan Seluas. Bukan di Desa Semunying Jaya.
7. Bahwa tidak ada pembukaan lahan perkebunan sawit oleh PT. Ledo Lestari yang dilakukan secara adat seperti yang di tuturkan oleh narasumber (Pak Dum Jampung).
8. Bahwa perumahan yang dibangun oleh perusahaan (sebanyak 22 unit) sebagaimana ditayangkan merupakan bagian dari motif perusahaan untuk memindahkan warga Semunying Bungkang (RT. 02), sementara lokasi (perkarangan) rumah lama warga setempat akan dijadikan lahan kebun sawit oleh pihak perusahaan. Masih ada 6 KK yang bertahan, tidak mau menyerahkan pekarangan rumah mereka.
9. Pernyataan Supardi yang mengatakan bahwa; ”jarak tempuh dari Semunying Bungkang ke kota Bengkayang dulunya di tempuh dalam 1 Minggu, namun setelah perusahaan masuk bisa ditempuh dalam waktu 2 jam” adalah tidak mendasar. Karena faktanya, jarak tempuh dari Semunying Bungkang ke kota Bengkayang saat ini bila menggunakan sepeda motor saja membutuhkan waktu tempuh selama ± 5 jam.

Sejumlah poin argumentasi ini hendaknya dapat menjadi catatan penting untuk meluruskan informasi yang cenderung mengaburkan fakta dan realita yang sejatinya dialami warga Semunying Jaya. Hendaknya hal ini dapat menjadi pelajaran dan ”peringatan” bersama semua pihak, khususnya kalangan perusahaan media massa agar dapat lebih objektif dan profesional menyajikan informasi yang mendidik dan mencerdaskan masyarakat.

Dengan demikian, kiranya berbagai pihak terkait (Pemerintah, legislatif, Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Forum RSPO, lembaga keuangan yang mendanai investasi perusahaan, pembeli CPO/buyer, pihak penegak hukum, dll) diharapkan dapat mengambil tindakan tegas dan serius sesuai peran maupun kewenangannya atas kondisi yang memprihatinkan ini. Pemerintah Pusat juga selayaknya mengkaji mega proyek sawit perbatasan yang pada realitanya justeru cenderung mendiskriminasi seperti yang dialami warga Desa Semunying Jaya.

Pemerintah Daerah dan pihak terkait lainnya yang berkompeten hendaknya dapat segera menuntaskan masalah yang di hadapi warga. Kondisi Semunying Jaya kini tak se ”jaya” namanya. Masyarakat Semunying Jaya adalah bagian dari anak negeri ini yang ingin tetap berdaulat atas pengelolaan sumber daya alam dan dihargai seperti warga negara lainnya. Kembalikan kejayaan dan kedaulatan warga Semunying Jaya!

Pontianak, 29 Agustus 2010

Warga Semunying Jaya:

Hentikan Kriminalisasi Terhadap MA!

Oleh Hendrikus Adam*

Keberadaan masyarakat di daerah pedalaman khususnya Masyarakat Adat (MA) adalah bagian dari warga di republik ini yang memiliki hak yang sama untuk diperlakukan sebagaimana mestinya secara beradab. Hal ini didasarkan pada pemahaman universal yang harusnya mengakar dalam pemahaman yang sama bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai makhluk ciptaanNya. Sehingga dengan demikian selayaknya dihargai.

Keberadaan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari segala potensi sumber daya alam yang ada di perut bumi adalah sebuah realitas dari kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Bagi masyarakat Dayak khususnya, berbagai aspek kehidupan seperti hutan; tanah dan air merupakan tiga komponen sumber hidup dan kehidupan yang sangat vital sebagaI penunjang keberlangsungan hidup. Hutan, tanah dan air merupakan ”apotik” dan ”supermarket” bagi masyarakat adat. Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antar satu sama lain.

Namun demikian, seiring dengan perkembangan iklim investasi atas nama pembangunan dengan dalih kesejahteraan dalam berbagai bidang kehidupan yang disertai dengan ”nafsu serakah” dari segelintir oknum tertentu saja, kekayaan sumber daya alam disekitar lingkungan tempat tinggal yang merupakan wilayah kelola masyarakat adat kini terancam. Masyarakat adat ”dipaksa” dan terpisah dari sumber hidup dan kehidupanya (hutan-tanah-air). Aset sumber daya alam rakyat berangsur-angsur mengalami kepunahan.

Masuknya investasi perkebunan skala besar dalam bentuk apapun (perkebunan sawit, HTI dan lainnya) diwilayah kelola masyarakat adat yang sejak belasan bahkan puluhan tahun silam dan hingga kini, marak dilakukan sebagai buah dari kebijakan penguasa karena telah memberikan perizinan tanpa memberikan informasi yang utuh bagi masyarakat akhirnya melahirkan sejumlah konsekuensi logis. Juga bahkan berakhir tragis dan memprihatinkan. Pasti dapat dibayangkan ketika akses sumber daya alam di wilayah kelola warga dikuras untuk kepentingan pemodal, maka yang terjadi masyarakat setempat kehilangan sumber hidup dan kehidupannya. Hutan, tanah dan air yang awalnya utuh harus berubah menjadi hamparan tanaman yang sesungguhnya tidak biasa dengan kondisi masyarakat lokal. Bahkan sumber air menjadi rusak dan tanah tidak lagi menjadi hak milik karena ”diambil” para spekulan yang mengaku menanamkan investasi. Celakanya, masyarakat adat yang kemudian sadar melakukan perlawanan menolak masuknya investasi namun disadari akan mengancam keberadaan wilayah kelola mereka seringkali dianggap sebagai pihak yang kolot, bodoh dan tidak tahu diuntung. Bahkan dianggap menolak pembangunan. Adalah benar bahwa masyarakat adat menolak pembangunan yakni pembangunan yang menindas dan mengancam kehidupan dan masa depan mereka.

Sejumlah istilah-istilah yang kemudian berpotensi ”membodohi” seringkali digunakan untuk menjebak dan membuat warga sebagai pemilik lahan kelola terbuai dan bahkan tidak berdaya, seringkali disuguhkan seperti; lahan tidur, tanah negara, orang gajian, karyawan, kantor, upah dan istilah lainnnya. Istilah-istilah ini harusnya disadari oleh warga kita saat ini. Terasa sangat aneh misalnya ketika ada pihak lain yang seakan ”risih” dan kemudian mengatakan bahwa lahan kelola disekitar masyarakat dianggap sebagai ”lahan tidur” dan juga seringkali mengklaim bahwa tanah yang dipertahankan rakyat adalah tanah negara. Tanah memang organ vital sebagai sumber produksi penting bagi kelangsungan hidup warga. Namun demikian, harusnya tidak perlu ada”oknum para spekulan” yang merasa risih ketika hutan-tanah-air yang ada disekitar perkampungan masyarakat tetap alami dan apa adanya disaat masyarakat setempat masih mengandalkan sumber kehidupan dengan cara yang dilakukan selama ini seperti menoreh, bertani, berburu dan lainnya. Karena tanah yang dianggap ”lahan tidur” itu juga pada akhirnya akan dikelola oleh karena keluarga mereka akan terus bertambah dari waktu kewaktu. Sikap menjaga hutan-tanah-air dengan tidak menghabiskan/menghabiskan segala potensi sumber daya alam yang ada seperti ini harusnya diapresiasi oleh berbagai pihak (termasuk penguasa) sebagai bentuk dari kebijakan dan ketidakserakahan masyarakat adat, namun tetap berorientasi pada masa depan.

Demikian pula dengan istilah-istilah seperti; orang gajian, karyawan, kantor, upah dan istilah lainnnya yang harus diakui sebagai bagian dari ”jurus” para spekulan untuk membuai rakyat pemilik lahan kelola, namun seringkali tidak pernah disadari. Dengan sebutan dari istilah seperti ini seringkali membuat warga merasa sebagai orang yang memiliki ”kelas sosial” yang tinggi, sekalipun hasil keringat yang diterima masih jauh dari harapan. Namun demikian, perlu disadari bahwa apapun istilah yang digunakan dalam dunia investasi skala besar yang menyertakan sekelompok orang menjadi tenaga kerja bahwa posisi mereka sesungguhnya adalah sebagai buruh. Tentu kondisi ini sangat berbeda dengan keberadaan seseorang atau sejumlah orang-orang yang berpropesi sebagai petani karet yang juga biasanya melakukan aktifitas berladang, mereka bukan hanya sebagai pemilik namun juga sebagai tuan atas usahanya sendiri. Ini berarti bahwa setiap orang yang bekerja sebagai petani karet tidak perlu merasa rendah diri, sebaliknya tetap banggalah dengan predikat ini.

Atas berbagai dinamika dan sejumlah motif yang dilakukan para spekulan, rakyat dituntut untuk mawas diri dan berhati-hati. Dengan demikian layak kiranya kita ragukan niat baiknya bila ada para spekulan maupun pihak asing yang merasa ”risih” dengan hutan-tanah-air yang dimiliki masyarakat adat saat ini. Sebuah refleksi berikut kiranya pantas menjadi catatan penting: Salahkah bila kondisi HUTAN yang ada disekitar lingkungan masyarakat adat tetap utuh?; Salahkah bila TANAH yang ada tetap dimiliki oleh rakyat tanpa harus diserahkan pada para spekulan?; Salahkah bila kondisi AIR (sungai dan berbagai sumber air) yang ada tetap bening dengan kesejukan alaminya? Tentu, ketiga sumber hidup dan kehidupan ini diharapkan tetap menjadi kebanggaan kita bukan? Dan hanya orang serakah yang akan menyangkal dan mengatakan tidak setuju dengan sejumlah pertanyaan refleksi tersebut.

Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Kasus Penangkapan dua warga Semunying Jaya (Momonus-Jamaludin) tahun 2006 silam di Bengkayang, penahanan tiga warga Keruap Pelaik di Melawi, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) di Ketapang yang berjuang mempertahankan tanahnya adalah sejumlah persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa peran negara masih sangat rapuh dalam melindungi hak-hak warganya. Demikian halnya dengan kriminalisasi terhadap dua orang ibu rumah tangga di Sanggau yang mengambil ”sisa” brondolan sawit yang tidak lagi terpakai adalah sisi lain dari sebuah realitas yang terjadi akhir-akhir ini, betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit. Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) dengan perlindungan sejumlah oknum ”aparat” seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya.

Di Sintang, kriminalisasi oleh pihak pemodal (PT. Finnantara Intiga yang saat ini dimiliki Sinar Mas Groups dan Inhutani III) juga dialami 15 orang warga Sejirak (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten. Bila memang harus melapor, maka sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. Atau bahkan dihentikan proses hukum ini! Pihak pelapor juga hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini.

Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ”nekad” tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti. Pihak eksekutif juga harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga.

Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor. Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Masyarakat Adat selayaknya dihargai sebagai bagian dari anak negeri yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Jangan ada perlakuan yang tidak adil bagi rakyat. Upaya untuk menghentikan kriminalisasi terhadap warga negeri ini hendaknya massif dilakukan ketika negara dianggap tidak lagi menjadi pelindung bagi rakyat. Perjuangan harus dimulai dengan kesadaran bahwa ketika rakyat bersatu, tak bisa di kalahkan!

*) Aktifis di lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat