Bahwasanya persoalan lingkungan hidup adalah bagian persoalan bersama segenap warga dunia. Karena persoalan tersebut sangat terkait dengan kepentingan bersama mengenai hak atas lingkungan yang sehat dan berkelanjutan bagi setiap warga, maka menjadi kewajiban bersama pula untuk menjaganya dari ancaman kepunahan ataupun kehancuran. Hutan, tanah dan air dengan berbagai potensinya adalah asset terpenting dari sumber daya alam yang terkandung dalam perut bumi. Namun demikian, dibalik upaya dan cita-cita mulia untuk mewujudkan masa depan lingkungan yang berkelanjutan tersebut, praktek buruk/tidak bersahabat dalam bentuk eksploitasi atas Hutan-Tanah-Air kerapkali terjadi. Akibatnya, banyak dari komunitas warga setempat dan sumber daya yang dimiliki menjadi korban. Atas nama pembangunan, hak rakyat sebagai manusia di kebiri; atas nama pembangunan, hak rakyat atas tanah di abaikan; atas nama pembangunan, kesempatan untuk mengakses sumber air bersih terbatas! Gambaran kondisi seperti ini kerap kali mewarnai persoalan dalam masyarakat terkait pembangunan yang dicanangkan pemerintah.
Label “atas nama pembangunan” saat ini menjadi hal yang tidak asing bagi pembuat kebijakan maupun pihak ketiga (perusahaan) dalam mendirikan berbagai proyek pembangunan semau mereka tanpa memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat luas (FPIC). Sementara warga yang menolak karena idealis dan kritis serta sadar akan haknya “teraniaya” seringkali dituduh secara sepihak sebagai “anti pembangunan”.
Pembangunan poyek perkebunan monokultur dalam skala besar (sawit) yang telah menghilangkan fungsi hutan dengan berbagai kandungan tumbuhan lainnya, pembukaan hutan tanaman industeri (HTI), pertambangan dan kegiatan serupa yang tidak memperhatikan keberlanjutan masa depan lingkungan akan menjadi ancaman serius bagi keberadaan Hutan-Tanah-Air. Disamping itu, praktek manajemen pelaksanan proyek yang tidak memperhatikan aturan main dan mengabaikan prinsip FPIC (Free-Prior-Imformed-Concent)/sebuah prinsip rasional dalam mengakomodir kepentingan warga berdasarkan kebebasan pilihan tanpa paksaan yang mestinya diimbangi dengan penyampaian informasi yang benar, justeru akan menjadi ancaman konflik warga di daerah tempat dimana pembangunan dilakukan.
Praktek eksploitasi sumber daya alam oleh berbagai pihak yang hanya mengejar keuntungan diri semata kian menjadi. Upaya penyelundupan, pembalakan liar (illegal logging) maupun pembalakan legal terhadap hutan (perkebunan monokultur skala besar), perampasan tanah warga untuk berbagai keperluan pembangunan, dan pertambangan illegal adalah deretan praktek buruk yang memberikan dampak negatif langsung terhadap lingkungan sekitarnya.
Pembangunan perkebunan monokultur skala besar yang terus meluas di Kalimantan Barat khususnya, sedianya dapat menjadi perhatian bersama. Pertumbuhan industri minyak sawit di Indonesia misalnya, telah mengubah negara itu menjadi terbesar ketiga sebagai penghasil emisi (emitor) CO2, setelah Cina dan Amerika Serikat.
Terpenting dan patut diketahui bersama adalah keputusan Unilever yang memutuskan hubungan terhadap SMART Group. Hasil investigasi dan laporan kalangan peduli lingkungan selama ini seperti disampaikan Green Peace (harian The Time Inggris, edisi 11 Desember 2009) atas kinerja buruk Perusahaan Sinar Mas Agro Resources & Technology (SMART) Group yang kemudian direspon oleh Unilever, sebuah Perusahaan Internasional asal Inggris dengan menghentikan pemberian dana (memutuskan kontrak pasokan CPO) melalui pembatalan kontrak senilai 20 juta poundsterling per tahun bagi perusahaan bidang perkebunan dan industri sawit di Indonesia (khususnya Kalimantan Barat) tersebut. Hal ini menjadi bukti nyata betapa buruknya praktek perusahaan bidang perkebunan monokultur itu (Perusahaan Sinar Mas Group) selama ini. Konsumen minyak sawit dunia (Unilever) ini menegaskan hanya akan membeli minyak sawit dari kebun yang berkesinambungan dan bersertifikasi. Unilever menggunakan minyak sawit untuk produk Margarin Flora dan Stork, produk kosmetik Dove dan Persil. Sementara untuk saat ini 85 persen minyak sawit dunia tidak disertifikasi.
Sikap responsif Unilever terhadap laporan praktek buruk SMART dengan memutuskan hubungan terhadap group perusahaan perkebunan sawit tersebut tentunya sangat beralasan dan layak diapresiasi. SMART melalui anak perusahaannya memang telah melakukan pembabatan hutan alam besar-besaran di Indonesia, juga perusakan lahan gambut dan kegiatan ilegal lainnya. Dampak dari keberadaan perusahaan itu selama ini telah mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan masyarakat. Serta munculnya konflik ditingkatan masyarakat.
Di Kalimantan Barat, Indonesia khususnya terdapat 11 anak perusahaan Sinar Mas yang masing-masing di Kabupaten Kapuas Hulu sebanyak 9 perusahaan dan Kabupaten Ketapang 2 perusahaan. Selama rentang tahun 2005 hingga 2007, perusahaan Sinar Mas Group telah membabat hutan sedikitnya sebanyak 170 ribu hektar.
Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Milik Sinar Mas Group Di Kalimantan Barat
No. Nama Perusahaan Lokasi (Kecamatan) Kabupeten Luas
1 PT. Agro Lestari Mandiri Nanga Tayap Ketapang 27.500
2 PT. Bangun Nusa Mandiri Marau Ketapang
3 PT. Buana Tunas Sejahtera Badau Kapuas Hulu 16.000
4 PT. Sentra Karya Manunggal Empanang, Badau Kapuas Hulu 20.000
5 PT. Duta Nusa Lestari Semitau Kapuas Hulu 17.500
6 PT. Anugerah Makmur Sejati Seberuang, Silat Hilir Kapuas Hulu 15.000
7 PT. Primanusa Mitra Serasi Silat Hulu, Silat Hilir Kapuas Hulu 20.000
8 PT. Persada Graha Mandiri Silat Hilir Kapuas Hulu 20.000
9 PT. Kartika Prima Cipta Selimbau, Suhaid, Semitau Kapuas Hulu 20.000
10 PT. Paramitra Internusa Pratama Silat Hilir, Semitau Kapuas Hulu 20.000
11 PT. Kapuas Palm Industry Empanang, Semitau Kapuas Hulu 18.000
Pembatatan hutan yang dilakukan Sinar Mas Group tersebut juga seringkali tidak dilengkapi dengan IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) dalam pembukaan kawasan hutan sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Kehutanan tahun 1999, juga tidak dilengkapi dengan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
Praktek buruk pelanggaran atas dokumen AMDAL oleh Perusahaan SMART di Ketapang yakni PT Agro Lestari Mandiri (ALM), yang ijin AMDAL-nya baru disetujui bulan Desember 2007 namun sudah membuka lahan sejak 2005. namun demikian, hebatnya peresmian kehadiran perusahaan tersebut dihadiri oleh Bupati/kepala daerah setempat. Perusahaan SMART lainnya yakni PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) yang mulai beroperasi di Ketapang sejak tahun 2007 kini juga membawa persoalan bagi masyarakat di Kampung Silat Hulu, Desa Bantan Sari, Kab. Ketapang dan sekitarnya dengan menggusur kuburan dan wilayah adat Silat Hulu seluas 180 ha di Pedahasan Penkayasan dan Arai Panjang, pengusuran sumber kehidupan warga serta melakukan intimidasi terhadap warga.
Di Kapuas Hulu, PT. Sinar Mas Group seperti PT Kartika Prima Cipta, PT Internusa Pratama dan PT Persada Graha Mandiri telah merambah hutan tanpa IPK di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum, yang masuk dalam daftar lahan basah penting dunia dalam Konvensi Ramsar. Pembukaan hutan dengan pembangunan perkebunan monokultur akan berdampak pada kelestarian Danau Sentarum yang merupakan pengatur sistem hidroligi DAS Kapuas. Saat ini sudah terjadi sedimentasi rata-rata 25 sentimeter per tahun dikawasan Danau Sentarum. Dengan demikian maka akan sangat rawan bila perambahan hutan disekitar Danau Sentarum yang merupakan kawasan penyangga (buffer zone), sumber penghasilan ekonomi, dan kawasan lindung tersebut terus dilakukan. Sedikitnya ada 5 perusahaan yang beroperasi mengelilingi sekitar Danau Sentarum, termasuk didalamya perusahaan SMART Group yang beroperasi di beberapa Kecamatan Semitau, Suhaid, Empanang, Badau.
Disamping sedimentasi yang terjadi atas kawasan Danau Sentarum, maka dampak/pelanggaran lainnya sebagai akibat dari pembukaan perkebunan di kawasan penting tersebut diantaranya dalam bidang sosial-budaya terjadinya konflik dan pertentangan antar warga, pelanggaran kesusilaan, menjadi ancaman bagi sumber ekonomi masyarakat yang mengandalkan hutan sebagai sumber penghasilan, dan munculnya keresahan dimasyarakat. Di bidang lingkungan, terjadi perusakan hutan (degradasi) yang berdampak pada hilangnya kayu khas lokal karena dibabat dan terancamnya habitat berbagai mahkluk dan tumbuhan unik dikawasan Danau Sentarum. Pelanggaran perijinan juga dilakukan, semisal pembukaan perkebunan tanpa adanya dokumen AMDAL, terjadinya tumpang tindih lahan, terjadinya land cleaning (pembersihan dengan cara pembakaran) dan belum adanya Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) adalah deretan kenyataan yang terjadi.
Berkaca dari praktek buruk dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan akibat ekspansi perusahaan SMART Groups dan perusahaan lainnya yang dengan nyata telah memberikan dampak negatif bagi kondisi sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan pelanggaran perijinan selama ini terhadap terhadap keberadaan hutan dan keberlangsungan eksositem di Kalimantan Barat khususnya, maka peran berbagai pihak untuk memikirkan masa depan lingkungan yang berkelanjutan menjadi penting.
Penghentian pemberian dana oleh Unilever terhadap SMART merupakan konsekuensi logis sebagai “hukuman” yang memang harus ditanggung atas praktek buruk yang dilakukan perusahaan tersebut selama ini. Kondisi seperti ini hendaknya dapat MEMBUKA MATA semua pihak atas praktek buruk yang dilakukan SMART untuk kemudian dapat dijadikan refleksi bersama memikirkan masa depan lingkungan yang berkelanjutan.
Secara khusus, kondisi seperti ini hendaknya dapat menjadi PELAJARAN bagi para pembuat kebijakan/pemimpin di daerah ini (Kepala Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota) untuk lebih arif dalam menggalakkan pembangunan dengan perspektif pembangunan yang berpihak pada warga dan lingkungan yang berkelanjutan. Praktek buruk SMART dan dampak negatif dari perusahaan monokultur lainnya hendaknya dapat disikapi oleh pemerintah daerah untuk menghentikan perluasan perkebunan sawit dan memiliki itikad baik dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat yang selama ini dirampas haknya. Masyarakat sesungguhnya tidak anti program pemerintah, namun mereka sangat anti terhadap pembangunan yang menindas hak, sumber konflik dan menghancurkan sumber kehidupan. Masyarakat membutuhkan sikap bijak penguasa yang berpihak terhadap mereka. Proyek “atas nama pembangunan” namun “menindas” akan senantiasa mendapat perlawanan warga.
Hendrikus Adam,
Kadiv Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat
Catatan:
Pernah di publikasikan dalam Majalah Kalimantan Review di Pontianak, Kalimantan Barat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar