Pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat agaknya susah dikatakan steril dari persoalan. Potensi ancaman kondisi sosial dan ekologi menjadi konsekuensi logis yang terjadi. Dimana ada pembukaan perkebunan sawit, di situ ada masalah. Realita ini telah menjadi rahasia umum yang harusnya dapat menjadi pelajaran berharga bagi multi pihak untuk dapat mengkaji lebih jauh soal peluang kebijakan lainnya terkait pemberdayaan masyarakat yang lebih menjanjikan dan memberikan perlindungan atas hak-hak masyarakat terhadap lingkungan. Pemerintah kiranya tidak mendasarkan aspek kepentingan ekonomi semanta dengan dalih untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat, sementara aspek sosial, budaya, adat istiadat dan aspek ekologi yang berkelanjutan tidak diperhitungkan.
Gambaran persoalan terkait dengan pembukaan perkebunan monokultur ini misalnya terjadi di Desa Amang, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak. Hadirnya PT. Pratama Prosentindo dan PT. Putra Indotropical yang bergerak dalam bidang perkebunan sawit di daerah ini tidak hanya telah menghilangkan hutan yang dimiliki masyarakat karena telah di buka untuk perkebunan sawit, namun juga telah melakukan pembukaan kawasan hutan diluar kawasan izin yang diperuntukan. Bahkan saat ini telah menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya di kawasan yang diluar izin tersebut.
Berdasarkan laporan masyarakat yang di sampaikan oleh Eddy Son (penerima kuasa masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat) dan hasil penelusuran Walhi Kalimantan Barat di lapangan, bahwa pembukaan perkebunan di daerah tersebut juga telah memberikan konsekuensi terhadap terancamnya kondisi Sungai Menyuke yang menjadi sumber air andalan masyarakat di hilir sungai yang kini tampak keruh. Juga membuka perkebunan di kawasan yang tidak jauh dengan bantaran sungai.
Penyerahaan lahan yang belakangan diketahui ternyata berada di luar izin, karena masyarakat diberi informasi yang keliru. Masyarakat merasa di tipu oleh informasi yang di sampaikan pihak perusahaan kalau kawasan tersebut berada masuk dalam kawasan izin perusahaan, sehingga kemudian masyarakat menyerahkan lahan.
Persoalan lainnya, di kawasan di luar izin tersebut masih menyisakan persoalan dimana masih adanya tanah warga yang di Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) oleh pihak Perusahaan PT. Pratama Protenindo yang mendapat izin sejak tahun 2005. Penyerobotan lahan masyarakat terjadi. Adapun wilayah konsesi PT. Pratama Prosentindo meliputi empat Dusun di Desa Amang yakni Dusun Amang, Meramun, Bangsal Baru dan Sei Tuba.
Tertanggal 22 Januari 2008 berdasarkan SK Bupati Landak di Amang masuk PT. Putra Indotropical, satu group dengan PT. Pratama Prosentindo yakni milik Wilmar Group yang ternyata arealnya masuk dalam kawasan tanah yang diluar kawasan izin. Akhir tahun 2009, bersamaan dengan hadirnya PT. Daya Sumber Makmur (Group Jarum) yang lokasinya berada di PT. Pratama Prosentindo di divisi I dan II yang kini ditanami sawit. Dengan hadirnya PT. DSM inilah, yang kemudian baru diketahui kalau perusahan bekerja di luar izin. Dengan demikian, telah terjadi tumpang tindih kawasan untuk perkebunan yang seharusnya tidak terjadi. Pemerintah daerah setempat adalah pihak yang turut terkait dengan persoalan tumpang tindih kawasan ini. Pemda dinilai melanggar hukum dengan menerbitkan izin baru per 22 Januari 2010 bagi PT. PI sedangkan lahan tersebut sudah dikerjakan Per Juni 2006.
Dalam kasus ini, masyarakat merasa di bodohi dan merasa di tipu oleh pihak perusahaan. Masyarakat saat itu mau menyerahkan lahan untuk digarap lahannya karena mendapat informasi bahwa daerah yang kini baru diketahui berada diluar izin tersebut dulunya dianggap sesuai dengan SK Bupati Landak.
Di Desa Amang dan sekitarnya untuk saat ini setidaknya terdapat empat perusahaan perkebunan sawit yakni PT. Kapuas Rimba Sejahtera (KRS), PT. Daya Sumber Makmur (Group Jarum), PT. Putra Indotropical dan PT. Pratama Prosentindo.
Pemerintah daerah dan pihak legislatif dan pihak terkait lainnya hendaknya melakukan langkah-langkah kongkrit untuk memproteksi terjadinya perampasan hak-hak masyarakat, karena saat ini juga sedikitnya terdapat lebih dari 600 hektar lahan masyarakat yang belum di GRTT oleh pihak perusahaan. Pemerintah daerah Landak juga kiranya menghentikan pemberian izin dan perluasan perkebunan monokultur di daerah ini, maksimalkan yang ada dan selesaikan masalah yang dihadapi masyarakat. Pihak perusahaan hendaknya tidak melakukan pembodohan bagi warga. Hentikan pembodohan dan jangan tipu masyarakat!
Senin, 23 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar