Menolak Mega Proyek PLTN di Tanah Air
Kalbar menjadi salah satu lokasi yang sedang di timang-timang untuk didirikan PLTN dengan alasan daerah aman bencana dan memiliki bahan mentah uranium di Melawi. Namun dalam aksinya para aktifis lingkungan mendesak agar niat membangun PLTN dihentikan.
By. Hendrikus Adam*
Sabtu (12/6) pagi kala sang mentari mulai bangkit sekiar pukul 09.00 wiba, di kawasan Tugu Proklamasi tampak semarak. Spanduk warna hitam berukuran lebar memanjang terbentang di sebelah kiri dan kanan masuk kawasan tersebut yang menyiratkan sejumlah pesan lingkungan; “Stop Nuklir, No Nuke No More Chernobyl, Revolusi Energi Sekarang, Kami Dukung Energi Bersih, Energi Nuklir=Energi Berbahaya, Bumi Pertiwi Zona Bebas Nuklir”. Di bagian tengah persis di depan Tugu patung kedua tokoh Proklamator telah berdiri baliho besar menjadi latar dari rangkaian kegiatan kala itu. Persis di depan baliho, berdiri tenda dan pajangan gambar-kalender yang mengisahkan ancaman bahaya nuklir. Seruan bahaya nuklir juga terpajang di dinding tenda dan sejumlah spanduk besar.
Sementara disaat akan dimulainya kegiatan, para tamu dan undangan berangsur datang memadati kawasan Tugu Proklamasi hingga “ritual” aksi yang diinisiasi oleh Greenpeace yang dihadiri sejumlah perwakilan masyarakat dari tujuh provinsi, kalangan NGOs (Walhi, Masyarakat Anti-NUklir Indonesia/Manusia, perwakilan lembaga lainnya) dan sejumlah wartawan media yang ada di jantung Ibu Kota negara. Satu persatu perwakilan masyarakat dari tujuh provinsi menyampaikan keprihatinannya dalam bentuk orasi mengkritisi niat pemerintah mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di daerahnya masing-masing. Adapun ketujuh perwakilan masyarakat tersebut diantaranya berasal dari Kalbar, Kaltim, Bangka Belitung, Jawa Timur-Madura, Jateng-Jepara, Banten, Gorontalo menyatakan penolakannya terhadap kebijakan pemerintah yang mengagendakan wacana membangun PLTN. ”Pembangunan PLTN di Kalimantan Barat hendaknya tidak dipaksakan oleh pemerintah, namun mengantisipasi kemungkinan bahaya dari resiko penggunaan energi nuklir penting diperhitungkan sejak dari sekarang untuk kepentingan masyarakat luas. Energi listrik memang dibutuhkan, namun energi yang justeru rawan dan berpotensi mengancam masa depan harus dihentikan. Masih banyak sumber energi lainnya yang harusnya bisa digunakan,” jelas perwakilan dari Kalimantan Barat. Nada yang tidak jauh berbeda juga disampaikan perwakilan dari provinsi lainnya.
"NU Jepara telah mengeluarkan fatwa haram terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, tetapi sampai sekarang pemerintah dan pendukungnya masih terus melakukan berbagai aktivitas terkait rencana pembangunan tenaga nuklir di Jepara," urai Said Sumedi dari Perhimpunan Masyarakat Balong (PMB) Jepara.
Pada saat bersamaan gita karya Iwan Fals bertajuk Proyek 13 yang menyiratkan pesan penolakan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) menggema diiringin aksi teatrikal yang diperankan tiga orang mengenakan pakaian masing-masing berwarna merah, hitam dan putih. Satu orang diantaranya mengenakan kapak layaknya “malaikat” pencabut nyawa. Teatrikal ini mengisahkan ancaman bahaya nuklir (PLTN) terhadap kehidupan yang siap mencabut nyawa kapan saja. Akhir dari teatrikal, ”sang pencabut nyawa” ditaklukkan dengan dibalut kain putih. Begitulah suguhan “drama” aksi damai bersama yang menginginkan agar pemerintah tidak merealisasikan proyek yang dianggap berbahaya dan memiliki potensi ancaman dasyat itu. Pemerintah diharapkan tidak memaksakan pembangunan yang dinilai cenderung ambisius dan hanya berorientasi kepentingan sesaat.
Arif Fiyanto, juru kampanye energi dan iklim Greenpeace Indonesia menyatakan pihaknya pada hari tersebut mendeklarasikan penolakan terhadap rencana pembangunan PLTN di seluruh Indonesia . "Menurut kami, rencana pembangunan PLTN adalah cermin dari sesat pikir pemerintah dalam memecahkan masalah energi di Indonesia . PLTN dianggap solusi untuk memecahkan masalah energi di Indonesia , padahal begitu banyak sumber energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Jadi dari pada membangun PLTN, pemerintah seharusnya fokus mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan di negeri ini," jelas Arif.
PLTN, Proyek Ambisius.
Bersamaan dengan aksi ini, Greenpeace juga meluncurkan kalander “365 alasan penolakan kekuatan nuklir” yang memuat sejumlah fakta soal bahaya nuklir bagi kehidupan yang melanda sejumlah tempat di dunia. Selanjutnya, kegiatan dilakukan dengan menyelenggarakan diskusi terbuka bertema “PLTN, Mitos dan Realitas” bertempat di Tugu Proklamasi yang dihadiri sejumlah narasumber diantaranya; A. Sonny Keraf (Mantan Menteri LH dan penulis buku Etika Lingkungan), Kahar Al Bahri (aktivis Jatam Kaltim), DR. Iwan Kurniawan (Pakar Nuklir) dan Hendro Sangkoyo (Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik). Sony Keraf dalam pemaparannya menyatakan Indonesia masih belum untuk menjalankan teknologi PLTN. Menurutnya, PLTN merupakan proyek yang cenderung ambisius.
“Bahwa soal krisis energi listrik memang tidak bisa dibantah, dan memang betul ada realitas kelangkaan. Namun bagi yang mendukung PLTN seakan hal tersebut menjadi jawaban atas krisis energi listrik yang dialami, masih banyak alternatif energi lain. Saya tidak meragukan penguasaan nuklir oleh anak bangsa ini, namun ketidakmampuan dalam hal safety cultur teknologi sangat lemah” jelas Sony Keraf.
Dikatakan Sony Keraf, teknologi PLTN belum siap kita jalankan di Indonesia . Ia juga mengkritisi upaya sosialisasi soal PLTN yang dilakukan bila cenderung hanya menyampaikan sisi positifnya semata agar dapat diterima masyarakat. “Salah besar bila sosialisasi PLTN dilakukan untuk menggiring masyarakat meneirma PLTN. PLTN, proyek yang cenderung ambisius,” jelasnya.
Senada dengan Sony Keraf, juga disampaikan pakar nuklir Indonesia , DR Iwan Kurniawan. Ia mengatakan PLTN di negeri ini masih tidak bisa dipaksakan, namun demikian mempelajari soal energi Iptek soal nuklir itu tidak masalah. "PLTN bagi Indonesi masih berat. Tidak ada teknologi yang 100 persen sempurna terhadap radiasi. Elemen radio isotop dari radiasi sangat berbahaya. PLTN sangat berbahaya dan teknologi ini tidak mungkin dianggap main-main. PLTN bukan alih teknologi, namun berorientasi proyek," ungkap Iwan Kurniawan, doktor nuklir yang pernah mengenyam pendidikan di negeri Sakura ini. ”Kita belum tentu menerima energi, namun radiasinya sudah pasti,” sambung Hendro Sangkoyo, kepala Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik.
Menolak PLTN
Usai berdialektika dalam sebuah forum diskusi, kegiatan selanjutnya diteruskan dengan pertemuan bersama yang sekaligus sebagai pertemuan nasional masyarakat antinuklir Indonesia , dilangsungkan bertempat di Kantor Greenpeace sekitar kawasan Jakarta Selatan. Pertemuan ini melahirkan forum bersama Koalisi Anti-Nuklir yang merupakan pertemuan sharing informasi dan perumusan agenda bersama guna menyikapi berbagai problem dan kemungkinan dampak dari PLTN yang akan diterima masyarakat. Bagi forum ini, PLTN bukanlah alternatif solusi yang tepat untuk mengatasi krisis energi yang dialami, karena dampak buruk energi nuklir diyakini jauh lebih dasyat dari pada sekedar sebagai pengganti energi. Masih banyak sumber energi yang dapat dijajaki dari pada sekedar memaksakan energi nuklir (PLTN) seperti sumber dari air, panas bumi, matahari, angin dan lainnya.
Kekhawatiran multipihak (kalangan masyarakat anti nuklir) terhadap potensi dan bahaya nuklir agaknya tidak berlebihan bila melihat berbagai kejadian bencana yang terjadi. Kejadian tanggal 26 April 1986 yang dikenal dengan bencana Chernobyl di Urkania yang mengakibatkan sedikitnya sebanyak tujuh (7) juta orang harus menderita setiap hari menjalani dampak dari bencana ini. Selanjutnya bencana nuklir di Mayak, Rusia 29 September 1957 yang menyebabkan 272 ribu orang terkena radiasi tingkat tinggi. Akibatnya banyak orang yang menderita penyakit kronis, hipertensi, masalah jantung, arthritis dan asma. Setiap detik orang dewasa menderita kemandulan, 1 dari 3 bayi yang baru lahir menderita cacat, dan 1 dari 10 anak lahir secara prematur serta jumlah orang yang menderita kanker meningkat pesat. Kejadian lainnya di Seversk (dulu Tomsk-7) di Siberia pada 6 April 1993 yang menunjukkan dampak gejala serupa berupa kelainan darah dan kerusakan genetik. Hal yang sama pernah terjadi di Semipalatinsk, Astana pada tahun 1949 hingga tahun 1962. Akibatnya, hampir setengah dari populasi menderita disfungsi sistem syaraf motorik. Di Jepang, juga pernah terjadi ketika kota Herosima dan Nagasaki diserang tentara sekutu Amerika dengan Bom Atom yang menggunakan energi nuklir. Serta di Three Mile Island Amerika pada 1979 yang juga memakan banyak korban.
Gelombang penolakan terhadap energi nuklir mengalir di berbagai penjuru nusantara. Pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah misalnya sejak awal di tolak oleh berbagai lapisan masyarakat seperti; Walhi, Greenpeace, Yayasan Pelangi Jakarta, Gerakan Anti Nuklir (Geton) Salatiga, BEM Jateng, Sampak GusUran, LBH ATMA Pati, Koaliasi Rakyat Tolak Nuklir (Kraton), Persatuan Masyarakat Balong (PMB), Kelompok Petani Nelayan Andalan (KTNA) Jepara, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jepara, Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kudus dan Jepara, serta Lakpesdam NU. Bahkan di tahun 2007, NU Jepara mengeluarkan fatwa haram soal PLTN.
Di Madura, Jawa Timur elemen masyarakat sipil juga menyampaikan penolakan keras terhadap rencana pendirian PLTN di Madura dan Bangkalan khususnya, seperti di Kecamatan Socah, Kamal, dan Labang. Tahun 2009 lalu organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU) didaerah setempat juga telah mengeluarkan fatwa bahwa pembangunan PLTN di Madura adalah haram. Di Kalimantan Barat penolakan PLTN pernah di gelorakan Front Mahasiswa Kalbar terdiri dari PMKRI, IMKB dan GMNI pada April 2008 yang menilai rencana pembangunan melalui kebijakan tersebut tidak populis. Dalam pernyataan Gubernur Kalbar di media lokal pernah menyatakan bahwa Kabupaten Landak dan Melawi dapat dijadikan lokasi pendirian PLTN. Kalbar menurut Gubernur memenuhi syarat untuk dibangun PLTN, karena salah satu wilayah yang mempunyai uranium, yakni di Kabupaten Melawi. Pemda Kalbar sendiri telah mengajukan usulan pembangunan PLTN kepada Dewan Energi Nasional.
Gelombang penolakan juga terjadi di Bangka Belitung, Banten dan Gorontalo. Berbagai lembaga masyarakat sipil lainnya seperti Walhi, Kiara, Jatam, Manusia, IESR, SHI, Satu Dunia, CSF yang juga menggelorakan penolakan rancana pembangunan PLTN di Indonesia.
Bagi masyarakat sipil yang menolak, nuklir bukanlah pilihan guna menjawab kebutuhan listrik di Indonesia. Pernyataan yang dikeluarkan otoritas nuklir dengan menyatakan bahwa energi nuklir adalah energi paling aman dan murah kepada publik, perlu dikritisi lebih lanjut. Masyarakat atau publik tidak diberikan informasi secara detil tentang dampak serta resiko-resiko yang harus mereka hadapi ketika ada pencemaran dan kecelakaan nuklir terjadi. Kondisi ini menuntut peran maksimal pemerintah untuk menggali sumber-sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan dan tidak memiliki risiko besar di Indonesia. Pemerintah diharapkan juga dapat meningkatkan dan mengidentifikasi sumber potensi sumber energi terbarukan dapat dikembangkan. Pengembangan energi alternatif saatnya mengedepankan energi bersih dan masa depan kehidupan serta lingkungan yang berkelanjutan, tanpa harus memaksakan proyek PLTN yang berbahaya.
*) Aktifis Walhi Kalimantan Barat
Kamis, 26 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar