Jumat, 20 Agustus 2010

Pernyataan Sikap Peringatan Hari Air Internasional, 22 Maret 2010

“Peringati Hari Air dan Bumi dengan Menghentikan Ekspansi dan Eksploitasi Terhadap Lingkungan”

Dalam beberapa tahun terakhir ini kita mendapati kenyataan bahwa bumi menjadi pijakan umat manusia di hantam badai tiada henti. Pukulan demi pukulan menghantam semua lini kehidupan manusia, di mulai dari terjadinya krisis pangan, krisis energi, krisis lingkungan, krisis keuangan hingga sampai dengan krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh perang yang tiada hentinya. Problem pokok yang dihadapi umat manusia saat ini menjadi pemandangan yang biasa dan sudah merupakan kejadian yang biasa-biasa saja, sehingga sudah dianggap bukan persoalan lagi. Dan hal tersebut dianggap sebagai takdir yang dihadapi oleh umat manusia. Padahal, jika kita telaah lebih jauh dengan meluaskan jangkauan berfikir kita dengan mendalami setiap kejadian oleh manusia. Singkatnya, krisis yang menghantam umat manusia yang ada, maka kita akan menemukan bahwa hal tersebut bukan pemandangan yang biasa, bukan kejadian yang biasa, bukan persolan yang wajar, dan yang paling penting hal tersebut bukan takdir yang harus dihadapi oleh umat manusia, melainkan diakibatkan oleh dominasi sistem Kapitalisme Monopoli Global. Sebab sistem tersebut memiliki karakter dasar memusat (Akumulatif), Menghisap (Eksploitatif) dan mengembang (Ekspasionis). Krisis yang menghantam pusat dan pimpinan dari kapitalisme monopoli global yakni Amerika Serikat menjalar dalam waktu yang sangat singkat, menjalar ke negera-negera imperialisme lainnya, seperti Uni-Eropa, Jepang dan lain sebagainya.
Tanggal 22 Maret merupakan momentum Hari Air International, terutama dalam konteks mengkampanyekan “Air Untuk Semua”. Terkait dengan tema ini, sebuah kebijakan pemerintah yang diterjemahkan dalam sebuah Undang-undang Sumber Daya Air/UUSDA yang telah disyahkan DPR pada tanggal 19 Februari 2004 lalu, mengarah pada pemberian hak kelola kekayaan alam kepada perusahaan. Undang-Undang tersebut mengingkari penghargaan atas hak asasi manusia dan ‘welfare state’ (sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat). Demikian juga pasal-pasal yang memungkinkan pihak ketiga mencampuri hubungan antara negara dalam menghargai, melindungi dan memenuhi hak warga negaranya. Sejak diberlakukannya UU PMA No 1 Tahun 1967 oleh rezim fasis Soeharto yang telah membuka jalur untuk mempermudah masuknya investasi asing di Indonesia, mengakibatkan komersialisasi dan privatisasi di segala sektor.

Privatisasi pengelolaan air dan komersialisasi, sesungguhnya bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat (2) dan (3). Akibatnya, UUSDA ini akan dikaji ulang oleh Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia. “Air merupakan salah satu cabang produksi paling penting. Oleh karenanya, air dan sumber-sumbernya, tidak dapat diprivatisasi dan dikomersialkan. UUD 1945 pasal 33 ayat (2) dan (3), dengan tegas menyebutkan bahwa, ayat (2): cabang-cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai negara. Sementara ayat (3): bumi, air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Karena itu, pemberian hak kepada pemodal untuk menguasai dan mengelola air, merupakan hasil pemikiran liberal (pasar), dimana air diperlakukan sebagai komoditi yang bernilai komersiil dan amat merugikan negara Indonesia. Hak terhadap air yang setara merupakan hak asasi setiap manusia. UUD 1945 pasal 33 ayat 2 menjamin hak dasar tersebut. Pasal 33 ayat 2 tersebut menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Kalimat tersebut mengandung makna tanggung jawab negara untuk menjamin dan menyelengarakan penyediaan air yang menjangkau setiap individu warga negara. Pada tingkat internasional, hak atas air yang setara juga diteguhkan dalam Ecosoc Declaration (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) PBB pada bulan November 2002. Namun, hingga kini, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia. Agenda ini didorong oleh lembaga keuangan (World Bank, ADB, dan IMF) di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman. Ini merupakan bagian dari kepentingan kapitalis global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih (PDAM) milik pemerintah. Undang-undang Sumberdaya Air yang baru ini merupakan bagian dari persyaratan pencairan pinjaman program WATSAL dari World Bank.

Pada tanggal 19 Februari 2004, DPR telah mengesahkan UU Sumberdaya Air yang baru. Dalam Undang-undang yang baru ini beberapa pasal memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu. Melalui privatisasi ini, maka jaminan pelayanan hak dasar bagi rakyat banyak tersebut akhirnya ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar“siapa ingin membeli /siapa ingin menjual”. World Bank menyatakan “Manajemen sumberdaya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai “komoditas ekonomis” dan “ partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan” (World Bank, 1992). Privatisasi air akan meliputi jasa penyediaan air di perkotaan, maupun pengelolaan sumber-sumber air di pedesaan oleh swasta. Menurut World Bank, air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada di bawah “harga pasar” dan perlu dinaikkan. Baik World Bank dan ADB dalam “Kebijakan Air”-nya mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi apa yang disebut sebagai Full Cost Recovery. Secara singkat, Full Cost Recovery berarti konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya. Dengan demikian privatisasi, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air.

Pada kenyataanya, justru kelompok masyarakat miskin yang akan semakin jauh dari akses terhadap air dengan meningkatnya tarif air. Agenda kedaulatan pangan akan menjadi ancaman ke depan. Jika air, sebagaimana yang diinginkan oleh World Bank dan ADB, diperlakukan sebagai komoditas ekonomis dan pihak yang mendapatkan air ditentukan atas dasar keuntungan ekonomis semata. Salah satu contoh, Pemerintah Daerah Jawa Barat pada tahun 2002 telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai Irigasi yang baru, dimana salah satu instrumen yang diadopsi adalah penerapan “cost recovery” kepada petani atas penggunaan air irigasi. Sektor pertanian akan semakin mahal bagi petani dengan diterapkannya tarif atas air irigasi. Tidak tersedianya air yang layak sangat menyengsarakan rakyat, terutama rakyat kecil. Namun hingga saat ini belum ada perhatian serius dari pemerintah terhadap hal ini. Ini menunjukan bahwa pemerintahan hari ini bukanlah pemerintahan yang mengabdi dan memikirkan kepentingan rakyat, dengan kata lain rezim hari ini tidak lebih dari rezim yang anti rakyat dan lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri dan kepentingan para investor yang tentunya bisa memberikan keuntungan terhadap mereka.

Di Kalimantan Barat, beroperasinya sejumlah pekebunan skala besar dan pertambangan menyebabkan hilangnya fungsi hutan terutama hutan gambut sebagai daerah resapan air. Hal ini menyebabkan sumber-sumber air rakyat rusak, bahkan beberapa anak sungai kering dan danau kering. Ikan-ikan yang ada disungai maupun danau semakin berkurang akibat air yang tercemar dan berlumpur. Salah satu contoh, beroperasinya 9 perusahaan perkebunan anak perusahaan Sinar Mas Group di Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum Kab. Kapuas Hulu menyebabkan kerusakan hutan yang luar biasa akibat land clearing. Sudah pasti Kawasan Penting yang memasok 25 % sumber air sungai kapuas ini mengalami masalah yang mengancam rakyat yang menghuni sepanjang DAS Kapuas. Artinya dampaknya tidak hanya dirasakan masyarakat sekitar kawasan TNDS namun juga seluruh Kalimantan Barat.
Momentum peringatan hari air internasional yang jatuh pada tanggal 22 Maret 2010 kemarin merupakan sebuah momentum untuk bangkit, merebut kembali hak – hak dasar kita atas hutan, tanah, air dan lingkungan yang terjaga. Untuk itu kami dari Aliansi Mahasiswa Kalimantan Barat (AMKB) –Walhi Kalbar menyerukan kepada seluruh masyarakat Kalimantan Barat untuk bersatu dan meminta kepada pihak – pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini aparatur pemerintahan untuk :

1. Hentikan Ekspansi Perkebunan dan Pertambangan Skala Besar;
2. Hentikan Privatisasi dan Komersialisasi Air;
3. Stop Illegal Logging;
4. Hentikan Pengrusakan Hutan disekitar Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum/TNDS dan Kawasan-kawasan penting lainnya di Kalimantan Barat.
5. Hentikan Perampasan Tanah yang Menjadi Alat Produksi Rakyat.


Jayalah Terus Perjuangan Massa!!!

Pontianak, 23 Maret 2010

Aliansi Mahasiswa Kalimantan Barat
(FMN, GMNI, BEM UPB, GMKI, PMKRI, MAPALA CAGAR GASPASI, HIBER UNTAN, GEMPA FISIP UNTAN) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar