Kamis, 26 Agustus 2010

PT. MKS Cemari Sungai Noyan, Warga Resah Hadirnya Aparat!!!

Pembangunan investasi perkebunan monokultur dengan dalih untuk memberikan kesejahteraan namun berbuah “petaka” karena justeru merugikan bagi rakyat seperti konflik penyerobotan lahan maupun tanah warga dan pencemaran sumber air adalah fenomena yang tidak asing di republik ini. Warga Desa Noyan dan sekitarnya di Kabupaten Sanggau adalah suatu komunitas masyarakat Dayak Bisonu’-Bemate’ yang juga bagian dari anak negeri, namun harus menelan pil pahit sebagai akibat dari pembukaan investasi yang hanya menguntungkan pihak tertentu semata.

Desa Noyan sendiri terdiri dari tiga dusun yakni; Dusun Noyan yang meliputi Kampung Kojup dan Plaman Noyan, Entubu dan Krosik. Sumber pencaharian warga Noyan pada umumnya sebagai peladang, petani karet, pedagang, dan ada juga yang bekerja di perkebunan sawit.

Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) anak perusahaan Surya Dumai Gropus. Berdasarkan hasil penelusuran lapangan dan laporan warga setempat, sejumlah fakta lapangan sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa diantaranya; 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan bahkan kini rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 2) tanah warga di serobot tanpa pemisi yang pada akhirnya hanya dihargai seadanya. Bahkan masih ada tanah warga yang diserobot namun belum di GRTT (Ganti Rugi Tanam Tumbuh), 3) telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 4) terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan konflik antar keluarga, 5) masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan.

Dalam prakteknya, pihak perusahaan malah menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.

Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS). Berdasarkan hasil FGD bersama warga, sejumlah fakta yang didapati sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa; 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 2) tanah warga di gusur tanpa pemisi dan pada akhir nya di hargai seadanya (bahkan ada yang belum di GRTT), 3) telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 4) terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan permusuhan antar keluarga, 5) masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan, 6) pihak perusahaan menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.

Dibalik berbagai persoalan tersebut, masyarakat di Desa Noyan masih berada dalam posisi yang lemah. Mereka disatu sisi tidak pernah mendapatkan informasi yang utuh mengenai sejumlah dampak investasi di daerahnya. Bahkan masyarakat setempat tidak mengetahui banyak soal keberadaan PT. MKS yang beroperasi di daerah mereka. Mereka juga tidak berdaya disaat perusahaan menggusur tanah mereka tanpa permisi.

Kondisi kebun juga tampak kurang terawat, dan hal demikian di akui warga. Disamping itu, masyarakat setempat merasa tidak pernah dilibatkan atas hadirnya perusahaan ini. Tidak melibatkan semua unsur. Berdasarkan informasi dilapangan bahwa izin PT. MKS dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di Sei Daun tumpang tindih. Masyarakat juga menilai bahwa hadirnya PT. MKS tidak memberi kontribusi bagi masyarakat setempat. Yang ada justeru merugikan. Hutan masyarakat dibabat dan tanah di serobot tanpa permisi.

Disamping PT. MKS yang baru hadir di daerah Noyan dan sekitarnyasekitar tahun 2008/2009, juga terdapat PT. Global yang masuk sejak tahun 2005, PT. SISU (Sepanjang Inti Surya Utama) masuk tahun 2006/2007, PT. Semai Lestari (SL) dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di tahun 2009. Persoalan tumpang tindih pengelolaan kawasan semakin di perparah dengan upaya eksplorasi yang dilakukan PT. Kendawangan Putra Abadi (sebuah perusahaan pertambangan) yang akan menggunakan areal kawasan PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) sebagai kawasan konsesi.

Pemerintah daerah dan semua pihak terkait yang berniat baik dan memiliki tanggungjawab hendaknya memperhatikan persoalan yang dihadapi warga Noyan. Tercemarnya Sungai Noyan dan Sungai di Dusun Mayan mengancam kehidupan warga atas akses sumber air bersih bagi warga. Aparat kepolisian (brimob) yang hadir untuk perusahaan telah meresahkan warga. Pihak keamanan dan pihak terkait lainnya, khususnya Kapolda Kalimantan Barat hendaknya menarik aparat yang dianggap telah meresahkan dan membuat warga merasa trauma.


Disampaikan oleh Hendrikus Adam,
Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat.

Masyarakat Indonesia Tolak Nuklir

AKSI (Keterangan Poto) - Penulis di sela-sela aksi di Jakarta, Sabtu (12/6).

Rencana pemerintah melakukan pengembangan energi listrik melalui program alternatif Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dikecam berbagai kalangan. Mereka mengkhawatirkan bahaya dari energi yang dianggap ancaman terhadap manusia dan lingkungan tersebut.

Bertempat di Tugu Proklamasi Jakarta, Sabtu (12/6) pagi, yang dilangsungkan berawal dari aksi teatrikal, masyarakat antinuklir yang dihadiri perwakilan dari tujuh provinsi juga melakukan orasi yang diakhiri dengan deklarasi bersama menolak PLTN.

Dalam orasinya pada acara yang diinisiasi Greenpeace Indonesia ini, masyarakat antinuklir yang berasal dari tujuh provinsi yang terdiri dari perwakilan: Kalbar, Kaltim, Bangka Belitung, Jawa Timur-Madura, Jateng-Jepara, Banten, Gorontalo menyatakan penolakannya terhadap kebijakan pemerintah yang mengagendakan wacana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Juga hadir dalam kesempatan tersebut para aktivis lingkungan seperti Walhi, Masyarakat Anti Nuklir Indonesia (Manusia) dan sejumlah undangan lainnya. Sebagaimana di Kalimantan Barat, pemerintah di daerah ini juga sedang mengagendakan pembangunan PLTN. Dalam kesempatan ini, perwakilan Kalimantan Barat juga dalam orasinya dengan tegas menyerukan agar pemerintah menghentikan niatnya untuk membangun PLTN. Dalam pernyataannya deklarasi, para pihak yang terlibat dalam kegiatan ini menilai bahwa PLTN bukanlah solusi dalam memenuhi energi listrik saat ini.

Arif Fiyanto, juru kampanye energi dan iklim Green Peace Indonesia menyatakan pihaknya hari ini mendeklarasikan penolakan terhadap rencana pembangunan PLTN di seluruh Indonesia.

"Menurut kami, rencana pembangunan PLTN adalah cermin dari sesat pikir pemerintah dalam memecahkan masalah energi di Indonesia. PLTN dianggap solusi untuk memecahkan masalah energi di Indonesia, padahal begitu banyak sumber energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Jadi dari pada membangun PLTN, pemerintah seharusnya fokus mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan di negeri ini," jelasnya.

Bertepatan dengan aksi ini, Greenpeace juga meluncurkan kalander antinuklir yang dilanjutkan dengan diskusi terbuka bertema PLTN, Mitos dan Realitas di Tugu Proklamasi yang dihadiri sejumlah narasumber seperti Sonny Keraf (Mantan KLH dan penulis buku Etika Lingkungan), Kahar Albahri (aktivis Jatam Kaltim), DR Iwan Kurniawan (Pakar Nuklir) dan Hendro Sangkoyo (Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik).

Momentum ini selanjutnya diteruskan pertemuan bersama yang sekaligus sebagai pertemuan nasional masyarakat antinuklir Indonesia yang dilangsungkan di Kantor Greenpeace. Sony Keraf dalam pemaparannya menyatakan Indonesia masih belum untuk menjalankan teknologi PLTN. Menurutnya, PLTN merupakan proyek yang cenderung ambisius. Hal sama juga disampaikan pakar nuklir Indonesia, DR Iwan Kurniawan.

"PLTN bagi Indonesi masih berat. Tidak ada teknologi yang 100 persen sempurna terhadap radiasi. PLTN sangat berbahaya dan teknologi ini tidak mungkin dianggap main-main. PLTN bukan alih teknologi, namun berorientasi proyek," Iwan Kurniawan.*

*Penulis adalah Aktivis Walhi Kalbar

Sumber: http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/12406, lihat juga di; http://www.tribunnews.com/2010/06/14/masyarakat-anti-nuklir-tolak-pltn

Nuklir Energi Berbahaya; Tolak PLTN

Menolak Mega Proyek PLTN di Tanah Air

Kalbar menjadi salah satu lokasi yang sedang di timang-timang untuk didirikan PLTN dengan alasan daerah aman bencana dan memiliki bahan mentah uranium di Melawi. Namun dalam aksinya para aktifis lingkungan mendesak agar niat membangun PLTN dihentikan.

By. Hendrikus Adam*

Sabtu (12/6) pagi kala sang mentari mulai bangkit sekiar pukul 09.00 wiba, di kawasan Tugu Proklamasi tampak semarak. Spanduk warna hitam berukuran lebar memanjang terbentang di sebelah kiri dan kanan masuk kawasan tersebut yang menyiratkan sejumlah pesan lingkungan; “Stop Nuklir, No Nuke No More Chernobyl, Revolusi Energi Sekarang, Kami Dukung Energi Bersih, Energi Nuklir=Energi Berbahaya, Bumi Pertiwi Zona Bebas Nuklir”. Di bagian tengah persis di depan Tugu patung kedua tokoh Proklamator telah berdiri baliho besar menjadi latar dari rangkaian kegiatan kala itu. Persis di depan baliho, berdiri tenda dan pajangan gambar-kalender yang mengisahkan ancaman bahaya nuklir. Seruan bahaya nuklir juga terpajang di dinding tenda dan sejumlah spanduk besar.

Sementara disaat akan dimulainya kegiatan, para tamu dan undangan berangsur datang memadati kawasan Tugu Proklamasi hingga “ritual” aksi yang diinisiasi oleh Greenpeace yang dihadiri sejumlah perwakilan masyarakat dari tujuh provinsi, kalangan NGOs (Walhi, Masyarakat Anti-NUklir Indonesia/Manusia, perwakilan lembaga lainnya) dan sejumlah wartawan media yang ada di jantung Ibu Kota negara. Satu persatu perwakilan masyarakat dari tujuh provinsi menyampaikan keprihatinannya dalam bentuk orasi mengkritisi niat pemerintah mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di daerahnya masing-masing. Adapun ketujuh perwakilan masyarakat tersebut diantaranya berasal dari Kalbar, Kaltim, Bangka Belitung, Jawa Timur-Madura, Jateng-Jepara, Banten, Gorontalo menyatakan penolakannya terhadap kebijakan pemerintah yang mengagendakan wacana membangun PLTN. ”Pembangunan PLTN di Kalimantan Barat hendaknya tidak dipaksakan oleh pemerintah, namun mengantisipasi kemungkinan bahaya dari resiko penggunaan energi nuklir penting diperhitungkan sejak dari sekarang untuk kepentingan masyarakat luas. Energi listrik memang dibutuhkan, namun energi yang justeru rawan dan berpotensi mengancam masa depan harus dihentikan. Masih banyak sumber energi lainnya yang harusnya bisa digunakan,” jelas perwakilan dari Kalimantan Barat. Nada yang tidak jauh berbeda juga disampaikan perwakilan dari provinsi lainnya.

"NU Jepara telah mengeluarkan fatwa haram terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, tetapi sampai sekarang pemerintah dan pendukungnya masih terus melakukan berbagai aktivitas terkait rencana pembangunan tenaga nuklir di Jepara," urai Said Sumedi dari Perhimpunan Masyarakat Balong (PMB) Jepara.

Pada saat bersamaan gita karya Iwan Fals bertajuk Proyek 13 yang menyiratkan pesan penolakan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) menggema diiringin aksi teatrikal yang diperankan tiga orang mengenakan pakaian masing-masing berwarna merah, hitam dan putih. Satu orang diantaranya mengenakan kapak layaknya “malaikat” pencabut nyawa. Teatrikal ini mengisahkan ancaman bahaya nuklir (PLTN) terhadap kehidupan yang siap mencabut nyawa kapan saja. Akhir dari teatrikal, ”sang pencabut nyawa” ditaklukkan dengan dibalut kain putih. Begitulah suguhan “drama” aksi damai bersama yang menginginkan agar pemerintah tidak merealisasikan proyek yang dianggap berbahaya dan memiliki potensi ancaman dasyat itu. Pemerintah diharapkan tidak memaksakan pembangunan yang dinilai cenderung ambisius dan hanya berorientasi kepentingan sesaat.

Arif Fiyanto, juru kampanye energi dan iklim Greenpeace Indonesia menyatakan pihaknya pada hari tersebut mendeklarasikan penolakan terhadap rencana pembangunan PLTN di seluruh Indonesia . "Menurut kami, rencana pembangunan PLTN adalah cermin dari sesat pikir pemerintah dalam memecahkan masalah energi di Indonesia . PLTN dianggap solusi untuk memecahkan masalah energi di Indonesia , padahal begitu banyak sumber energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Jadi dari pada membangun PLTN, pemerintah seharusnya fokus mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan di negeri ini," jelas Arif.

PLTN, Proyek Ambisius.

Bersamaan dengan aksi ini, Greenpeace juga meluncurkan kalander “365 alasan penolakan kekuatan nuklir” yang memuat sejumlah fakta soal bahaya nuklir bagi kehidupan yang melanda sejumlah tempat di dunia. Selanjutnya, kegiatan dilakukan dengan menyelenggarakan diskusi terbuka bertema “PLTN, Mitos dan Realitas” bertempat di Tugu Proklamasi yang dihadiri sejumlah narasumber diantaranya; A. Sonny Keraf (Mantan Menteri LH dan penulis buku Etika Lingkungan), Kahar Al Bahri (aktivis Jatam Kaltim), DR. Iwan Kurniawan (Pakar Nuklir) dan Hendro Sangkoyo (Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik). Sony Keraf dalam pemaparannya menyatakan Indonesia masih belum untuk menjalankan teknologi PLTN. Menurutnya, PLTN merupakan proyek yang cenderung ambisius.

“Bahwa soal krisis energi listrik memang tidak bisa dibantah, dan memang betul ada realitas kelangkaan. Namun bagi yang mendukung PLTN seakan hal tersebut menjadi jawaban atas krisis energi listrik yang dialami, masih banyak alternatif energi lain. Saya tidak meragukan penguasaan nuklir oleh anak bangsa ini, namun ketidakmampuan dalam hal safety cultur teknologi sangat lemah” jelas Sony Keraf.

Dikatakan Sony Keraf, teknologi PLTN belum siap kita jalankan di Indonesia . Ia juga mengkritisi upaya sosialisasi soal PLTN yang dilakukan bila cenderung hanya menyampaikan sisi positifnya semata agar dapat diterima masyarakat. “Salah besar bila sosialisasi PLTN dilakukan untuk menggiring masyarakat meneirma PLTN. PLTN, proyek yang cenderung ambisius,” jelasnya.

Senada dengan Sony Keraf, juga disampaikan pakar nuklir Indonesia , DR Iwan Kurniawan. Ia mengatakan PLTN di negeri ini masih tidak bisa dipaksakan, namun demikian mempelajari soal energi Iptek soal nuklir itu tidak masalah. "PLTN bagi Indonesi masih berat. Tidak ada teknologi yang 100 persen sempurna terhadap radiasi. Elemen radio isotop dari radiasi sangat berbahaya. PLTN sangat berbahaya dan teknologi ini tidak mungkin dianggap main-main. PLTN bukan alih teknologi, namun berorientasi proyek," ungkap Iwan Kurniawan, doktor nuklir yang pernah mengenyam pendidikan di negeri Sakura ini. ”Kita belum tentu menerima energi, namun radiasinya sudah pasti,” sambung Hendro Sangkoyo, kepala Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik.

Menolak PLTN

Usai berdialektika dalam sebuah forum diskusi, kegiatan selanjutnya diteruskan dengan pertemuan bersama yang sekaligus sebagai pertemuan nasional masyarakat antinuklir Indonesia , dilangsungkan bertempat di Kantor Greenpeace sekitar kawasan Jakarta Selatan. Pertemuan ini melahirkan forum bersama Koalisi Anti-Nuklir yang merupakan pertemuan sharing informasi dan perumusan agenda bersama guna menyikapi berbagai problem dan kemungkinan dampak dari PLTN yang akan diterima masyarakat. Bagi forum ini, PLTN bukanlah alternatif solusi yang tepat untuk mengatasi krisis energi yang dialami, karena dampak buruk energi nuklir diyakini jauh lebih dasyat dari pada sekedar sebagai pengganti energi. Masih banyak sumber energi yang dapat dijajaki dari pada sekedar memaksakan energi nuklir (PLTN) seperti sumber dari air, panas bumi, matahari, angin dan lainnya.

Kekhawatiran multipihak (kalangan masyarakat anti nuklir) terhadap potensi dan bahaya nuklir agaknya tidak berlebihan bila melihat berbagai kejadian bencana yang terjadi. Kejadian tanggal 26 April 1986 yang dikenal dengan bencana Chernobyl di Urkania yang mengakibatkan sedikitnya sebanyak tujuh (7) juta orang harus menderita setiap hari menjalani dampak dari bencana ini. Selanjutnya bencana nuklir di Mayak, Rusia 29 September 1957 yang menyebabkan 272 ribu orang terkena radiasi tingkat tinggi. Akibatnya banyak orang yang menderita penyakit kronis, hipertensi, masalah jantung, arthritis dan asma. Setiap detik orang dewasa menderita kemandulan, 1 dari 3 bayi yang baru lahir menderita cacat, dan 1 dari 10 anak lahir secara prematur serta jumlah orang yang menderita kanker meningkat pesat. Kejadian lainnya di Seversk (dulu Tomsk-7) di Siberia pada 6 April 1993 yang menunjukkan dampak gejala serupa berupa kelainan darah dan kerusakan genetik. Hal yang sama pernah terjadi di Semipalatinsk, Astana pada tahun 1949 hingga tahun 1962. Akibatnya, hampir setengah dari populasi menderita disfungsi sistem syaraf motorik. Di Jepang, juga pernah terjadi ketika kota Herosima dan Nagasaki diserang tentara sekutu Amerika dengan Bom Atom yang menggunakan energi nuklir. Serta di Three Mile Island Amerika pada 1979 yang juga memakan banyak korban.

Gelombang penolakan terhadap energi nuklir mengalir di berbagai penjuru nusantara. Pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah misalnya sejak awal di tolak oleh berbagai lapisan masyarakat seperti; Walhi, Greenpeace, Yayasan Pelangi Jakarta, Gerakan Anti Nuklir (Geton) Salatiga, BEM Jateng, Sampak GusUran, LBH ATMA Pati, Koaliasi Rakyat Tolak Nuklir (Kraton), Persatuan Masyarakat Balong (PMB), Kelompok Petani Nelayan Andalan (KTNA) Jepara, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jepara, Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kudus dan Jepara, serta Lakpesdam NU. Bahkan di tahun 2007, NU Jepara mengeluarkan fatwa haram soal PLTN.

Di Madura, Jawa Timur elemen masyarakat sipil juga menyampaikan penolakan keras terhadap rencana pendirian PLTN di Madura dan Bangkalan khususnya, seperti di Kecamatan Socah, Kamal, dan Labang. Tahun 2009 lalu organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU) didaerah setempat juga telah mengeluarkan fatwa bahwa pembangunan PLTN di Madura adalah haram. Di Kalimantan Barat penolakan PLTN pernah di gelorakan Front Mahasiswa Kalbar terdiri dari PMKRI, IMKB dan GMNI pada April 2008 yang menilai rencana pembangunan melalui kebijakan tersebut tidak populis. Dalam pernyataan Gubernur Kalbar di media lokal pernah menyatakan bahwa Kabupaten Landak dan Melawi dapat dijadikan lokasi pendirian PLTN. Kalbar menurut Gubernur memenuhi syarat untuk dibangun PLTN, karena salah satu wilayah yang mempunyai uranium, yakni di Kabupaten Melawi. Pemda Kalbar sendiri telah mengajukan usulan pembangunan PLTN kepada Dewan Energi Nasional.

Gelombang penolakan juga terjadi di Bangka Belitung, Banten dan Gorontalo. Berbagai lembaga masyarakat sipil lainnya seperti Walhi, Kiara, Jatam, Manusia, IESR, SHI, Satu Dunia, CSF yang juga menggelorakan penolakan rancana pembangunan PLTN di Indonesia.

Bagi masyarakat sipil yang menolak, nuklir bukanlah pilihan guna menjawab kebutuhan listrik di Indonesia. Pernyataan yang dikeluarkan otoritas nuklir dengan menyatakan bahwa energi nuklir adalah energi paling aman dan murah kepada publik, perlu dikritisi lebih lanjut. Masyarakat atau publik tidak diberikan informasi secara detil tentang dampak serta resiko-resiko yang harus mereka hadapi ketika ada pencemaran dan kecelakaan nuklir terjadi. Kondisi ini menuntut peran maksimal pemerintah untuk menggali sumber-sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan dan tidak memiliki risiko besar di Indonesia. Pemerintah diharapkan juga dapat meningkatkan dan mengidentifikasi sumber potensi sumber energi terbarukan dapat dikembangkan. Pengembangan energi alternatif saatnya mengedepankan energi bersih dan masa depan kehidupan serta lingkungan yang berkelanjutan, tanpa harus memaksakan proyek PLTN yang berbahaya.

*) Aktifis Walhi Kalimantan Barat

Ancaman Pembukaan Hutan Gambut untuk Perkebunan Sawit

Pembangunan hakekatnya merupakan upaya sadar dan terencana yang diarahkan dengan tujuan ’mulia” yakni meningkatkan kapasitas dan kualitas tatanan kehidupan sosial yang lebih baik dengan sasaran akhirnya untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Wilayah yang memiliki potensi untuk memberikan kesejahteraan tersebut meliputi segala kekayaan yang ada diperut bumi ini, yakni berupa hutan-tanah-air-beserta isinya. Namun demikian, sadarkah kita kalau ”rayuan” kesejahteraan atas nama pembangunan itu seringkali malah jauh dari harapan? Kebijakan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur (sawit) boleh menjadi bukti betapa kebijakan pembangunan disektor ini telah memberikan sejumlah dampak yang tidak menguntungkan bagi masa depan lingkungan, maupun terhadap kondisi sosial dan budaya masyarakat kita yang sebagian besar mengandalkan hidup dan kehidupannya dari hasil sumber daya alam selama ini.

Atas nama pembangunan, hutan-tanah-air sebagai sumber hidup dan kehidupan diambang kehancuran. Hutan sebagai ”apotik dan supermarket” masyarakat selama ini secara pasti hilang, karena pembukaan kawasan hutan skala besar tanpa menyisakan sebatang pohon pun seperti perkebunan sawit sama artinya dengan menghilangkan fungsi hutan. Kebijakan perluasan perkebunan sawit melalui program pembangunan dalam kenyataannya lebih mengedepankan aspek keuntungan ekonomi semata, sementara aspek sosial, adat-budaya dan ekologi yang harusnya mendapatkan tempat teratas yang turut menjadi pertimbangan justeru seringkali ”diabaikan”. Akibatnya, cita-cita pembangunan itu malah kandas dan menyisakan masalah bagi warga. Bila demikian, pantaskah kebijakan dengan ”rayuan” kesejahteraan tersebut dikatakan sebagai sebuah pembangunan bila hasilnya bukan malah memberikan kemakmuran, tetapi malah merugikan masyarakat dan lingkungannya yang harusnya dilindungi oleh Negara (Pemerintah)?

Dengan demikian, upaya menumbuhkan kesadaran rakyat dengan memahami sejumlah dampak sebagai akibat dari kebijakan perluasan perkebunan monokultur yang juga sekaligus sebagai potensi ancaman bagi kehidupan sosial dan ekologi menjadi penting. Ketika rakyat kian kritis berjuang secara sadar dan berdaulat atas sumber daya alam, maka sesungguhnya negara berhasil ”mencerdaskan” warganya. Sebaliknya, bila warganya hanya menjadi penonton dan bukan tuan serta hanya bersifat acuh (tidak peduli) terhadap kebijakan pembangunan (tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi) pengelolaan sumber daya alam misalnya, maka patut dipertanyakan serta dapat menjadi sebuah refleksi bahwa sesungguhnya negara (pemerintah) gagal “mencerdaskan” warganya. Sedikitnya ada sejumlah persoalan yang MENJADI potensi ANCAMAN (Tulah) yang dihadapi terkait dengan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur diantaranya; 1) Tanah masyarakat diambil perusahaan, 2) Konflik terjadi di masyarakat, 3) Kriminalisasi terhadap masyarakat, 4) Budaya di masyarakat hilang, 5) Krisis pangan di kampung, 6) Hutan menjadi hilang, 7) Binatang dihutan Musnah, 8) Tumbuhan obat-obatan di hutan hilang, 9) Terjadi bencana banjir, 10) Terjadi bencana kekeringan, 11) Terjadi bencana asap, 12) Terjadi krisis air bersih, 13) Tanam tumbuh dan Tembawang masyarakat menjadi lenyap, 14) Sungai-sungai menjadi rusak, 15) Penyumbang emisi karbondioksida diatmosfir, 16, Penyumbang terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, dan 17) Lahan Gambut Rusak.

Komitmen Pemerintah untuk melakukan ”moratorium” dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan seiring dengan upaya mengurangi dampak dari pemanasan global yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim sejatinya baik adanya. Karena dalam dalam tataran realita dilapangan akumulasi emisi akibat aktifitas manusia telah memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para nelayan. Namun demikian, dengan lahirnya Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2009 yang memberikan ruang untuk pemanfaatan Lahan Gambut untuk dapat di konversi Budidaya Perkebunan Sawit. Padahal sebagaimana diketahui kawasan Gambut merupakan areal penting yang perlu diselamatkan. Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi (emisi).

Ekosistem lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air, juga sebagai kawasan sumber flora dan fauna (sumber daya alam hayati). Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 ini jelas menjadi ancaman bagi ekosistem gambut dan masa depan bumi. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut juga telah diatur dalam Keppres Nomor 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Lahan gambut Kalbar seluas 1,72 juta Ha perlu diselamatkan dari kebijakan yang hanya mengutamakan keuntungan ekonomi semata, karena kita tidak punya cadangan bumi baru. Peran serta semua pihak menjadi urgen untuk melakukan antisipasi bersama dengan menekan laju dampak perubahan iklim yang telah mempengaruhi iklim kehidupan ekonomi, sosial, budaya, adat istiadat masyarakat. [div riset dan kampanye]

S E R U A N PANITIA BERSAMA PERINGATAN HARI LINGKUNGAN HIDUP 2010 ”PERAMPASAN TANAH MENYEBABKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DI KALIMANTAN BARAT ”

(FRONT MAHASISWA NASIONAL, GMNI, PMKRI, GMKI, GEMPA, HIBER, MATA UMP, UP-LINK, ENGANG GADING, MEPA, IPNU PONTIANAK, WALHI KALBAR LEMBAGA ANGGOTANYA (GEMAWAN, LBBT, ID, PPSHK, RIAK BUMI, PPSDAK-PK, YKSPK), AMAN-KalBar, LANTING BORNEO)

“Selamatkan Hak-hak Rakyat, agar Terciptanya Dunia Baru”

Tanah dan Kekayaan Alam menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat adat/lokal, petani, nelayan, dan masyarakat pekerja pedesaan lainnya. Sebab tanah dan kekayaan alam merupakan podasi dari keberadaan masyarakat itu sendiri. Misalnya di dalam Masyarakat Adat, Tanah dan Kekayaan Alam merupakan sarana untuk mendapatkan kebutuhan baik material maupun spiritual dalam melangsungkan hidup dan kehidupannya. Karya seni dan kebudayaan yang berkembang di dalam masyarakat adat merupakan gambaran hubungan antara manusia dengan Tanah dan Kekayaan Alam.

Petaka yang mengencam keberadaan kaum tani/masyarakat adat serta masyarakat pekerja lainya di desa Wilayah Kalimantan saat ini. Dimana, diakibatkan sejak penetrasi modal (investasi) masuk semakin dalam ke wilayah Kalimantan dengan melakukan eksploitasi kekayaan alam yang dimiliki. Hutan perawaan dihancurkan tanpa mempedulikan fungsi hutan yang menjadi penyeimbang bagi kehidupan melalui konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH/IUPHHK). Kandungan di dalam perut bumi yang kaya akan bahan tambang dikeruk melaui konsesi Kontrak Karya Pertambangan (KKP). Dan, untuk melanggengkan tanah-tanah kaum tani/masyarakat adat sebagai tanah jajahannya dengan mengambil alih tanah-tanah tersebut untuk dijadikan Perkebuan Kelapa Sawit melalui konsesi Hak Guna Usaha (HGU).

Praktek ini terlihat jelas dari luasnya perkebunan sawit 4,145 Juta , jumlah perusahaan kehutanan pemegang ijin IUPHHK-HA yang masih aktif sebanyak 18 (delapanbelas) unit dan 5 (lima) unit berstatus tidak aktif. IUPHHK/IUPHHK-HA dengan luas konsesi 1.125.785 Ha yang berada di Kabupaten Kubu Raya, Ketapang, Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu (draft Statistik Kehutanan Kalimantan Barat, 2008). Sementara itu pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Provinsi Kalimantan Barat sebanyak 9 (Sembilan ) perusahaan, dengan luas konsesi 781.415,17 Ha , dan tambah lagi 280 ijin kuasa pertambangan dengan luasan 1 juta hektar . Kesemua hal tersebut dilakukan dengan mengabaikan keberadaan masyarakat adat yang sudah turun temurun menguasai, menjaga, memanfaatkan dan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari tanah dan sumber daya alamnya.
Hancurnya hutan akibat penebangan dan hancurnya tanah akibat pertambangan serta berubahnya tanaman rakyat yang heterogen mejadi tananaman homogon (monokultur) berupa perkebunan sawit merupakan realitas yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Penyingkiran masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pekerja desa lainya dari realitas obyektifnya tersebut telah menyebabkan mereka kehilangan penopang bangunan sistem masyarakatnya yakni tanah dan alam dengan segala isinya. Alam dan segala isinya yang secara turun temurun penguasaan dan pengelolaan dilakukan secara komunal oleh masyarakat adat/lokal telah berpindah tangan dan terkonsentrasi (terpusat) pada segelintir orang pengusaha (dalam maupun luar negeri).

Oleh karna itu maka sebagai masyarakat yang merasa prihatin terhadap kondisi lingkungan yang tergabung dalam Panitia Bersama Hari Lingkungan Hidup 2010 menyatakan sebagai berikut :
• Hentikan perampasan tanah Rakyat
• Hentikan Penghancuran kekayaan alam Rakyat
• Hentikan penghancuran hutan
• Hentikan perluasan perkebunan sawit
• Usut tuntas kekerasan, teror dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, dan kaum pekerja lainnya
• Usir perusahaan yang merampas tanah dan menghisap kekayaan alam Rakyat
• Menolak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat lingkungan dan rakyat.
• Menolak sistem yang menghisap, menindas dan merusak tanah dan kekayaan alam rakyat
• Hentikan pemaksaan, penekanan, dan adu domba terhadap kaum tani/masyarakat adat yang mempertahan kan tanah dan kekayaan alam.


PONTIANAK, JUNI 2010

Panitia Bersama Peringatan Hari Lingkungan Hidup 2010

http://beritasore.com/2007/06/13/pemberian-izin-perkebunan-sawit-di-kalbar-capai-4145-juta-hektar/
Rekomendasi Transparansi Dalam Pengusahaan Hutan Bagi Iuphhk-Ha/Ht Menuju Pengelolaan Hutan Lestari Di Provinsi Kalimantan Barat, oleh EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT Project , pontianak february 2010
Data walhi-kalbar

STOP Rusak Lingkungan!

Upaya perusakan linkungan melalui kebijakan investasi skala besar menjadi keprihatinan. Pulau Kalimantan yang dikenal sebagai “Paru-paru Dunia” terancam keberadaannya, sehingga seruan untuk mencintai Bumi terus digelorakan.

Hal ini yang dilakukan oleh segenap elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Panitia Bersama Peringatan Hari Lingkungan Hidup pada tanggal 5 Juni lalu melalui aksi simpatiknya yang di pusatkan di Bundaran Untan Pontianak. Disamping melakukan orasi dan pembagian selebaran, puluhan aktifis lingkungan tersebut juga melakukan aksi teatrikal dengan membawa sejumlah poster dan dua buah globe buatan menggambarkan bumi yang kian rusak karena ulah manusia. Massa aksi juga melakukan “pemagaran” bundaran Untan dengan pesan-pesan himbauan seperti; “2020 Kalbar Tenggelam, Usir Perusak Lingkungan, 80% Tanah Kalbar Milik Pengusaha dan Di Cari Bumi Baru”.

Berbagai elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Panitia Bersama Peringatan Hari Lingkungan 5 Juni ini terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat bersama anggotanya (Gemawan, LBBT, ID, PPSHK, Riak Bumi, PPSDAK-PK, YKSPK), Front Mahasiswa Nasional, GMNI, PMKRI, GMKI, GEMPA, HIBER, MATA UMP, UP-LINK, ENGANG GADING, MEPA, IPNU PONTIANAK, AMAN-KalBar dan Lanting Borneo.
Sejumlah seruan yang disampaikan Panitia Bersama Hari Lingkungan Hidup 2010 menyatakan sebagai berikut; 1) Hentikan perampasan tanah Rakyat, 2) Hentikan Penghancuran kekayaan alam Rakyat, 3) Hentikan penghancuran hutan, 4) Hentikan perluasan perkebunan sawit, 5) Usut tuntas kekerasan, teror dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, dan kaum pekerja lainnya, 6) Usir perusahaan yang merampas tanah dan menghisap kekayaan alam Rakyat, 7) Menolak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat lingkungan dan rakyat, 8) Menolak sistem yang menghisap, menindas dan merusak tanah dan kekayaan alam rakyat dan 9) Hentikan pemaksaan, penekanan, dan adu domba terhadap kaum tani/masyarakat adat yang mempertahan kan tanah dan kekayaan alam.

Berbagai kegiatan yang telah dirumuskan akan segera di helat dalam rangka Peringatan Hari LH dengan tema ”Perampasan Tanah Menyebabkan Kerusakan Lingkungan Hidup Di Kalimantan Barat ” diantaranya; melakukan aksi Aksi Simpatik 5 Juni 2010 di Bundaran Untan, Seminar ”Deforestasi Akibat Peralihan untuk Perkebunan Skala Besar” tanggal 12 Juni 2010 oleh FMN, Kegiatan Aku Peduli digelar oleh HIBER pada Juni 2010, Seminar "Perempuan dan Lingkungan" oleh Walhi Kalbar Juni 2010, dan akan menggelar Panggung Budaya dan Malam Amal untuk Lingkungan pada Juli 2010 melalui kepanitiaan bersama.

Rangkaian kegiatan sebagaimana dilakukan merupakan bentuk respon berbagai elemen masyarakat sipil atas keprihatinannya terhadap kondisi lingkungan yang kian mengelami degradasi. Berdasarkan data Walhi Kalimantan Barat terkait dengan kebijakan investasi yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan hidup didominasi oleh bidang pembukaan perkebunan monokultur skala besar dan pemberian izin kuasa pertambangan yang saat ini mencapai 1 juta hektar dari luasan izin pertambangan sebanyak 280. sedangkan untuk perkebunan monokultur menguasai sebesar 5 juta hektar dari 15 Groups Perusahaan besar yang ada di Kalbar. Catatan Walhi di Kalbar telah terjadi 200 konflik terkait dengan lahan, pelanggaran HAM, konversi hutan dan gambut. Sedangkan di Indonesia berdasarkan catatan Sawit Watch hingga 2010 terjadi 630 konflik terkait perkebunan sawit. Berbagai bencana dan konflik tersebut terakumulasi menjadi kerawanan terhadap kondisi ekologis. Dalam kurun 13 tahun terakhir, misalnya Walhi mencatat telah terjadi 6.632 bencana terkait ekologi. Deforestasi Hutan, Hilangnya Kehati, Bencana Asap, Banjir, Krisis Air Bersih, Perampasan Tanah dan Kriminalisasi terhadap Masyarakat mendominasi dari ribuan kasus bencana tersebut.

Akomodir Kepentingan Rakyat untuk Lingkungan Lestari

Senin, 9 Agustus 2010 lalu bertemat di Sekretariat Walhi Kalbar dalam sebuah forum Jumpa Pers, perwakilan warga Seruat dan Mengkalang Guntung yang tergabung dalam Sarikat Tani Kubu Raya (STKR) menyatakan sikap meminta pemerintah terkait untuk mencabut izin usaha dan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sintang Raya yang dinilai telah menimbulkan konflik di masyarakat sekitar konsesi dan perusahaan dinilai telah melakukan penyerobotan areal pertanian serta lahan perkebunan milik warga.

Perusahaan juga menggarap hutan yang menjadi kawasan penyangga di Seruat. Lahan perusahaan dianggap telah tumpang tindih. Perusahaan yang bergerak dalam bidang pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit ini juga dianggap tidak memiliki dokumen AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) saat beroperasinya perusahaan tersebut sejak pertengahan tahun 2006. Selanjutnya dalam catatan warga Seruat, perusahaan ini juga telah menggarap kawasan berlahan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter. Warga meminta AMDAL yang dikeluarkan beberapa tahun setelah perusahaan melakukan sejumlah aktifitas untuk dikaji ulang. Warga meminta pihak Perusahaan dan Pemerintah bertanggungjawab atas bencana banjir di Seruat dan sekitarnya. Serta meminta agar upaya propokasi terhadap warga agar menyerahkan tanah kepada pihak perusahaan dihentikan!

Sejumlah point dari fenomena di masyarakat yang menjadi landasan keberatan warga tersebut adalah “dosa perusahaan” yang penting untuk dipertimbangkan oleh pemerintah daerah (Kubu Raya) dan sejumlah pihak terkait untuk melakukan langkah strategis menyikapi kasus PT. Sintang Raya yang memperoleh izin seluas 20.000 Ha sejak tahun 2004 itu dalam upaya mengakomodir kepentingan rakyat untuk lingkungan lestari.

Besarnya potensi konflik terkait pembukaan kawasan hutan dan wilayah kelola rakyat untuk kepentingan perkebunan monokultur tidak dapat terbantahkan ketika selama ini yang seringkali ditemui dalam prakteknya bahwa prinsip FPIC (Free, Prior, Informed and Concent) sering kali diabaikan. Prinsip FPIC merupakan sebuah sebuah instrument untuk mengakomodatif kepentingan warga dengan memberikan informasi secara utuh tentang dampak keberadaan sebuah proyek pembangunan dan kemudian memberikan ruang kebebasan bagi warga untuk menentukan pilihan pembangunan dengan sadar terkait dengan sikap menerima dan atau menolak! Dalam hal ini, pihak masyarakat mestinya menjadi penentu dari setiap kebijakan pembangunan yang akan dilakukan di daerahnya, dan masyarakatlah yang sungguh-sungguh memahami kebutuhan di daerahnya.

Orientasi untuk mengembangkan aspek ekonomi semata seringkali menjadi alasan priotitas diterimanya korporasi untuk membuka kawasan hutan, sementara aspek sosial-budaya-adat dan kepentingan untuk ekologi seakan tidak menjadi pertimbangan mendasar yang sangat penting dipertimbangkan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya sejumlah “dosa perusahaan” terkait dengan syarat sejumlah dokumen administrasi yang tidak dipenuhi. Dalam hal ini sebagaimana amanat Permentan Nomor 26 Tahun 2007 mengenai Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan pasal 15 poin (i) yang mensyaratkan perlu adanya hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Sisi lain dari kebijakan pemerintah yang kontradiktif dengan semangat “moratorium” untuk penyelamatan lingkungan yang didengungkan selama ini adalah ketika hadirnya Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budi Daya Kelapa Sawit. Kebijakan ini justeru memberikan celah bagi korporasi untuk dapat semakin leluasa menambah peliksnya persoalan lingkungan.

Betapa tidak? Komitmen Pemerintah untuk melakukan ”moratorium” dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan seiring dengan upaya mengurangi dampak dari pemanasan global yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim sejatinya baik adanya. Karena dalam dalam tataran realita dilapangan akumulasi emisi akibat aktifitas manusia telah memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para nelayan. Namun demikian, dengan lahirnya Permentan Nomor 14 Tahun 2009 yang memberikan ruang untuk pemanfaatan Lahan Gambut untuk dapat di konversi Budidaya Perkebunan Sawit, membuktikan bahwa keberpihakan pemangku kebijakan masih perlu dipertanyakan dalam semangat penyelamatan lingkungan. Padahal sebagaimana diketahui kawasan Gambut merupakan areal penting yang perlu diselamatkan. Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi (emisi).

Ekosistem lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air, juga sebagai kawasan sumber flora dan fauna (sumber daya alam hayati). Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 ini jelas menjadi ancaman bagi ekosistem (gambut khususnya) dan masa depan bumi umumnya. Apalagi batasan kedalaman gambut yang digarap oleh korporasi tersebut melebihi angka yang telah ditentukan dan secara otomatis bertentangan dengan konstitusi.

Apa yang disampaikan warga tentunya tidak berlebihan, terlebih dengan fenomena dan dampak dari kondisi buruknya lingkungan yang telah dipetik hasilnya melalui bencana banjir di Seruat dan sekitarnya. Kejadian ini kemudian memberikan sejumlah dampak seperti gagal panen yang dialami petani. Pemerintah Kubu Raya selayaknya mengakomodir kepentingan warganya. Upaya ”adu domba” yang selama ini dialami warga harus segera di hentikan. Jangan ada lagi perampasan tanah dan konflik oleh karena hadirnya kebijakan pembangunan perkebunan monokultur dengan dalih kesejahteraan. Pemerintah yang mengklaim diri pro terhadap rakyat mutlak melakukan langkah kongkrit melalui kebijakan yang tidak melukai hati rakyat. Bagaimanapun warga Seruat dan sekitarnya yang menjadi korban atas kebijakan Pembangunan harus mendapatkan perhatian yang sama dengan warga negeri lainnya, karena bila lingkungan rusak sudah pasti masa depan akan suram!!! Selayaknya Pemerintah Mengakomodir Kepentingan Rakyat yang menjadi korban pembangunan untuk kepentingan Lingkungan yang lestari.

Senin, 23 Agustus 2010

Jangan Tipu Masyarakat!

Pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat agaknya susah dikatakan steril dari persoalan. Potensi ancaman kondisi sosial dan ekologi menjadi konsekuensi logis yang terjadi. Dimana ada pembukaan perkebunan sawit, di situ ada masalah. Realita ini telah menjadi rahasia umum yang harusnya dapat menjadi pelajaran berharga bagi multi pihak untuk dapat mengkaji lebih jauh soal peluang kebijakan lainnya terkait pemberdayaan masyarakat yang lebih menjanjikan dan memberikan perlindungan atas hak-hak masyarakat terhadap lingkungan. Pemerintah kiranya tidak mendasarkan aspek kepentingan ekonomi semanta dengan dalih untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat, sementara aspek sosial, budaya, adat istiadat dan aspek ekologi yang berkelanjutan tidak diperhitungkan.

Gambaran persoalan terkait dengan pembukaan perkebunan monokultur ini misalnya terjadi di Desa Amang, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak. Hadirnya PT. Pratama Prosentindo dan PT. Putra Indotropical yang bergerak dalam bidang perkebunan sawit di daerah ini tidak hanya telah menghilangkan hutan yang dimiliki masyarakat karena telah di buka untuk perkebunan sawit, namun juga telah melakukan pembukaan kawasan hutan diluar kawasan izin yang diperuntukan. Bahkan saat ini telah menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya di kawasan yang diluar izin tersebut.

Berdasarkan laporan masyarakat yang di sampaikan oleh Eddy Son (penerima kuasa masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat) dan hasil penelusuran Walhi Kalimantan Barat di lapangan, bahwa pembukaan perkebunan di daerah tersebut juga telah memberikan konsekuensi terhadap terancamnya kondisi Sungai Menyuke yang menjadi sumber air andalan masyarakat di hilir sungai yang kini tampak keruh. Juga membuka perkebunan di kawasan yang tidak jauh dengan bantaran sungai.

Penyerahaan lahan yang belakangan diketahui ternyata berada di luar izin, karena masyarakat diberi informasi yang keliru. Masyarakat merasa di tipu oleh informasi yang di sampaikan pihak perusahaan kalau kawasan tersebut berada masuk dalam kawasan izin perusahaan, sehingga kemudian masyarakat menyerahkan lahan.

Persoalan lainnya, di kawasan di luar izin tersebut masih menyisakan persoalan dimana masih adanya tanah warga yang di Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) oleh pihak Perusahaan PT. Pratama Protenindo yang mendapat izin sejak tahun 2005. Penyerobotan lahan masyarakat terjadi. Adapun wilayah konsesi PT. Pratama Prosentindo meliputi empat Dusun di Desa Amang yakni Dusun Amang, Meramun, Bangsal Baru dan Sei Tuba.

Tertanggal 22 Januari 2008 berdasarkan SK Bupati Landak di Amang masuk PT. Putra Indotropical, satu group dengan PT. Pratama Prosentindo yakni milik Wilmar Group yang ternyata arealnya masuk dalam kawasan tanah yang diluar kawasan izin. Akhir tahun 2009, bersamaan dengan hadirnya PT. Daya Sumber Makmur (Group Jarum) yang lokasinya berada di PT. Pratama Prosentindo di divisi I dan II yang kini ditanami sawit. Dengan hadirnya PT. DSM inilah, yang kemudian baru diketahui kalau perusahan bekerja di luar izin. Dengan demikian, telah terjadi tumpang tindih kawasan untuk perkebunan yang seharusnya tidak terjadi. Pemerintah daerah setempat adalah pihak yang turut terkait dengan persoalan tumpang tindih kawasan ini. Pemda dinilai melanggar hukum dengan menerbitkan izin baru per 22 Januari 2010 bagi PT. PI sedangkan lahan tersebut sudah dikerjakan Per Juni 2006.

Dalam kasus ini, masyarakat merasa di bodohi dan merasa di tipu oleh pihak perusahaan. Masyarakat saat itu mau menyerahkan lahan untuk digarap lahannya karena mendapat informasi bahwa daerah yang kini baru diketahui berada diluar izin tersebut dulunya dianggap sesuai dengan SK Bupati Landak.

Di Desa Amang dan sekitarnya untuk saat ini setidaknya terdapat empat perusahaan perkebunan sawit yakni PT. Kapuas Rimba Sejahtera (KRS), PT. Daya Sumber Makmur (Group Jarum), PT. Putra Indotropical dan PT. Pratama Prosentindo.

Pemerintah daerah dan pihak legislatif dan pihak terkait lainnya hendaknya melakukan langkah-langkah kongkrit untuk memproteksi terjadinya perampasan hak-hak masyarakat, karena saat ini juga sedikitnya terdapat lebih dari 600 hektar lahan masyarakat yang belum di GRTT oleh pihak perusahaan. Pemerintah daerah Landak juga kiranya menghentikan pemberian izin dan perluasan perkebunan monokultur di daerah ini, maksimalkan yang ada dan selesaikan masalah yang dihadapi masyarakat. Pihak perusahaan hendaknya tidak melakukan pembodohan bagi warga. Hentikan pembodohan dan jangan tipu masyarakat!

Jumat, 20 Agustus 2010

Cerita Perih dari Kalbar; Ada Illegal Logging di kawasan Perbatasan

Kebijakan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan kelapa sawit di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang telah melahirkan konsekuensi logis yang destruktif bagi warga disekitarnya. Perusahaan (PT. Ledo Lestari) yang masuk tanpa permisi (tidak pernah melakukan sosialisasi) kepada warga alih-alih ingin mensejahterakan, namun malah membuat masalah dengan terus membabat hutan adat yang diakui warga secara turun temurun. Anak perusahaan PT. Duta Palma Nusantara Group ini malah membabat hutan adat dan hutan produksi melalui pembakaran (land cleaning) yang didalamnya terdapat tembawang, tanam tumbuh, kuburan tua, sumber air bersih dihancurkan, situs keramat dan berbagai jenis tanaman lainnya. Bukan hanya itu, perusahaan yang telah habis masa izinnya sejak tahun Desember 2007 ini malah menggunakan tangan aparat (tentara Lintas Batas/Libas) untuk menjaga usahanya yang membuahkan rasa trauma bagi warga.

Sebaliknya, pihak pemerintah daerah setempat (Bupati Bengkayang dan jajarannya) yang seharusnya menjadi pihak yang dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi warganya di Semunying Jaya, justeru tidak ada taring. Pengukuhan yang dilakukanoleh Bupati Bengkayang atas hutan adat pada tanggal 15 Desember 2009 hanyalah acara seremonial belaka. Lihat saja, pasca pengukuhan sejak saat itu hingga sekarang belum ada langkah maju yang lebih baik untuk memberikan penyelesaian rasa keadilan kepada warga dalam menyelesaikan problem yang mereka hadapi. Pengakuan secara legalitas melalui Keputusan Bupati yang diharapkan warga atas tanah adat menghadapi jalan buntu! Sementara pihak PT. Ledo Lestari terus menerus melakukan pembabatan dikawasan hutan sekitar perkampungan warga setempat. Disatu sisi, tentara Libas di kawasan tersebut justeru memberikan rasa kurangaman bagi masyarakat.

Salah satu persoalan yang terjadi di daerah kawasan perbatasan ini adalah terjadinya praktek ILLEGAL LOGGING (disamping perampasan tanah warga untuk perkebunan skala besar). Aktifitas ini malah melibatkan oknum TNI yang mengaku sebagai "Tentara Kebun". Praktek seperti ini pernah dilaporkan warga Semunying Jaya kepada multi pihak termasuk pimpinan aparat keamanan di Ibu Kota Negara sejak Februari 2010 silam, namun hingga kini masih belum ada tindak lanjut. Adapun modus ILLEGAL LOGGING ini dilakukan dengan cara menebang kayu di hutan adat warga yang selanjutnya menjual (membawa) kayu tersebut ke Malaysia dan di daerah Sambas.

Pengirimannya melalui jalur darat di kawasan Perbatasan Indonesia-Malaysia. Kayu ILLOG tersebut juga digunakan untuk pembangunan Camp PT. Ledo Lestari. Dampak lain dari kegiatan ini adalah rusaknya kawasan hutan, hilangnya kayu tegakan disekitar kawasan dan dengan "pencurian" kayu tersebut juga turut mengurangi potensi sumber daya alam masyarakat. Salah satu oknum aparat TNI yang dianggap terlibat adalah Alang Abdulah Semangi dari satuan 642 berpangkat kopral.

Pembukaan hutan kawasan sepanjang perbatasan di daerah kabupaten Bengkayang dan sekitarnya pada awalnya merupakan bekas wilayah konsesinya PT. Yayasan Maju Kerja/Yamaker Kalbar Jaya yang beroperasi sekitar tahun 1980 hingga tahun 1990an. Perusahaan ini merupakan sebuah perusahaan konsesi penebangan kayu dibawah kepemilikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Setelah YAMAKER diteruskan oleh perusahaan milik negara yakni Perum Perhutani yang beroperasi antara tahun 1998 hingga 2000 yang turut memperparah kerusakan pada tanah dan kawasan hutan ulayat masyarakat adat setempat. Selanjutnya tahun 2001 diteruskan oleh PT. Lundu, sebuah perusahaan pengergajian (saw mill) asal Malaysia yang melakukan penebangan hutan secara illegal di wilayah kawasan perbatasan Indonesia. Sejak tahun 2002 PT. Agung MultiPerkasa (AMP), sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit mendapatkan izin usaha mengambil alih pengelolaan kawasan tersebut. PT. AMP melakukan eksploitasi atas hutan adat masyarakat dan malah menebang kayu secara illegal di hutan adat, sementara hasilnya dijual melintasi perbatasan ke Malaysia yang juga dilakukan secara illegal. Akibat ulah yang hanya mengambil keuntungan sepihak tersebut, maka izin perusahan diberhentikan oleh pemerintah daerah setempat. Izin awal untuk membangun perkebunan sawit seluas 20.000 hektar selanjutnya dialihkan kepada PT. Ledo Lestari, sebuah anak perusahaan dari Duta Palma Nusantara Group yang mendapat izin sejak tahun 2004 dan baru mulai beroperasi pada Maret 2005. PT. Ledo Lestari dalam proses operasionalnya mengantongi izin dari Pemda Bengkayang seluas 20.000 ha. Selanjutnya, ijin usaha perkebunan berdasarkan surat Bupati Bengkayang bernomor No.525/1270/HB/2004 baru diterbitkan tertanggal 17 Desember2004, yang kemudian ditetapkan melalui keputusan Bupati Bengkayang No.13/IL-BPN/BKY/2004 tertanggal 20 Desember 2004 tentang pemberian izin lokasi untuk perkebunan sawit kepada pihak PT . Ledo Lestari seluas 20.000 ha. Sejak 20 Desember 2007, masa izin PT. Ledo Lestari dinyatakan telah berakhir oleh Pemda Bengkayang. Namun demikian, perusahaan ini tetap melakukan operasi hingga saat ini.
Dalam kaitannya dengan kasus ILLOG yang masih terjadi di kawasan perbatasan, tidak terlepas dari peran serta pihak keamanan. Tentu sangat dilematis. Hadirnya pihak keamanan melakukan penjagaan di kawasan perbatasan harusnya dapat meminimalisir tindak kejahatan kehutanan (penyelundupan), namun kenyataannya tidak demikiandan bahkan ada oknum yang turut terlibat.

Kondisi masyarakat Semunying Jaya yang berjuangdengan sadar untuk mempertahankan haknya atas tanah dan lingkungan sekitarnya harus dihadapkan dengan kondisi yang sulit. Kebijakan dan niat baik penguasa untuk menyelesaikan persoalan yang dialami warga Semunying Jaya masih dalam angan. Multi pihak yang berkompeten harus turut andil dalam menyelesaikan kasus ini. Warga Desa Semunying Jaya ingin tetap berdaulat di tanahnya. Sebagaimana masyarakat kampung pada umumnya (khususnya Dayak), warga Semunying Jaya yang sebagian besar Suku Iban menjadikan hutan-tanah-air sebagai "apotik" dan "supermarket" untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya. Kehidupan warga di pedalaman Kalbar umumnya tidak dapat terpisahkan dari hutan.

Catatan untuk Pedi Natasuwarna dan RTRW Kalbar 2011-2030

By. Hendrikus Adam*

NASKAH ini hanya sebuah uraian sederhana dan sebagai respon atas pendapat multi pihak, khususnya mengenai ide brilian Bapak Pedi Natasuwarna yang tersurat dalam artikel dengan tajuk "Rencana Tata Ruang Kalbar 2011-2030" di kolom Opini koran di daerah ini(Pontianak Post, 20/07/2010). Dalam beberapa waktu lalu sebagaimana diketahui, beliau yang juga mantan ketua Bappeda Kalbar dalam artikelnya menyebutkan bahwa RTRWP Kalbar di tetapkan berdasarkan Perda Nomor 1 tahun 1995, dan karenanya dengan demikian RTRWP Kalbar yang pertama pun berakhir ditahun 2010. Hal ini didasarkan pada masa pelaksanaan RTRWP yang ditentukan selama 15 tahun. Dikatakanpula bahwa selama periode 1995-2010, tidak ada revisi terhadap RTRWP Kalbar, karena tidak ada kebijakan yang berubah.

Hanya sedikit ingin meluruskan agar tidak terjadi penyimpangan informasi (bila keliru silahkan luruskan) dan barangkali beliau lupa, bahwa Perda dimaksud telah dinyatakan tidak berlaku sejak di undangkannya Perda nomor 5 tahun 2004 tentang RTRWP Kalbar tertanggal 1 Juli 2004. Hal ini ditegaskan dengan jelas dalam pasal 66 yang menyatakan; ”Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Nomor 1 Tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat dinyatakan tidak berlaku”. Selanjutnya dalam pasal 68 Perda nomor 5 tahun 2004 ini juga ditegaskan bahwa jangka waktu RTRWP adalah 15 (lima belas) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. Dalam limit waktu periode 1995-2010, jelaslah bahwa adanya perubahan kebijakan khususnya dengan terbitnya Perda Nomor 5 tahun 2004 sebagai produk hukum mengenai Penataan Ruang di propinsi ini.

Dalam hal sebagaimana pasal 66 Perda nomor 5 tahun 2004, maka jelaslah bahwa Perda Nomor 1 tahun 1995 yang dimaksud mantan ketua Bappeda Kalbar tersebut sudah usang karena dianggap tidak berlaku lagi. Selanjutnya bila melihat pasal 68 Perda Nomor 5 tahun 2004 yang menjelaskan soal masa berlakunya RTRWP (Kalbar), maka tulisan Pedi Natasuwarna yang menyatakan ”Oleh karena Perda tersebut berlaku selama 15 tahun, maka sudah berakhir pula berlakunya RTRWP Kalbar yang pertama” tentu saja masih perlu dikritisi sekalipun faktanya saat ini pihak eksekutif dan legislatif sedang mengagendakan pembahasan mengenai RTRWP Kalbar.

Pernyataan soal limit waktu sebagaimana yang ditegaskan itu tentu saja masih merujuk pada Perda Nomor 1 tahun 1995 yang usang itu. Namun bila mengkaji dari Perda Nomor 5 tahun 2004 pasal 68, jangka waktu RTRWP (Kalbar) harusnya dihitung sejak diundangkannya per 1 Juli 2004. Dalam keterangan lebih lanjut soal pasal ini tidak ada penjelasan rinci yang dapat menganulir (membantah) kalau pasal dimaksud tidak jelas.

Pertanyaannya kemudian adalah, bila penghitungan waktu 15 tahun sebagaimana dimaksudkan merujuk Perda Nomor 5 Tahun 2004 (artinya baru akan berakhir 2019), apakah upaya pembahasaan RTRWP oleh para legislatif dan eksekutif Kalbar hari ini relevan dan memenuhi amanat ketentuan yang berlaku? Bila tidak sejalan dengan amanat Perda Nomor 5 Tahun 2004, apakah kemudian inisiatif perumusan RTRWP Kalbar yang baru sungguh-sungguh berangkat dari sebuah kebutuhan prinsif yang sungguh untuk kepentingan bersama? Haruskan mengabaikan rambu-rambu? Saya rasa, catatan ini kiranya penting, sebelum melangkah lebih jauh bicara soal RTRW Provinsi Kalimantan Barat.

Hakikat Penataan Ruang
Merujuk UU Nomor 26 Tahun 207 tentang Penataan Ruang, dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Selanjutnya dalam ayat 2 (dua) pasal yang sama disebutkan pengertian Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam hal penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan (pasal 6 ayat 4). Sedangkan ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 6 ayat 5).

Besarnya lingkup luas suatu kawasan memang perlu dilakukan desain sedemikian rupa dalam bentuk penataan secara terencana dan terarah dengan tetap mengacu pada prinsif, asas dan tujuan yang mendasarinya. Adapun asas-asas dimaksud dalam konteks penataan ruang sebagaimana digariskan pasal 2 dalam UU Nomor 26 tahun 2007 mengenai Penataan Ruang didasarkan pada; keterpaduan, keserasian-keselarasan-keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan atau keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan-kemitraan, pelindungan kepentingan umum, kepastian hukum-keadilan, dan akuntabilitas. Sedangkan penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional (pasal 3).

Beberapa sasaran yang diharapkan dari tujuan penataan ruang sebagaimana dimaksud diarahkan untuk; terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, dan terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Berkaca dari asas dan tujuan dari prinsip dimaksud, maka pengelolaan penataan ruang yang telah dilakukan oleh pemerintah di daerah ini perlu dikaji secara bersama. Sudahkan memenuhi harapan sebagaimana diamanatkan untuk kemakmuran rakyat? Dalam hal ini, pemerintah dan pemerintah daerah yang mendapat kewenangan penyelenggaraan penataan ruang dari negara perlu mengkaji kembali dan memaparkan kepada publik atas capaian hasil dari penataan ruang yang telah dilakukan selama ini.

Penyelenggaraan penataan ruang yang semestinya diarahkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat menegaskan bahwasanya keberpihakan kebijakan tersebut (RTRWP) dalam tataran konsep maupun implementasinya diabdikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Ini berarti bahwa wewenang pengaturan, pembinaan, dan pengawasan oleh pemerintah dalam penataan ruang harus disertai dengan komitmen yang sungguh-sungguh melalui pelaksanaannya.

Demikian halnya soal komitmen pelaksanaan penataan ruang wilayah yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. Meskipun pelaksanaan penataan ruang (penataan, pemanfaatan dan pengendalian) menjadi wewenang pemerintah daerah provinsi, namun kajian atas sejumlah persoalan dan dinamika sosial sebagai dampak dari kebijakan penataan ruang yang tidak taat asas perlu menjadi bahasan serius agar produk kebijakan untuk kemakmuran tersebut sungguh-sungguh memenuhi rasa keadilan dan pro rakyat.

Mitos Kemakmuran dan Orientasi Ekonomi
Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang memberikan gambaran jelas soal keberpihakan dari upaya penataan ruang oleh Pemerintah dan Pemerintah daerah. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Prinsip pelaksanaan penataan ruang dengan mengacu pada asas dan tujuannya adalah rambu-rambu yang juga menjadi ”angin segar” karena detidaknya menyiratkan nilai-nilai; keberlanjutan, akuntabilitas dan keterbukaan. Sedangkan tujuan dari penataan ruang diarahkan untuk mencapai suatu kondisi yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Singkat kata, asas dan tujuan yang digariskan sebenarnya diamanahkan untuk menjamin diperolehnya kemakmuran atas penataan ruang oleh negara melalui pemerintah dan pemerintah daerah. Namun demikian, tentunya masih terlalu dini untuk menyatakan pelaksanaan penataan ruang selama ini berhasil. Karena faktanya wilayah daerah Kalimantan Barat dalam aspek pengelolaan sumber daya alam kian memprihatinkan seiring dengan kebijakan pembangunan yang diprogramkan. Degradasi dan deforestasi di sektor kehutanan kian menjadi akhir-akhir ini, yang pada akhirnya membatasi ruang kelola bagi rakyat untuk pertanian. Sebagaimana digariskan dalam UU Penataan Ruang, aspek lingkungan yang berkelanjutan hendaknya menjadi perhatian yang tidak bisa diabaikan.

Pelaksanaan program pembangunan di Kalimantan Barat khususnya, kebijakan lain sejalan dengan Perda Nomor 5 Tahun 2004 Pemerintah Daerah setidaknya juga dengan hadirnya Perda Nomor 8 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kalbar 2008-2013 yang merupakan bagian dari penjabaran visi, misi dan program Gubernur. RPJMD ini dimaksud merupakan pedoman bagi SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dalam menyusun Renstra – SKPD, sebagai pedoman bagi pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun RPJMD Kabupaten/Kota, dan pedoman bagi pemerintah provinsi dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah. Dengan demikian, evaluasi atas pelaksanaan kebijakan Penataan Ruang selama beberapa tahun berjalan dapat menjadi bahan rekomendasi bagi pelaksanaan RPJMD yang ada hingga pada tingkatan SKPD di Pemerintah Kabupaten/Kota di Propinsi ini. Disamping itu, hasil kajian dimaksud juga dapat menjadi refleksi atas RTRWP Kalbar yang sedang menggelinding di meja Para Legislatif dan Eksekutif Kalbar saat ini.

Terjadinya penyimpangan sebagaimana di jelaskan Pedi Natasuwarna terkait dengan pembalakan liar dikawasan konservasi, penebangan hutan bakau pada wilayah pesisir, maraknya PETI disepanjang daerah aliran sungai, maupun pemberian izin investasi perkebunan dalam skala besar jelaslah memberi konsekuensi destruktif atas kondisi lingkungan yang merupakan. Pemberian izin investasi perkebunan monokultur skala besar yang tanpa menyisakan sebatang pohonpun misalnya, sama artinya dengan menghilangkan fungsi hutan. Sedangkan bagi masyarakat lokal Kalbar umumnya, hutan menjadi ”apotik” dan ”supermarket” yang sangat menentukan dalam roda perekonomian yang masih mengandalkan aset SDA sebagai penyambung kelangsungan hidup. Kian terbukanya ruang pembabatan atas suatu kawasan khususnya gambut begitu kentara dengan hadirnya kebijakan yang membolehkan hutan gambut untuk dikonversi menjadi lokasi perkebunan kelapa sawit (Permentan Nomor: 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budi Daya Kelapa Sawit).

Kebijakan pembangunan yang berorientasi kepentingan ekonomi semata sebagai prioritas, dalam realitasnya cenderung mengabaikan hak kelola dan kontrol warga atas lingkungannya. Sementara aspek sosial, adat dan budaya masyarakat serta kualitas ekologi seringkali diabaikan khususnya melalui kegiatan korporasi yang memang berorientasi mencapai keuntungan sebesarnya itu. Sementara pertanggungjawaban sosial korporasi (CSR) selama ini hanyalah ”angin surga” yang selalu dihembuskan guna meluluhkan hati masyarakat, namun hasilnya cenderung asal-asalan dan tidak maksimal. Tidak sedikit warga tempat dibangunnya koorporasi justeru merasa hak-hak mereka tidak pernah diakomodir. Bahkan CSR dilakukan ketika telah di desak oleh warga dengan caranya. Dalam beberapa kasus, program CSR yang dilakukan seringkali diklaim sebagai ”kebaikan murni” perusahaan semata yang seakan meminta masyarakat untuk tidak perlu khawatir dengan keberadaannya mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki. Padahal CSR dimaksud merupakan kewajiban yang memang harus dilakukan oleh korporasi bila melakukan kegiatan dimanapun. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, tentu saja mendesak untuk dilakukan pemerintah di daerah ini.

Terkait dengan program resettlement (pemukiman kembali) yang merupakan salah program pembangunan yang dilaksanakan oleh Depsos (Departemen Sosial) memang memiliki sejumlah sisi baik. Tujuan resettlement melakukan pembinaan bagi masyarakat yang dinilai oleh pemerintah masih tertinggal karena budaya yang dimiliki serta letak geografis yang terpencil menyebabkan mereka nyaris tidak memiliki akses dengan modernisasi di dunia luar (Depsos, 1996). Namun demikian, dampak negatif atas eksistensi budaya dan sistem nilai-nilai luruh yang dimiliki juga pada akhirnya terancam dan bahkan hilang. Dampak sosial lainnya adalah terbentuknya tembok bagi warga dalam mengakses sumber daya hutan. Di Kalbar program ini pernah di galakkan, khususnya di Kapuas Hulu namun hasilnya juga tidak maksimal. Cerita lain dari ekses program resettlement terekam dalam sebuah hasil riset (Elfitra Baikoeni, 2008) pada komunitas masyarakat Mentawai, yang memberikan gambaran bahwa memang disatu sisi (dengan adanya resettlement) masyarakat (Mentawai) menggali kemajuan terutama kalau dilihat dari kebersihan lingkungan, pendidikan dan peningkatan pelayanan kesehatan. Akan tetapi adat dan budaya mereka juga mengalami kegoncangan (anomalie), padahal budaya merupakan modal bagi mereka untuk mengadaptasikan diri terhadap lingkungan untuk bisa survive.

Bagi komunitas masyarakat di Kalimantan Barat khususnya di daerah kawasan sekitar hutan (pedalaman), kebiasaan hidup dengan mengandalkan sumber daya hutan untuk kelangsungan hidup memang tidak dapat dibantah. Masyarakat di pedalaman seringkali memanfaatkan aset sumber daya alam dengan keanekaragaman hayatinya secara terkendali. Di Daerah pedalaman umumnya dihuni oleh masyarakat Dayak yang juga memiliki cara tersendiri menjaga dan melestarikan hutan. Di Kalimantan (Barat) warga masyarakat Dayak memiliki keyakinan bahwa: “Tanah adalah Hidup dan Nafas Kami” (Dr. Karel Phil Erari, 1999).

Mereka yang lebih banyak mengandalkan hidup dari sumber daya hutan merupakan komunitas masyarakat yang memiliki sistem dan nilai-nilai adat serta memiliki tujuh prinsip pengelolaan SDA yang meliputi; 1) berkesinambungan, 2) keragaman, 3) subsistem (untuk kebutuhan sendiri), 4) kebersamaan, 5) tunduk pada hukum adat, 6) tidak mengenal zat kimia, dan 7) selalu ditandai ritual (Majalah KR, hal 27 edisi 53/Januari 2000). Namun demikian, pernyataan Pedi Natasuwarna yang menyatakan berladang berpindah menjadi tradisi masyarakat pedalaman sebagai cara bercocok tanam yang PRIMITIF agaknya terlalu pesimis. Pandangan ini cenderung berkonotasi negatif bagi keberadaan masyarakat pedalaman tanpa melihat sisi positif lainnya.

”Rekomendasi” Pedi Natasuwarna yang ”memberi” ruang bagi investasi namun menapikkan keberlanjutan masyarakat pedalaman mengelola sumber daya alam dengan cara berladang dan bahkan meminta untuk diubah dengan pertanian secara menetap (bersawah, peserta plasma) agaknya tidak begitu bijak.

Betapa tidak, karena sesungguhnya justeru dengan memberi ruang investasi skala besar, kebijakan ini dengan otomatis membatasi akses masyarakat pedalaman terhadap sumber daya hutan, sungai menjadi rusak, hutan hilang. Bekas lokasi ladang bagi masyarakat pedalaman adalah investasi, karena pada umumnya kemudian ditanami tumbuhan produktif seperti karet dan sejenisnya. Dengan cara berladang maupun berburu, masyarakat pedalaman denagn mudah mengenal wilayahnya dan bahkan melakukan kontrol atas kemungkinan perusakan hutan oleh pihak lain. Justeru Kebijakan pemerintah yang berorientasi ekonomi dengan rayuan kesejahteraan dengan mendatangkan korporasi skala besar melalui perkebunan justeru semakin membatasi akses dan kontrol rakyat atas SDA. Terlebih bila pemerintah propinsi mengusulkan perubahan pola ruang dalam revisi tata ruang soal substansi kehutanan dari total luas kawasan hutan sekitar 9,2 juta hektar (62 persen) tersebut menjadi sekitar 7,5 juta hektar (50 persen) dari total luas wilayah.

Skenario untuk meningkatkan perekonomian kurang tepat. Adanya skenario dengan meningkatkan sektor perkebunan berdampak pada perekonomian Kalbar yang meningkat hingga 8%, namun berbalik dengan kondisi lingkungan. Akibatnya sektor lingkungan mengalami penurunan hingga 12-15%. Tentu saja pertumbuhan dari sektor ekonomi tidak ada artinya sama sekali jika lingkungan menjadi parah (Pontianak Post, 20/7/2010).

Dalam upaya perubahan atas RTRWP di daerah ini, maka aspek kepentingan masyarakat yang mengandalkan keberlangsungan hidup pada potensi sumber daya alam dan ekologi yang berkeberlanjutan hendaknya menjadi prioritas. Penataan ruang wilayah Kalbar dengan fokus perhatian meliputi aspek kawasan hutan lestari, kawasan daerah aliran sungai dan kawasan rawan bencana menjadi penting. Termasuk bagaimana upaya proteksi pemerintah untuk melindungi warganya dari potensi bahaya radiasi atas dampak energi nuklir yang sedang ditimang-timang akan di bangun di Kalimantan Barat. Bencana nuklir Chernobyl tahun 1986 silam yang menewaskan jutaan nyawa tak bedosa, kiranya cukup menjadi pelajaran atas rencana kebijakan yang berbahaya ini.

Akhirnya, kesalahan atas kebijakan RTRWP masa lalu harus dikaji secara kritis. Pelanggaran atas penataan ruang oleh multipihak dan bahkan oleh pejabat yang berwenang memiliki konsekuensi hukum yang penting diketahui bersama. Kebijakan atas penataan ruang perlu didasari niat baik semua pihak agar hasilnya dapat lebih maksimal.

*) Penulis, Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar.

Catatan:
Pernah di muat dalam harian Metro Pontianak tanggal 10-11 Agustus 2010

UNGKAP MAPIA DISEKTOR KEJAHATAN KEHUTANAN DI KALIMANTAN BARAT

Penebangan liar disektor kehuatanan pada saat ini, sudah demikian dominan dalam praktek pengelolaan kehutanan di Indonesia, sehinggan kejahatan kehutanan sempat menjadi salah satu kejahatan yang menjadi faktor utama dalam menyebabkan kerusakan hutan di Kalimantan Barat. Hal ini mendorong pemerintahan SBY harus mengeluarkan instruksi presiden nomor 4 tahun 2005 untuk mempercepat pemberantasan kasus illegal logging termasuk kejahatanan kehutanan lainya yang terjadi di Indonesia.

Banyak operasi yang telah dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam mengurangi kasus tindak pidana kejahatan kehutanan di indonesia, dan mereka berhasil mengungkap kasus-kasus kejahatan tindak pidana kejahatan kehutanan. Namun dalam penanganan kasus yang dilakukan oleh penegak hukum selama ini hanya menyentuh pada kasus yang berskala kecil saja. Sementara kasus kejahatan kehutanan yang melibatkan aktor intelektual dan pejabat negara selalu bebas dari jeratan hukum.

Kejahatan ini bersifat economic crime (kejahatan terorganisir), sehingga kejahatan ini selalu berorientasi pada eksplotatif dan melibatkan orang banyak yang terjadi secara terorganisir (organize crime) yang melibatkan masyarakat mulai ditingkat desa sampai ketingkat internasional, dari level pejabat tingkat rendah sampat kelepel pejabat tingkat tinggi, termasuk para penegak hukum. Kejahatan ini sangat mungkin dan rawan terjadinya mafia hukum dan makelar kasus yang terjadi pada saat penanganan kasus dimeja hijau. Kejahatan ini kemudian juga lebih dikenal dengan kejahatan kera putih (white colour crime), yang sulit di jebak dengan hukum.

Hal ini dikarenakan kemampuan dari para pelakunya terhadap berbagai macam kemauan dari para pendampingnya, baik dari kalangan penegak hukum sendiri maupun dari kalangan birokrat, sepanjang para aktor pelakunya tetap bisa melakukan aktifitasnya.
Kejahatan seperti ini sangat riskan dalam penanganan kasusnya. Banyak kasus-kasus kejahatan kehutanan besar di Kalimantan Barat yang justeru bebas dan malah batal demi hukum. Dibatalkanya demi hukum ini tidak terlebas ada indikasi mapia dalam penegakan tindak pidana kejahatan kehutanan di Kalimantan Barat.

Ada beberapa isu sentral dalam kejahatan kehutanan di Kalimantan Barat, pertama: Konversi lahan, kedua: Illegal logging, ketiga: Penyalahgunaan dana PSDH/DR yang kurang jelas. Kesemuanya bersimbiosis yang menyebabkan keberadaan hutan sangat sulit sekali untuk diperbaiki kembali.

Adanya political will dan political action pemerintahan SBY untuk mengungkap mafia hukum temasuk mafia kejahatan disektor kehutanan, ini mempunyai peluang yang sangat besar sekali untuk mengungkap kembali tejadi mafia kejahatan disektor kehutanan di Kalimantan Barat. Karena telah merugikan masyarakat Kalimantan Barat yang sangat besar sekali baik secara ekonomi, ekologi, sosial dan budaya.

Berangkat dari catatan diatas, dalam memperingati hari Bumi tanggal 22 April tahun 2010, Yayasan Titian, LPS-AIR (Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat membuat pernyataan pers:

MEMBONGKAR MAFIA KEHUTANAN DI KALIMANTAN BARAT
(Press Release)

Sifat: untuk disiarkan/diterbitkan
Kejahatan kehutanan tergolong kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang berpotensi menciptakan kejahatan ikutan antara lain korupsi dan pencucian uang. Meskipun kasus kejahatan kehutanan ini tergolong luar biasa, namun selama ini belum ada penanganan kasus kejahatan kehutanan khususnya illegal logging, yang berhasil menciptakan efek jera (detterent effect) dan memenuhi rasa keadilan masyarakat Kalimantan Barat. Beberapa kasus fenomenal kejahatan kehutanan di Kalimantan Barat yang lepas dari jeratan hukum telah mengindikasikan adanya mafia kehutanan dalam penangan kasus/perkara tersebut. Berikut segelintir kasus kejahatan kehutanan di Kalimantan Barat yang menohok rasa keadilan masyarakat:

Daftar sebagian kasus fenomenal kejahatan kehutanan di Kalimantan Barat:
No Katagori Kasus Para Pihak Status Kasus/Putusan
1 Pembalakan Liar Prasetyo Gow alis Asong Vonis Bebas, PT
2 Ng Tung Peng alias Apeng DPO
3 Tian Hartono alias Buntia Vonis Bebas, Kasasi
4 M. Sun’an Vonis Bebas bersyarat, PN
5 Syaiful Vonis Bebas Bersyarat, PN
6 Dana PSDH & DR M. Abang Tambul Husin (Kab. Kapuas Hulu) Vonis Bebas, PN

Terkait dengan centang perenang penanganan kasus kejahatan kehutanan di Kalimantan Barat diatas, di awal April ini Presiden SBY kembali mengingatkan aparat penegak hukum khususnya Satgas Mafia Hukum untuk menyikapi indikasi adanya mafia hukum pada penanganan kasus-kasus kejahatan kehutanan di Indonesia. Merespon statemen Presiden tersebut dan dalam rangka memperingati hari Bumi 22 April 2010, maka kami Yayasan Titian, LPS-AIR dan Walhi Kalimantan Barat menuntut adanya pengkajian kembali beberapa kasus kejahatan kehutanan yang pernah terjadi di Kalimantan Barat diatas.

Berdasarkan rekam jejak penanganan kasus kejahatan kehutanan di Kalimantan Barat, khususnya pada kasus illegal logging yang dilakukan oleh Tian Hartono alias Buntia terjadi banyak kejanggalan yang berujung pada lemahnya vonis pengadilan kasus tersebut. Berikut ini kejanggalan-kejanggalan yang tecatat dalam rekam jejak kasus tersebut (Lampiran Rekam Jejak).
**********

Lampiran:
Rekam Jejak Kasus Pembalakan Liar dengan terdakwa Tian Hartono alias Buntia
Berdasarkan hasil investigasi yang di lakukan oleh Tim gabungan dari Dinas Kehuatanan provinsi menjadi dasar tuntutan yang di lakukan oleh pihak kepolisian dan Kejaksaaan, Hasil Berita Acara Pemeriksaan tertanggal 8 juli 2005 tersebut, dalam berita acara tergambar dalam tututan jaksa pasal pasal undang-undang kehutanan No 41 tahun 1999 sebagai berikut;

No UU/Pasal Unsur Pasal Kaitan Perbuatan
1 Pasal 50(3)huruf e jo pasal 78 (5) UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan jo pasal 55 ayat(1) ke 1 KUHP Barang Siapa Aktivitas penebangan yang dilakukan oleh PT. Rimba Kapuas Lestari berada di dalam kawasan HL. Lubuk Lintang
Dengan Sengaja Bahwa Buntia sudah mengetahui bahwa hutan yang di tebang adalah hutan lindung
50 ayat (3) huruf f jo pasal 78 ayat (5) UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan jo pasal 55 ayat (1) ke I KUHP
Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan
a. Berdasarkan fakta investigasi dinas kehutanan di temukan Ditemukan adanya jalan angkutan kayu atas nama PT. Rimba Kapuas Lestari ( PT. RKL ) yg masuk kedalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang sepanjang 11.337,57 meter terdiri dari jalan utama sepanjang 8.820,38 meter & jln cabang sepanjang 2.517,19 meter.
b. Ditemukan adanya 20 jalan sarad, 4 buah TPN, 4 buah TPK dan areal bekas penebangan kayu pd kawasan Hutan Lindung tsb.
c. Ditemukan adanya tunggul / tonggak kayu bekas tebangan pada 6 buah jalan sarad seluas ± 140 Ha dan ditemukan tunggul / tonggak kayu sebanyak 1.365 pohon dengan taksasi volume tegakan sebesar ± 10.600 M3.

pasal 50 ayat (3) huruf h jo pasal 78 ayat (7) UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang • Ditemukan adanya jalan angkutan kayu atas nama PT. Rimba Kapuas Lestari ( PT. RKL ) yg masuk kedalam kawasan Hutan Lindung Lubuk Lintang sepanjang 11.337,57 meter terdiri dari jalan utama sepanjang 8.820,38 meter & jln cabang sepanjang 2.517,19 meter.
• Ditemukan adanya 20 jalan sarad, 4 buah TPN, 4 buah TPK dan areal bekas penebangan kayu pd kawasan Hutan Lindung tsb.
• Ditemukan adanya tunggul / tonggak kayu bekas tebangan pada 6 buah jalan sarad seluas ± 140 Ha dan ditemukan tunggul / tonggak kayu sebanyak 1.365 pohon dengan taksasi volume tegakan sebesar ± 10.600 M3.
Pidana pasal 50 ayat (3) huruf jo Pasal 78 ayat(9) UU RI.No.41 tahun 1999 tentankehutanan jo pasal 55 (1) ke KUHP Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat. Terdakwa mendasarkan pada rekomendasi Bupati Sintang Nomor 522/0119.A/Ekbang tanggal 22 Januari 2003

Para Pihak
Pada proses persidangan kasus Tian Hartono, terdapat beberapa pihak yang terlibat pada proses persidangan kasus tersebut, peranan pihak yang terlibat merupakan bagian dari proses penegakkan hukum kasus illegal logging, kenyataan bahwa mereka yang mengalami trik persidangan sebagai pelajaran bagaimana menghadapi Konpirasi(permupakatan) sehingga Tian Hartono terbebas dari jerat hukum.
Majelis Hakim Jaksa Advokat Panitera
D. Tuwa Togu, SH
U. Simangunsong, SH
Pangeran Napitupulu, SH, MH Rido Wangono SH MHum
ST. Simare Mare SH
Wagio, SH
Arief Syah, SH MH Hotma P.D.S,SH
Ruhut .P.S.S.SH
Jhon Thomson, SH
Mario C.Bernado,SH
Andel, SH
Christopher Purba, SH
Durapati Sinulingga.SH
Andi F. Sumangunsong, SH Christian
M.Isya.SH
Putusan di bacakan;
a. U.Simangunsong,SH
b. Lidya Sasando.P.SH.MH
c. Ramses Pasaribu,SH.MH Hakim D.Tuwa Togu,SH dan Pangeran Napitupulu, SH di pindah tugaskan dari pengadilan Negeri Pontianak

Terdakwa dan Saksi
Terdakwa Saksi A carge Saksi Ade Carge Saksi Ahli
Tian Hartono -Ir.H.Agus Aman Sudibyo.MM
-Muhammad saleh
-Edi Mahendra
-Syahrial
-Zulpian Karno
-Baharuddin Bin M.Thosin
-Amung Hidayat SP
-Jamiri
-Heri Purnomo
-Raswan
-Kasimun
-Nelson Tambunan
-Jaffray
-Jumansyah
-Albinus Bin Romandus Rezak
-Gusti Sofyan Afsier
-Elyakim Simon Djalil.
-Ir. Sunarno
-Ir.Wawan Aliyunan -Anson
-Filisianus Adiman Saksi Ahli A Carge
-Ir.Budi Pambudi.MM
-Ir.Ludvie Achmad
-Ir.Joko Riyanto.MM
-Prapto Harsono,SH
-Hamdani,SH.M.Hum

Saksi Ahli Ade Carge
-Ir.Bayu Prakoso
-Taufik
-Yana Hermana.S.Hut
-
Saksi yang tidak Hadir di persidangan adalah Bujang Acmad, Juli Irawan, Arief Mustofa,S,Hut,Msi dan Abdilah Fadil

Tuntutan Pidana
Dakwaan
(PRIMAIR)
Perbuatan terdakwa melakukan penebangan tanpa izin yang sah atau tanpa ijin dari penjabat yang berwenang.
…...Perbuatan terdakwa Tian Hartono alias Buntia sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 50 ayat (3) huruf e jo pasal 78 ayat (5) UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan jopasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(SUBSIDIAIR)
Bahwa di temukan tumpukan bekas tebangansebanyak kurang lebih 1.365 (Seribu Tiga Ratus Enam Puluh Lima) batang pohon atau setidaknya sekitar jumlah itu dan yang di temukan di tempat penimbunan kayu sebanyak 40 batang(empat puluh) batang kayu bulat/log yang di peroleh tanpa adanya izin yang sah atau tanpa izin dari penjabat yang berwenang.
…...Perbuatan terdakwa Tian Hartono alias Buntia sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 50 ayat (3) huruf f jo pasal 78 ayat (5) UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan jo pasal 55 ayat (1) ke I KUHP
(LEBIH SUBSIDIAR)
Telah di temukan tunggul bekas tebangan sebanyak kurang lebih 1.365 (Seribu Tiga Ratus Enam Puluh Lima) batang pohon atau setidak-tidaknya sekitar jumlah itu dan di temukan di tempat penimbunan Kayu PT.RKL sebanyak 40(Empat puluh) batang kayu bulat/logs yang di angkut, dikuasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak di lengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.
……Perbuatan terdakwa Tian Hartono alias Buntia sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 50 ayat (3) huruf h jo pasal 78 ayat (7) UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
(DAN KEDUA)
Bahwa Tian Hartono alias Buntia …, Terdakwa telah memasukkan peralatan berat ke dalam kawasan hutan lubuk lintang tidak memenuhi keputusan menteri kehutanan Nomor 428/Kpts-II/2003 tentang izin peralatan untuk kegiatan izin usaha pemamfaatan hasil hutan Kayu (IUPHHK)
…...Perbuatan terdakwa Tian Hartono alias Buntia sebagaimana diatur dandiancam pidana melanggar pasal 50 ayat (3) huruf jjo 78 ayat (9) UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan jo pasal 55 (1) ke I KUHP.
Tuntutan Jaksa
Menuntut
Agar supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak yag telah memriksa dan mengadili perkara ini memutuskan sebagaiaman berikut;
1. Menyatakan Tian Hartono alias Buntia secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana”menebang pohon di hutan tanpa ijin dari yang berwenang dan memasukkan alat-alat berat ke dalam hutan tanpa izin dari pihak yang berwenang” sebagaimana diatur dalam pasal 50 ayat (3) UU No.41/1999 jo pasal 78 ayat (5) UU No.41 1999 jo pasal 55 ayar (1) ke ! KUHP. Dan pasal 50 ayat (3) huruf j jo 78 (9) UU No.41 1999 jo 55 (1) ke I KUHP dalam dakwaan kesatu primiar dan kedua.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa TianHartono alias Buntia dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun di kurangi selama terdakwa di tahan dan menjatuhkan pidana dendasebesar Rp.2.000.000.000,00 (Dua Milyar Rupiah)

Vonis PengadilanNegeri Pontianak
Vonis Hakim
1. Menyatakan terdakwa “Tian Hartono” alias”Buntia” tidak terbukti secara syah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang di dakwakan di dalam dakwaan ke satu primair, subsidiar dan lebih subsidiar.
2. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut di atas.
3. Menyatakan terdakwa”Tian Hartono”alias”Buntia”telah terbukti secara syah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana”MEMBAWA ALAT-ALAT BERAT YANG PATUT DI KETAHUI DIGUNAKAN UNTUK MENGANGKUT HASIL HUTAN DIDALAM KAWASAN HUTAN TANPA IZIN PEJABAT YANG BERWENANG”
4. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (Dua) tahun denda sebesar Rp.1.000.000.000,00(satu milliar rupiah) subsidiar 4 (empat) bulan kurungan.
5. Menyatakan masa penahanan yang telah di jalankan oleh terdakwa di kurangkan seluruh dari pidana yang di jatuhkan,

Vonis Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat
Pada tingkat banding vonis/putusan hakim menjadi pidana penjara 1 tahun dan denda Rp 500 juta;
Vonis Mahkamah Agung(MA)
Pada tingkat banding Vonis /putusan Mahkamah Agung Tian Hartono Alias Buntia di vonis bebas dari segala tuntutan.(bebas)

Menanti Kebijakan, Niat Baik dan Tindakan Tegas Penguasa untuk menyelesaikan Kasus Perampasan Hak Warga Semunying Jaya!

Kebijakan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan kelapa sawit di daerah Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang telah melahirkan konsekuensi logis yang cenderung destruktif bagi warga disekitarnya. Betapa tidak, perusahaan (PT. Ledo Lestari) yang masuk tanpa permisi (tidak ada sosialisasi awal sampai sekarang) kepada warga alih-alih ingin mensejahterakan, namun malah membuat masalah dengan terus membabat hutan adat yang diakui secara turun temurun. Anak perusahaan PT. Duta Palma Nusantara Group ini malah membabat hutan adat dan hutan produksi melalui pembakaran (land cleaning) yang didalamnya terdapat tembawang, tanam tumbuh, kuburan tua, sumber air bersih dihancurkan, situs keramat dan berbagai jenis tanaman lainnya. Bukan hanya itu, perusahaan yang telah habis masa izinnya sejak tahun 2007 ini malah menggunakan tangan aparat (tentara libas) untuk menjaga usahanya.

Sebaliknya, pihak pemerintah daerah setempat (Bupati Bengkayang dan jajarannya) yang harusnya menjadi pihak yang memiliki kompetensi untuk menyelesaikan berbagai kasus dan masalah yang dihadapi warganya di Semunying Jaya justeru tidak ada taring. Pengukuhan yang dilakukan oleh Bupati Bengkayang atas hutan adat pada tanggal 15 Desember 2009 hanyalah acara seremonial belaka. Lihat saja, pasca pengukuhan sejak saat itu hingga sekarang belum ada langkah maju yang lebih baik untuk memberikan rasa keadilan kepada warga dalam menyelesaikan problem yang mereka hadapi. Pengakuan secara legalitas melalui Keputusan Bupati yang diharapkan warga atas tanah adat menghadapi jalan buntu! Sementara pihak PT. Ledo Lestari terus menerus melakukan pembabatan dikawasan hutan sekitar perkampungan warga setempat. Disatu sisi, tentara libas di kawasan tersebut justeru memberikan rasa kurang aman bagi masyarakat. Kondisi masyarakat Semunying Jaya yang berjuang dengan sadar untuk mempertahankan haknya atas tanah dan lingkungan sekitarnya harus dihadapkan dengan kondisi yang sulit. Kebijakan dan niat baik penguasa untuk menyelesaikan persoalan yang dialami warga Semunying Jaya masih dalam angan. Multi pihak yang berkompeten harus turut andil dalam menyelesaikan kasus ini. Warga Desa Semunying Jaya ingin tetap berdaulat di tanahnya.

Sekilas tentang Semunying Jaya
Desa Semunying Jaya, adalah satu dari enam desa (Sekida, Kumba, Gersik, Semunying Jaya, Jagoi Babang dan Sinar Baru) yang ada di kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Desa Semunying Jaya sendiri merupakan wilayah administratif pemekaran (SK Desa tahun 2004) dari Desa Kumba yang dulunya masuk dalam Kecamatan Seluas, Kabupaten Sambas.

Sebagian besar warganya berdasarkan asal suku berasal dari Dayak Iban, satu-satunya komunitas Dayak yang sejak lama mendiami daerah itu di Kabupaten Bengkayang. Berdasarkan letak geografis, Desa Semunying Jaya berada di kawasan yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia khususnya disekitar area border perbatasan. Desa Semunying Jaya memiliki batas wilayah yang masing-masing (sumber: keterangan Kades Semunying Jaya) diantaranya;

a. Sebelah Barat berbatasan dengan kampung Sentimu atau Desa Aruk di Kecamatan Sajingan.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan dusun Belidak, Desa Sekida (sesudah pemekaran dengan dusun Saparan, Kumba), dan
c. Sebelah Selatan berbatasan Desa Kalon, Kecamatan Seluas.
d. Sebelah Utara berbatasan dengan Sarawak, Malaysia.

Desa Semunying Jaya saat dihuni sekitar ± 93 kepala keluarga dengan jumlah penduduk ± 385 jiwa (tahun 2009) yang tersebar disatu dusun yang terdiri atas dua wilayah Rukun Tetangga (RT) yakni RT 1 di Pareh, RT II di Semunying Bungkang, RW Bejuan Km 31. Sebagaimana aktivitas keseharian warga perbatasan, mata pencaharian warga di Desa Semunying Jaya adalah sebagai petani (berladang), bersawah, peyadap karet dan berkebun. Karena letaknya berada di sekitar perbatasan, menjadikan desa ini begitu strategis. Potensi sumber daya alam berupa hasil hutan (sumber obat-obatan, rempah, kayu, rotan) dan produksi karet alam cukup menjanjikan.

Wilayah desa ini termasuk dalam kategori kawasan perbatasan. Dimana sebagaimana diketahui, pemerintah saat ini tengah berusaha melakukan upaya proteksi terhadap wilayah sepanjang perbatasan Sarawak dengan akan dan telah membangun pos pemeriksaan lintas batas (PPLB) yang untuk saat ini masing-masing berada di daerah; Entikong (Kab. Sanggau), Aruk-Sajingan (Kab. Sambas), Jagoi Babang (Kab. Bengkayang), Puring Kencana - Jasa (Kab. Sintang), dan Nanga Badau (Kab. Kapuas Hulu).

Bagaimana Konsesi PT. Ledo Lestari?
Pembukaan hutan kawasan sepanjang perbatasan di daerah kabupaten Bengkayang dan sekitarnya pada awalnya merupakan bekas wilayah konsesinya PT. Yayasan Maju Kerja/Yamaker Kalbar Jaya yang beroperasi sekitar tahun 1980 hingga tahun 1990an. Sejak tahun 1980an tersebut, pihak PT. Yamaker yang merupakan sebuah perusahaan konsesi penebangan kayu dibawah kepemilikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menebang hutan tanpa persetujuan masyarakat disekitarnya.

Berakhirnya masa konsesi oleh PT. Yamaker diteruskan oleh perusahaan milik negara yakni Perum Perhutani yang beroperasi antara tahun 1998 hingga 2000 yang turut memperparah kerusakan pada tanah dan kawasan hutan ulayat masyarakat adat setempat. Selanjutnya tahun 2001 diteruskan oleh PT. Lundu, sebuah perusahaan pengergajian (Saw mill) asal Malaysia yang melakukan penebangan hutan secara illegal di wilayah kawasan perbatasan Indonesia.

Namun kemudian sejak tahun 2002 PT. Agung Multi Perkasa (AMP), sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit mendapatkan izin usaha oleh pemerintah daerah di wilayah tersebut. Dengan dasar ijin yang dikantongi, PT. AMP melakukan eksploitasi atas hutan adat masyarakat. Selama beroperasi, perusahaan ini tidak memanfaatkan kepercayaan yang diberikan dengan baik. Selama dua tahun berjalan, perusahaan hanya mengambil dan mengeksploitasi kayu seluas ± 4.000 ha saat itu. Pihak perusahaan malah menebang kayu secara illegal di hutan adat, sementara hasilnya dijual melintasi perbatasan ke Malaysia yang juga dilakukan secara illegal. Akibat ulah yang hanya mengambil keuntungan sepihak tersebut, maka ijin perusahan diberhentikan oleh pemerintah daerah setempat. Izin awal untuk membangun perkebunan sawit seluas 20.000 hektar selanjutnya dialihkan kepada PT. Ledo Lestari, sebuah anak perusahaan dari Duta Palma Nusantara Group sejak tahun 2004.

PT. Ledo Lestari dalam proses operasionalnya mengantongi izin dari Pemda Bengkayang seluas 20.000 ha. Selanjutnya, ijin usaha perkebunan berdasarkan surat Bupati Bengkayang bernomor No.525/1270/HB/2004 baru diterbitkan tertanggal 17 Desember 2004, yang kemudian ditetapkan melalui keputusan Bupati Bengkayang No. 13/IL-BPN/BKY/2004 tertanggal 20 Desember 2004 tentang pemberian ijin lokasi untuk perkebunan sawit kepada pihak PT . Ledo Lestari seluas 20.000 ha.

Masuknya PT. Ledo Lestari di Desa Semunying Jaya yang mulai beroperasi sejak tahun 2005 berdasarkan keterangan masyarakat setempat tidak pernah melakukan sosialisasi atau pemberitahuan (koordinasi) kepada warga. Pihak perusahaan menggusur kebun masyarakat dan menebangi hutan rawa gambut serta menebangi hutan alam tropis yang oleh masyarakat dijadikan sebagai hutan adat.

Kegiatan pembukaan lahan sampai saat ini masih berlangsung meskipun mendapat perlawanan dari masyarakat Semunying Jaya. Selama dua tahun anak perusahaan Duta Palma Group ini tidak mengantongi ijin, namun tetap melakukan aktifitas sebagaimana biasanya dengan terus melakukan ekspansi perluasan lahan. Kegiatan illegal selama dua tahun terakhir (berdasarkan surat Bupati tahun 2009) tersebut ditegaskan dalam surat teguran Pemerintah Daerah Bengkayang, bahwa PT. Ledo Lestari sejak 2007 telah habis masa perijinannya. Namun demikian, perusahaan ini terus melakukan ekspansi.
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Hak Azasi Manusia Kalimantan Barat saat itu menjelaskan, berdasarkan hasil pertemuan pihaknya dengan jajaran Pemda Bengkayang, bahwa izin lokasi PT Ledo Lestari seluas 19.929,8 hektare telah habis pada 20 Desember 2007. Segala kegiatan setelah tanggal tersebut menurutnya (Purwanto) diduga ilegal dan harus diproses secara hukum. Ia menambahkan, kinerja dan kewajiban PT Ledo Lestari harus dievaluasi karena diduga mengakibatkan pelanggaran HAM di antaranya hak untuk hidup, hak atas tanah, hak atas rasa aman, hak atas kebutuhan mendasar dan hak masyarakat adat yang seharusnya dilindungi negara (Borneo Tribune, 1/9/2009).

Mengutip Pasal 6 ayat (1) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM meminta perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah. Selain itu, tanah dan hutan adat Desa Semunying Jaya perlu segera dikukuhnya untuk melindungi eksistensi dan penghidupan masyarakat adat. Kemudian sumber air, tanam tumbuh, areal ladang dan persawahan, hutan adat dan lainnya yang telah digusur harus diganti rugi sesuai ketentuan yang berlaku untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat Desa Semunying Jaya. Komnas HAM juga meminta Badan Pertanahan Nasional untuk mengkaji ulang kelayakan pemberian Hak Guna Usaha PT Ledo Lestari sampai konflik dengan masyarakat adat Desa Semunying Jaya tuntas.

PT. Ledo Lestari juga sebagai salah satu dari sekian banyak perusahaan perkebunan sawit di kawasan sepanjang perbatasan yang tidak memiliki ijin pemanfaatan kayu (IPK). Hingga saat ini (berdasarkan pemberitaan RRI Pontianak 16 September 2009) bahwa perusahaan yang beroperasi DI Bengkayang sebagian besar belum memiliki IPK, termasuk PT. Ledo Lestari. Kehadiran PT. Ledo Lestari sejak awal telah ditolak warga.

Perjuangan warga Semunying sungguh panjang. "Segala daya upaya telah kami lakukan. Sudah habis kemampuan dan kesabaran kami. Kepada siapa lagi kami harus mengadukan nasib kami," urai Momonus (Kades Semunying Jaya) dan Ketua BPD Nur Rusmanto.
Berdasarkan catatan kronologis yang dihimpun penulis, dinamika respon masyarakat dan proses masuknya PT. Ledo Lestari di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang adalah sebagai berikut;

a. Pada tahun 2004, PT. Ledo Lestari mendapat ijin lokasi eks konsesi PT. AMP dari Bupati Bengkayang dengan surat bernomor 13/IL-BPN/BKY/2004 tertanggal 20 Desember 2004 seluas 20.000 ha.
b. Pada Maret 2005, PT. Ledo Lestari mengangkut alat-alat berat ke lokasi tanpa ada satupun proses pertemuan yang dilakukan bersama masyarakat.
c. Pada Juli 2005, perkebunan karet masyarakat dibabat bersamaan dengan pembukaan jalan menuju lokasi perkebunan. Warga setempat melakukan protes dan mengajukan denda adat, namun tidak direspon pihak perusahaan. Akibatnya, warga menahan sepeda motor milik perusahaan (Pak Idris, staf Perusahaan) dan menyampaikan aspirasi dihadapan polisi.
d. Pada Agustus 2005, PT. Ledo Lestari mulai menggusur lahan di Desa Semunying Jaya, termasuk hutan primer yang dilindungi masyarakat selama turun temurun berupa hutan alam karet, aset tembawang dan pertanian, hutan sekunder dan hutan keramat yang memiliki signifikansi spiritual bagi masyarakat. Upaya masyarakat tidak berhasil meski terus melakukan perlawanan dengan menyampaikan aspirasi ke berbagai pihak terkait. Pihak perusahan terus menggunduli hutan tanpa mendapatkan ijin pemanfaatan kayu (IPK).
e. Pada 12 Desember 2005, masyarakat menyita alat berat penggali merek komatsu dan enam mesin gergaji stihl (chainsaw) dengan maksud untuk menghentikan penebangan hutan yang terus dilakukan pihak perusahaan. Masyarakat kemudian mengundang manager perusahaan (Muslimin) dalam sebuah pertemuan untuk berdiskusi meminta keterangan pihak perusahaan.
f. Tanggal 22 Desember 2005 masyarakat membuat pernyataan sikap yang mengutuk keras PT LL yang telah melakukan pembabatan hutan, menolak PT. LL serta menuntut ganti rugi Rp.200 miliar. Pernyataan itu diteken Kades, temenggung adat, ketua BPD dan 107 orang warganya.
g. Akibat penahanan alat berat perusahaan tersebut, Kepala Desa Semunying Jaya Momonus (40 tahun) dan Wakil Ketua BPD Jamaludin (48 tahun), tanggal 23 Januari 2006 dikrimininalisasikan oleh Polres Bengkayang sebagai tersangka dalam perkara pidana pemerasan, pengancaman dan perampasan (Pasal 368 dan atau 369 KUHP). Momonus dan Jamaludin pun mendekam di tahanan (penjara) Polres selama Sembilan hari. Antara tanggal 30 Januari hingga 7 Februari 2006. Disamping itu, selama 20 hari keduanya dijadikan tahanan kota (tidak boleh keluar kota Bengkayang) oleh pihak Polres Bengkayang.
h. Diwakili kepala desa dan pengurus BPD mereka menemui instansi terkait, pada tanggal 6 Januari 2006 dilakukan dialog dengan Tim Pembina Pembangunan Perkebunan Kabupaten (TP3K) diketuai Jonatan Peno yang juga Ketua Bappeda. Disepakati dalam pertemuan itu bahwa masyarakat menolak PT LL, lahan yang sudah dibuka harus dihijaukan dan pelanggaran adat harus dibayarkan.
i. Bulan Februari 2006, masyarakat Desa mengeluarkan deklarasi yang menyatakan; ”Masyarakat Semunying Jaya menuntut penghormatan atas tanah kami yang berdaulat, perlindungan sumber daya air dan hutan. Seperti yang kami informasikan, kami masih menolak perkebunan kelapa sawit di wilayah kami dalam bentuk apapun”. Perkebunan sawit dinilai telah menyebabkan konflik antar masyarakat.
j. Pada 7 Februari 2006, Perwakilan Masyarakat Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang yang terdiri dari; Aliansi masyarakat Adat (AMA) Kalimantan Barat, Jaringan Nasional Penyelamat Jantung Borneo (JN-PJB), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Barat, Konsorsium Anti Illegal Logging (KAIL), Lembaga Bela Benua Talino (LBBT), Persatuan Dayak (PD), Yayasan Titian, Perkumpulan Penggiat Media Berbasis Masyarakat Adat (Perkumpulan PENA), menyurati Gubernur Kalimantan Barat untuk: a) menghentikan proses permohonan rekomendasi/persetujuan prinsip dari Gubernur Kalbar (saat itu Usman Ja’far) dalam rangka pemberian IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) yang diajukan oleh PT. Ledo Lestari, karena fakta yang terjadi adalah, pihak PT. Ledo Lestari telah melanggar SK Menteri Kehutanan No. 382/Menhut-II/2004 tentang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dengan melakukan penebangan sebelum IPK terbit. b) mengabaikan pertimbangan teknis yang diberikan oleh Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Barat karena kami yakin di dalam membuat pertimbangan teknis tersebut, Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Barat tidak memahami persoalan Kehutanan terutama yang menyangkut aktifitas perusahaan PT. Ledo Lestari yang telah melakukan penebangan sebelum IPK di terbitkan oleh pejabat berwenang. Surat yang ditebuskan hingga ke Presiden ini ditandatangani masing-masing oleh; Nuh Rusmanto (Wakil Masyarakat Desa Semunying Jaya), Mina Susana Setra (Sekretaris Jendral AMA Kalbar), Yohanes RJ (Direktur Eksekutif Walhi Kalbar), Heappy Hendrawan (Koordinator KAIL), Aquino Ceger (Sekretaris Jendral Persatuan Dayak), Redo (Yayasan Titian), Concordius Kanyan (Direktur LBBT), Yohanes Janting (Koordinator JN-PJB), Erma Suryani Ranik (Direktur PENA).
k. Selama periode 2006-2007, PT. Ledo Lestari telah menggunduli hutan adat masyarakat seluas 100 hektar. Dan hingga 2010 hutan adat tersebut telah habis digarap pihak Perusahaan hingga 800 Haa yang telah ditanami dari luas areal tanah adat 1420 Ha.
l. Pada awal tahun 2007, meskipun terjadi protes dan intervensi dari masyarakat, pihak PT. Ledo Lestari terus menebangi hutan di Semunying Jaya. Sejak penahanan dua orang warga Desa Semunying Jaya, masyarakat merasa trauma dan takut untuk ditahan serta takut diintimidasi. Mereka juga tidak tahu langkah yang mesti diambil untuk melindungi diri.
m. Februari 2007 warga didampingi WALHI Kalbar dan AMAN Kalbar menyampaikan pengaduan ke Komnas HAM RI dan Komnas HAM Perwakilan Kalbar. Tindakan PT Ledo Lestari yang diadukan adalah pemaksaan dan perampasan tanah, tanam tumbuh digusur tanpa ganti rugi, tidak pernah ada sosialisasi, tidak menghargai adat budaya masyarakat, ada intimidasi oleh aparat keamanan.
n. Tanggal 21 November 2008, Warga Semunying Jaya melaporkan praktek pembalakan liar yang terjadi di wilayah hutan adat oleh PT. Ledo Lestari. Dalam laporan yang disampaikan ke Kepolisian Daerah Kalbar (diterima langsung oleh Brigjen Nanan Sukarna, Kapolda Kalbar saat itu), warga menyebutkan adanya praktek penyelundupan kayu olahan hasil tebangan liar ke Malaysia.
o. Pada Tanggal 12 Juni 2009, Bupati Bengkayang melalui surat dinas bernomor 400/0528/BPN/VI/2009 (tertanggal 12 Juni 2009) menyurati Direktur Utama PT Ledo Lestari yang menyatakan bahwa izin lokasi PT Ledo Lestari sesuai SK Bupati Bengkayang No.13/II-BPN/BKY/2004 tertanggal 20 Desember 2004 telah berakhir sejak tanggal 20 Desember 2007. Artinya bahwa selama dua tahun berjalan (saat itu), perusahaan ini terus melakukan ekspansi secara illegal (merambah hutan) dan secara sengaja melanggar hukum. Namun demikian, menurut masyarakat Desa Semunying, pembukaan lahan dan penanaman sawit masih terus dilakukan oleh PT. Ledo Lestari sejak Ijin Lokasi berakhir sampai saat ini, bahkan diperkirakan melebihi luas Ijin Lokasi yang diberikan seluas 19.929,8 Ha.
p. Pada tanggal 14 sampai dengan 17 Agustus 2009, Komnas HAM (Perwakilan Kalbar dan Komnas HAM Puasat) menindaklanjuti pengaduan Warga Semunying dan WALHI Kalbar dengan melakukan fungsi pemantauan dan hadir langsung di Desa Semunying Jaya.
q. Tanggal 16 Agustus 2009, bertempat di Mess Pemda Bengkayang di Bengkayang dilakukan pertemuan antara Komnas HAM dan Pemerintah Daerah Bengkayang yang menemukan fakta mengenai perizinan perusahaan yang telah kadaluarsa.
r. Tanggal 29 Agustus 2009, warga kembali melakukan aksi penahanan 2 buah eksavator dan 6 buah mesin chainsaw sebagai reaksi atas ulah ingkar janji pihak perusahaan yang terus melakukan ekspansi. Upaya ini juga sebagai bentuk sikap konsisten warga menolak keberadaan perusahaan sawit yang terus melakukan perambahan hutan di daerahnya.
s. Tanggal 31 Agustus 2009, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI melalui surat bernomor 2.696/K/PMT/VIII/2009 perihal Permintaan untuk melaksanakan rekomendasi atas dugaan pelanggaran HAM oleh PT. Ledo Lestari terhadap masyarakat Desa Semunying Jaya yang ditandatangani oleh Johny Nelson Simanjuntak (Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan), menyurati Bupati Bengkayang.

Kondisi Kini

Sebagai tindak lanjut dari surat teguran Komnas HAM RI tersebut, Bupati Bengkayang kemudian berinisiatif melakukan pengukuhan terhadap Hutan Adat warga Semunying Jaya tepatnya tanggal 15 Desember 2009 yang dihadiri oleh semua pihak (kecuali pihak perusahaan). Tanah Adat Semunying Kolam saat itu dikukuhkan dan diwarnai dengan acara ritual adat, penandatanganan prasasti oleh Bupati Bengkayang Drs. Jacobus Luna, M.Si (tanpa tanggal) dan pemasangan plang nama kasawan.
Namun demikian pengukuhan yang sedianya diikuti dengan pembuatan Surat Keputusan (SK) mengenai tanah warga tidak kunjung tiba. Warga terus bersabar, karena sebelumnya telah dijanjikan oleh pihak Pemda setempat untuk dikeluarkan melalui surat keputusan Bupati. Alhasil hingga saat ini, surat tersebut belum diterima warga (Pemda terkesan mengulur waktu).
Disaat warga sedang menanti SK dan meskipun telah dikukuhkan, pihak perusahaan masih saja melakukan aktifitas pembukaan kawasan hutan pada hal sebelumnya Pemda setempat (setelah mendapat pengaduan warga) telah mengingatkan pihak perusahaan untuk tidak melakukan aktifitas sebelum persoalan yang dihadapi warga Semunying Jaya diselesaikan (sambil menunggu terbitnya SK pengukuhan kawasan adat). Berdasarkan keterangan Kadishutbun Bengkayang, Supriyadi bahwa SK pengukuhan tanah adat materinya malah pengukuhan tentang Hutan Perbanyakan Benih. Dimana surat tersebut yang sedianya ditandatangani Bupati masih belum bisa, karena menurutnya harus dilampiri peta kawasan. Atas kondisi ini, Bupati melalui Dishutbun Bengkayang bersama instansi terkait dan warga setempat akhirnya melakukan pemetaan ulang (pemetaan sebelumnya dilakukan oleh Walhi Kalbar). Namun demikian, pihak perusahaan menyatakan tidak akan mengakui peta yang telah dibuat karena dianggap tanpa melibatkan mereka. Bahkan pihak perusahaan menyatakan bahwa warga Desa Semunying telah ”dikelabui” oleh Bupati Bengkayang melalui pengukuhan atas tanah adat. Warga selanjutnya menyampaikan statemen dimaksud kepada Bupati dan kemudian dibalas Bupati : ”buat apa saya sebagai pemerintah membohongi warga”.
Warning yang diberikan pihak pemerintah daerah tidak digubris pihak perusahaan, apa lagi desakan aspirasi yang disampaikan warga. Malah pihak perusahaan menggunakan jasa aparat (tentara Libas di sekitar perbatasan) untuk menjaga usahanya. Bahkan besadarkan keterangan warga di Semunying Jaya, pihak aparat disatu sisi justeru terlibat dalam kegiatan praktek illegal logging serta melakukan intimidasi kepada warga.
Dari luasan hutan adat 1420 Ha, 800 Ha nya telah digarap dan ditanam pihak perusahaan. Sikap Bupati yang tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada dianggap warga telah melecehkan mereka. Saat ini warga memblokir kawasan tanah adat dan menjaga kawasan tersebut setiap hari. Tanggal 20 April 2010 warga menyampaikan 4 poin tuntutan sebagai hasil hasil pertemuan warga yang dilakukan tanggal 16 April 2010 di balai Desa Semunying Jaya diantaranya; 1) masyarakat Semunying Jaya tetap komitmen mempertahankan tanah adat Gunung Semunying Kolam yang telah dikukuhkan oleh Bupati Berngkayang tanggal 15 Desember 2009, 2) Semua bentuk kegiatan dilokasi tanah adat harus dihentikian, 3) Tanah/lahan yang digarap secara paksan tanpa sepengetahuan oleh pemilik lahan harus diganti untung secepatnya dan masyarakat tidak mau menyerahkan lahannya tersebut, 4) jangan ada lagi bentuk perampasan hak atas tanah adat atau lahan masyarakat di wilayah Desa Semunying Jaya atau memperluas lahan baru, 5) Masyarakat mau 'menerima' kebun sawit dengan catatan; diluar kawasan hutan adat. Bukan hanya ini, warga juga hingga kini telah dan selalu melakukan koordinasi dan bahkan menyampaikan pengaduan kepada berbagai pihak (Pemda Kabupaten, Pemda Propinsi, Kepolisian dan bahkan Pemerintah Pusat).

Rekomendasi

Dari deretan catatan sebagaimana telah diuraikan diatas, jelas sudah bahwa kondisi warga Semunying Jaya hari ini masih dalam masalah. Pihak pemerintah pun dengan kondisi demikian terkesan plin-plan dan tidak ada taring. Padahal bila meruntut alur dan jalan prosesnya, posisi warga mempertahankan hak nya atas tanah adat yang diusahakan sejak turun temurun cukup mendasar. Ditengah ketidakadaan niat baik pihak perusahaan dan sikap pemerintah yang belum dapat memberikan solusi bagi warga Semunying Jaya, maka kami mengajukan sejumlah rekomendasi bagi pembuat kebijakan dan berbagai pihak agar:
1. Mendesak pemerintah Daerah Bengkayang (Bupati beserta jajarannya) segera menyelesaikan persoalan yang dihadapi warga Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang.
2. Agar pihak aparat yang berwewenang memantau dan menarik personilnya yang melakukan pengamanan karena telah meresahkan masyarakat.
3. Agar berbagai pihak mengakui kedaulatan masyarakat adat di Desa Semunying Jaya atas tanah yang mereka kelola secara turun temurun.
4. Agar berbagai pihak (Kepolisian, Instansi terkait di daerah hingga pusat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Daerah dan Pusat) melakukan pemantauan dan tindakan tegas untuk memperjaungkan rasa keadilan atas kondisi yang dialami warga Semunying Jaya.
5. Agar pihak terkait yang berwenang tidak mengeluarkan (tidak memproses) berbagai bentuk legalitas dalam bentuk kelengkapan administrasi yang dilakukan oleh PT. Ledo Lestari seperti permohonan sertifikat HGU dan dokumen sejenisnya.



Pontianak, 24 April 2010


Walhi Kalimantan Barat
Warga Desa Semunying Jaya
Pemerintah Desa Semunying Jaya