Senin, 9 Agustus 2010 lalu bertemat di Sekretariat Walhi Kalbar dalam sebuah forum Jumpa Pers, perwakilan warga Seruat dan Mengkalang Guntung yang tergabung dalam Sarikat Tani Kubu Raya (STKR) menyatakan sikap meminta pemerintah terkait untuk mencabut izin usaha dan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sintang Raya yang dinilai telah menimbulkan konflik di masyarakat sekitar konsesi dan perusahaan dinilai telah melakukan penyerobotan areal pertanian serta lahan perkebunan milik warga.
Perusahaan juga menggarap hutan yang menjadi kawasan penyangga di Seruat. Lahan perusahaan dianggap telah tumpang tindih. Perusahaan yang bergerak dalam bidang pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit ini juga dianggap tidak memiliki dokumen AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) saat beroperasinya perusahaan tersebut sejak pertengahan tahun 2006. Selanjutnya dalam catatan warga Seruat, perusahaan ini juga telah menggarap kawasan berlahan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter. Warga meminta AMDAL yang dikeluarkan beberapa tahun setelah perusahaan melakukan sejumlah aktifitas untuk dikaji ulang. Warga meminta pihak Perusahaan dan Pemerintah bertanggungjawab atas bencana banjir di Seruat dan sekitarnya. Serta meminta agar upaya propokasi terhadap warga agar menyerahkan tanah kepada pihak perusahaan dihentikan!
Sejumlah point dari fenomena di masyarakat yang menjadi landasan keberatan warga tersebut adalah “dosa perusahaan” yang penting untuk dipertimbangkan oleh pemerintah daerah (Kubu Raya) dan sejumlah pihak terkait untuk melakukan langkah strategis menyikapi kasus PT. Sintang Raya yang memperoleh izin seluas 20.000 Ha sejak tahun 2004 itu dalam upaya mengakomodir kepentingan rakyat untuk lingkungan lestari.
Besarnya potensi konflik terkait pembukaan kawasan hutan dan wilayah kelola rakyat untuk kepentingan perkebunan monokultur tidak dapat terbantahkan ketika selama ini yang seringkali ditemui dalam prakteknya bahwa prinsip FPIC (Free, Prior, Informed and Concent) sering kali diabaikan. Prinsip FPIC merupakan sebuah sebuah instrument untuk mengakomodatif kepentingan warga dengan memberikan informasi secara utuh tentang dampak keberadaan sebuah proyek pembangunan dan kemudian memberikan ruang kebebasan bagi warga untuk menentukan pilihan pembangunan dengan sadar terkait dengan sikap menerima dan atau menolak! Dalam hal ini, pihak masyarakat mestinya menjadi penentu dari setiap kebijakan pembangunan yang akan dilakukan di daerahnya, dan masyarakatlah yang sungguh-sungguh memahami kebutuhan di daerahnya.
Orientasi untuk mengembangkan aspek ekonomi semata seringkali menjadi alasan priotitas diterimanya korporasi untuk membuka kawasan hutan, sementara aspek sosial-budaya-adat dan kepentingan untuk ekologi seakan tidak menjadi pertimbangan mendasar yang sangat penting dipertimbangkan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya sejumlah “dosa perusahaan” terkait dengan syarat sejumlah dokumen administrasi yang tidak dipenuhi. Dalam hal ini sebagaimana amanat Permentan Nomor 26 Tahun 2007 mengenai Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan pasal 15 poin (i) yang mensyaratkan perlu adanya hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Sisi lain dari kebijakan pemerintah yang kontradiktif dengan semangat “moratorium” untuk penyelamatan lingkungan yang didengungkan selama ini adalah ketika hadirnya Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budi Daya Kelapa Sawit. Kebijakan ini justeru memberikan celah bagi korporasi untuk dapat semakin leluasa menambah peliksnya persoalan lingkungan.
Betapa tidak? Komitmen Pemerintah untuk melakukan ”moratorium” dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan seiring dengan upaya mengurangi dampak dari pemanasan global yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim sejatinya baik adanya. Karena dalam dalam tataran realita dilapangan akumulasi emisi akibat aktifitas manusia telah memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para nelayan. Namun demikian, dengan lahirnya Permentan Nomor 14 Tahun 2009 yang memberikan ruang untuk pemanfaatan Lahan Gambut untuk dapat di konversi Budidaya Perkebunan Sawit, membuktikan bahwa keberpihakan pemangku kebijakan masih perlu dipertanyakan dalam semangat penyelamatan lingkungan. Padahal sebagaimana diketahui kawasan Gambut merupakan areal penting yang perlu diselamatkan. Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi (emisi).
Ekosistem lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air, juga sebagai kawasan sumber flora dan fauna (sumber daya alam hayati). Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 ini jelas menjadi ancaman bagi ekosistem (gambut khususnya) dan masa depan bumi umumnya. Apalagi batasan kedalaman gambut yang digarap oleh korporasi tersebut melebihi angka yang telah ditentukan dan secara otomatis bertentangan dengan konstitusi.
Apa yang disampaikan warga tentunya tidak berlebihan, terlebih dengan fenomena dan dampak dari kondisi buruknya lingkungan yang telah dipetik hasilnya melalui bencana banjir di Seruat dan sekitarnya. Kejadian ini kemudian memberikan sejumlah dampak seperti gagal panen yang dialami petani. Pemerintah Kubu Raya selayaknya mengakomodir kepentingan warganya. Upaya ”adu domba” yang selama ini dialami warga harus segera di hentikan. Jangan ada lagi perampasan tanah dan konflik oleh karena hadirnya kebijakan pembangunan perkebunan monokultur dengan dalih kesejahteraan. Pemerintah yang mengklaim diri pro terhadap rakyat mutlak melakukan langkah kongkrit melalui kebijakan yang tidak melukai hati rakyat. Bagaimanapun warga Seruat dan sekitarnya yang menjadi korban atas kebijakan Pembangunan harus mendapatkan perhatian yang sama dengan warga negeri lainnya, karena bila lingkungan rusak sudah pasti masa depan akan suram!!! Selayaknya Pemerintah Mengakomodir Kepentingan Rakyat yang menjadi korban pembangunan untuk kepentingan Lingkungan yang lestari.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar