Minggu, 03 Oktober 2010

Kriminalisasi Masyarakat (Adat) atas Pemanfaatan SDA?

By. Hendrikus Adam*
(Aktifis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat)


Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara. Pernyataan yang dicetuskan oleh rakyat Indonesia (masyarakat adat/MA) dari berbagai penjuru nusantara dalam Kongres I Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta tahun 1999 ini boleh dibilang sebagai bentuk ”perlawanan” dan juga ”protes” atas sikap negara (pemerintah) yang cenderung mengabaikan eksistensi MA. Pernyataan ini tentunya sangat argumentatif, karena MA telah ada jauh sebelum negara Republik Indonesia ini dideklarasikan sebagai negara yang berdaulat pada 17 Agustus 1945 silam. Sisi lain dari keberadaan MA, juga sebagai bagian dari warga di negeri ini. Sebagain bagian dari makhluk di dunia, kehadiran setiap pribadi masyarakat memiliki harkat dna martabat yang sama.

Didefinisikan, Masyarakat Adat merupakan sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya, serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat. Demikian halnya istilah MA seringkali digunakan dalam istilah yang beragam.

Di beberapa negara lain, banyak istilah yang digunakan untuk menjelaskan masyarakat adat, misalnya first peoples di kalangan antropolog, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan atau orang asli untuk sebutan di Malaysia. Sedangkan di tingkat PBB penggunaan indigenous peoples tertuang dalam deklarasi PBB (draft on the UN declaration on the Rights of the Indigenous Peoples). Di Indonesia, berdasarkan versi pemerintah menyebutnya dengan Istilah “masyarakat hukum adat” atau “masyarakat tradisional”.

Istilah Masyarakat Adat mulai disosialisasikan di Indonesia pada tahun 1993 setelah sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, akademisi dan aktivis organisasi non pemerintah (Ornop) menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai suatu istilah umum pengganti sebutan yang sangat beragam. Pada saat itu, secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan. Sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka masing-masing (Artikel utama dalam WACANA HAM, Media Pemajuan Hak Asasi Manusia, No. 10/Tahun II/12, Juni 2002, Jakarta). Pemahaman mengenai Masyarakat Adat tentunya tidak hanya merujuk pada etnis/kelompok tertentu, tetapi sangat luas meliputi segenap warga yang masih memelihara sistem nilai adat dan budayanya dengan keberadaan SDA yang masih tetap terjaga.

Lantas bagaimana dengan nasib MA saat ini? Masyarakat adat sebagai bagian dari komponen masyarakat sipil cenderung (senantiasa) berada pada posisi lemah, dan rentan terhadap perlakuan refresif manakala berhadapan dengan pemodal dan aparatur negara khususnya dalam upaya menuntut hak dan keadilan terhadap kondisi sosial-ekologi yang berkelanjutan. Perjuangan warga terhadap akses dan kontrol rakyat atas lingkungannya seringkali dikesampingkan. Dengan posisi yang lemah tersebut menjadikan masyarakat cenderung kurang ”berani” dan potensial untuk selalu mendapat dampak buruk.

Upaya dan tantangan atas perjuangan yang dialami masyarakat adat di Kalimantan Barat, mempunyai dinamika tersendiri. Sebagai bagian penduduk di bumi ini, warga Kalimantan Barat dengan latar belakang yang beragam dan tinggal (umumnya) di pedalaman dalam kesehariannya senantiasa berhubungan langsung dengan alam dan lingkungannya. Potensi sumber daya berupa hutan, tanah dan air adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dari hidup dan kehidupan masyarakat adat yang senantiasa menggantungkan hidupnya pada hasil bumi. Hutan, tanah dan air merupakan alat produksi bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan.

Massifnya kebijakan investasi skala besar dalam bentuk perkebunan sawit, pertambangan, HPH, HTI dan lainnya sebagai bentuk dari pemanfaatan sumber daya alam versi penguasa namun memberikan ruang yang sangat memungkinkan terjadinya perampasan atas hak kelola masyarakat (adat) atas potensi alam melahirkan sejumlah konsekuensi logis. Upaya pengelolaan sumber daya alam berbasis kepentingan ekonomi semata, namun cenderung mengesampingkan aspek lingkungan sosial-budaya, adat istiadat dan ekologi adalah jalan pasti menuju kehancuran.

Hal ini dapat dilihat dengan upaya-upaya yang dilakukan selama ini. Atas nama pembangunan dengan dalih kesejahteraan, pemodal yang sedari awal tidak memiliki sejengkal tanahpun memang sangat ”profesional” dalam mewujudkan impiannya dengan ”mengambil alih” kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki masyarakat dengan berbagai cara untuk membuka investasi melalui izin penguasa (Negara). Berbagai iming-iming dan citra positif untuk membuai masyarakat agar dapat diterima seringkali disampaikan secara sepihak yang berakibat pada pelepasan tanah dan sumber daya alam warga dan bahkan berujung pada konflik sosial bila kemudian warga akhirnya sadar dan melawan.

Sedikitnya ada empat mitos yang seringkali digunakan untuk membuai warga soal investasi yakni; memberikan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan pendapatan asli daerah/PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat. Keempat mitos ini tentunya tidak harus ditelan mentah-mentah, bila dikaji lebih kritis maka sesungguhnya keempat dalih tersebut tidak lebih dari ”akal bulus” yang kurang mendasar.

Dampak dari pemberian ruang bertumbuh kembangnya investasi skala besar (perkebunan sawit, pertambangan, HTI) yang menguras sumber daya alam disekitar lahan kelola masyarakat dan bahkan mengabaikan hak-hak MA seringkali memiriskan hati dengan berbagai fakta dan realita yang terjadi selama ini. Sebaliknya, masyarakat yang sadar berjuang dan menolak investasi seringkali dipersalahkan. Kriminalisasi terhadap masyarakat yang menginginkan hutan, tanah dan air nya tetap utuh menjadi fenomena sebagai konsekeunsi sebuah perjuangan melawan kaum bermodal yang mendapat restu dari penguasa.

Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Kasus Penangkapan dua warga Semunying Jaya (Momonus/Kades-Jamaludin/BPD) tahun 2006 silam di Bengkayang yang memperjuangkan kedaulatannya, penahanan tiga warga Pelaik Keruap di Kecamatan Menukung Melawi, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) di Ketapang yang berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan SDA dari PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) adalah sejumlah persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa peran negara masih sangat rapuh dalam melindungi hak-hak warganya yang menginginkan kawasan dan alat produksi berupa hutan-tanah-air tetap lestari.

Demikian halnya dengan kriminalisasi terhadap dua orang ibu rumah tangga di Kampung Sanjan Emberas, Kabupaten Sanggau mengambil sisa brondolan sawit yang ”tidak lagi terpakai” oleh pihak perusahaan (PTPN XIII) adalah sisi lain dari sebuah realitas yang terjadi akhir-akhir ini, betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit, karena tidak lagi menjadi tuan atas tanah yang dimiliki. Juga terpisah dari lingkungannya. Pendekatan keamanan dengan menggunakan tangan aparat (polisi-brimob dll) dan menempuh jalur hukum negara melalui kriminalisasi masyarakat seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh oleh managemen perusahaan investasi (investor) guna melindungi usahanya. Padahal dalam sisi yang lain, pihak aparat tidak semestinya ”ngepam” di areal kawasan perusahaan.

Di Sintang, kriminalisasi oleh pihak pemodal (PT. Finnantara Intiga yang saat ini dimiliki Sinar Mas Group sebagai pemilik saham dominan dan Inhutani III) juga dialami 15 orang warga Sejirak (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka (warga). Selama belasan hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang, 25/8), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten Sintang. Dalam setiap kali turun setidaknya seratus ribu harus dirogoh dari saku untuk keperluan turun ke kota Sintang.

Berbagai catatan tersebut adalah bagian dari sejumlah realita dari sekian banyak persoalan yang dihadapi masyarakat kita yang selama ini mengandalkan hidup dan kehidupannya dari kekayaan sumber daya alamnya.

Keberadaan masyarakat di daerah pedalaman khususnya Masyarakat Adat adalah bagian dari warga di republik ini yang memiliki hak sama untuk diperlakukan sebagaimana mestinya secara beradab. Hal ini didasarkan pada pemahaman universal yang harusnya mengakar dalam pemahaman yang sama bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai makhluk ciptaanNya. Sehingga dengan demikian selayaknya dihargai.

Keberadaan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari segala potensi sumber daya alam yang ada di perut bumi adalah sebuah realitas dari kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Bagi masyarakat adat (Dayak khususnya), berbagai aspek kehidupan seperti hutan; tanah dan air merupakan tiga komponen sumber hidup dan kehidupan yang sangat vital sebagai penunjang keberlangsungan hidup. Hutan, tanah dan air merupakan ”apotik” dan ”supermarket” bagi masyarakat adat. Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antar satu sama lain.

Atas berbagai dinamika dan sejumlah motif yang dilakukan para spekulan (Pemodal, Penguasa), selayaknya rakyat untuk selalu mawas diri dan berhati-hati dengan didasari sikap kritis. Dengan demikian layak kiranya kita ragukan niat baiknya bila ada para spekulan maupun pihak asing yang merasa ”risih” dengan hutan-tanah-air yang dimiliki masyarakat adat saat ini. Sebuah refleksi berikut kiranya pantas menjadi catatan penting: Salahkah bila kondisi HUTAN yang ada disekitar lingkungan masyarakat adat tetap utuh?; Salahkah bila TANAH yang ada tetap dimiliki oleh rakyat tanpa harus diserahkan pada para spekulan?; Salahkah bila kondisi AIR (sungai dan berbagai sumber air bersih) yang ada tetap bening dengan kesejukan alaminya?

Tentu, ketiga sumber hidup dan kehidupan ini diharapkan tetap menjadi kebanggaan kita bukan? Dan hanya orang serakah yang akan menyangkal dan mengatakan tidak setuju dengan sejumlah pertanyaan refleksi tersebut. Kejadian kriminalisasi yang dialami masyarakat selama ini terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam harusnya mendapat perhatian bersama yang tidak perlu terjadi.

Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Masyarakat Adat selayaknya dihargai sebagai bagian dari anak negeri yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Jangan ada perlakuan yang tidak adil bagi rakyat. Upaya untuk menghentikan kriminalisasi terhadap warga negeri ini hendaknya massif dilakukan atas dasar niat yang baik, ketika negara dianggap tidak lagi menjadi pelindung bagi rakyat, ketika negara tidak memberikan perlindungan terhadap kondisi yang lestari. Saatnya, perjuangan memang harus dimulai dengan kesadaran dan keyakinan bahwa rakyat memang harus bersatu. Karena KETIKA RAKYAT BERSATU, TAK BISA DI KALAHKAN. Semoga!

Rabu, 29 September 2010

Jangan Paksakan Rakyat Menyerahkan Alat Produksinya!

Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Di Semunying Jaya (Momonus-Jamaludin) Kabupaten sejak beberapa tahun silam dua orang warga dipenjara karena berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan sumber daya alamnya yang digusur tanpa permisi oleh perusahaan sawit (PT. Ledo Lestari).

Selanjutnya juga terjadi penahanan tiga warga Keruap Pelaik di Kabupaten Melawi atas persoalan yang tidka jauh berbeda. Di Ketapang, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) yang berjuang mempertahankan tanahnya atas konsesi sebuah perusahaan Sawit (PT. BNM) adalah deretan persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Terlebih upaya yang terjadi dan dialami masyarakat adat seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga.

Pihak perusahaan yang mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam melakukan usahanya membuka kasawan hutan untuk perkebunan sawit seringkali menggunakan jargon untuk mensejahterakan rakyat. Warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang sebuah investasi yang akan dibangun dalam suatu daerah. Sedikitnya ada empat mitos yang seringkali dilakukan untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat walaupun dalam kenyataannya dilapangan lebih banyak masuk karena “dipaksakan”.

Keempat hal tersebut adalah; mengenai akan membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat. Keempat dalih pembangunan investasi ini seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain. Keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila kita telaah lebih kritis. Karena pada kenyataannya sesungguhnya, warga kita di daerah pedalaman sana tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan.

Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menorah karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup. Sebaliknya, justeru sesungguhnya pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir. Dalih ini juga terlalu mengada-ada. Yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya. Seakan-akan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan.
Jadi seharusnya tidak ada sistem barter. Rakyat di daerah memang membutuhkan perbaikan jalan, silahkan dibangun oleh Negara (pemerintah). Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga. Demikian halnya juga dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Faktanya saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil. Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki. Demikian juga dalih kesejahteraan. Siapa yang berani menjamin, bila perkebunan masuk dalam suatu wilayah maka warga setempat akan sejahtera?

Kasus yang menimpa dua orang ibu rumah tangga di kampung Sanjan Emberas di Kabupaten Sanggau beberapa waktu lalu yang dikriminalisasi adalah sebuah realita dimana keterbatasan akses terhadap tanah karena telah dikuasai oleh perusahaan. Hanya karena mengambil ”sisa” brondolan sawit yang tidak lagi terpakai, sampai-sampai pihak managemen perusahaan perkebunan sawit memprosesnya hingga ke jalur hukum positif. Pada hal seharusnya bisa diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan. Kondisi ini mengambarkan betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit.

Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) dengan perlindungan sejumlah oknum ”aparat” seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya. Di kampung Sejirak, Kecamatan Ketungau Hilir beberapa waktu lalu, kriminalisasi dialami oleh sebanyak 15 orang warga (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten.

Bila memang harus melapor, maka sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. Atau bahkan dihentikan proses hukum ini! Pihak pelapor juga hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini. Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ”nekad” tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti. Pihak eksekutif juga harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga Sejirak yang dilaporkan oleh pihak PT. Finnantara Intiga (saat ini dimiliki Sinar Mas Groups dan Inhutani III).

Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor. Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Negara melalui pemerintah hendaknya memberikan ruang bagi rakyat untuk melakukan pengelolaan terhadap alat produksinya. Jangan paksakan mereka dengan gaya pembangunan yang justeru mengancam keberadaan ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat.

[Hendrikus Adam, Walhi Kalimantan Barat]

Sabtu, 11 September 2010

Mengungkap Fakta, Meluruskan Informasi Soal Semunying

Pada hari ini, Minggu 29 Agustus 2010 pukul 13.00 wiba - selesai bertempat di Aula Gedung PSE KAP Jalan WR. Supratman Nomor 100, telah dilangsungkan Konferensi Pers mengenai kasus Semunying Jaya dan Pelurusan Informasi oleh warga Semunying Jaya terkait penayangan acara OASIS bertajuk "Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan"

Mengungkap Fakta,
Meluruskan Informasi Soal Semunying
(Pers Release)
Sifat: Untuk disiarkan segera

Perjalanan panjang kasus yang menimpa anak negeri di sekitar Perbatasan yakni warga Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang propinsi Kalimantan Barat terkait dengan ekspansi PT. Ledo Lestari anak perusahaan Duta Palma Group yang sejak awal hadir tanpa permisi kepada warga, belum menemukan penyelesaian. Penyerobotan atas lahan dan kawasan hutan adat milik masyarakat Desa Semunying Jaya untuk perkebunan sawit PT. Ledo Lestari yang mulai beroperasi sejak Maret 2005 itu telah menimbulkan dampak destruktif berupa konflik dan keresahan warga. Bahkan dua orang tokoh masyarakat yang berjuang bersama warganya dalam mempertahankan kedaulatan dan hak-hak (atas hutan-tanah-air) warga setempat sempat dikriminalisasi hingga masuk wisma prodeo (bui) dengan tuduhan pemerasan dan perampasan.

Peran pihak Pemerintah kabupaten Bengkayang dan pihak terkait lainnya diharapkan dapat menyelesaikan persoalan. Namun faktanya, tidaklah demikian. Pemerintah Daerah lamban dan bahkan terkesan mengulur-ulur waktu dalam proses penyelesaian polemik yang terjadi. Dengan memahami duduk persoalan yang dialami warga Desa Semunying Jaya, seharusnya pemerintah Bengkayang yang sesungguhnya memiliki kompetensi malah tidak punya ”taring” dalam memberi solusi bagi warga. Akibatnya, persoalan yang dihadapi warga yang berjuang dan bahkan pernah membawa kasus ini ke Komnas HAM dan sejumlah instansi terkait lainnya malah tak kunjung tuntas. PT. Ledo Lestari sendiri telah habis masa izinnya sejak tahun 2007 sebagaimana ditegaskan surat pejabat Bupati Bengkayang.

Kondisi dan dinamika sosial di lingkungan masyarakat Semunying Jaya yang cenderung menimbulkan gejolak dan sejumlah potensi kerawanan sosial oleh karena dampak dari pembangunan perkebunan sawit (PT. Ledo Lestari) yang merusak kawasan kelola warga dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Singkat kata, kondisi dan dinamika kehidupan masyarakat sejak dibukannya perkebunan monokultur di daerah Semunying Jaya masih ”jauh panggang dari api”. Masih jauh dari harapan dan janji manis (kesejahteraan) seperti yang selama ini diwacanakan oleh para pendukung investasi perkebunan skala besar. Fakta dan realita seperti ini menjadi penting dipahami secara bersama sebagai bentuk kegagalan dari kebijakan pembangunan investasi yang mendapat restu dari pejabat daerah. Namun demikian, fakta dan realita yang terjadi dan dialami warga setempat bisa saja menjadi kabur bila dalam proses penyampaian informasi kepada publik jika mengabaikan nilai objektifitas dan rasa keadilan bagi warga.

Hadirnya suguhan informasi di media massa elektronik swasta nasional (Metro Tv) melalui acara OASIS dengan judul “Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan” yang ditayangkan beberapa waktu terakhir (5 Agustus 2010) terasa menyayat hati. Bahkan dapat menambah kian kompleksnya persoalan yang dihadapi warga Semunying Jaya. Sebuah tayangan yang menampilkan seakan-akan warga Semunying Jaya telah meraih kesejahteraan dengan hadirnya perusahaan sawit selayaknya dikritisi karena telah mengaburkan hakikat dari kondisi yang sesungguhnya. Dengan demikian, keprihatinan mendalam memang sepantasnya dirasakan oleh warga Semunying Jaya khususnya dan oleh warga negeri ini pada umumnya atas penayangan berita tersebut yang justeru berpotensi memicu kian menguatnya polemik (baru) di masyarakat. Penayangan berita dalam program OASIS tersebut berpotensi menimbulkan konflik baru, karena telah menutupi realitas dengan menapikkan kondisi sosial kemasyarakatan di wilayah Desa Semunying Jaya yang sesungguhnya.

”Sebagai Kades Semunying Jaya, saya yang tahu situasi maupun kondisi masyarakat kami di sana. Apa yang disebutkan seakan telah sejahtera itu tidak benar karena tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Kenyataannya saat ini sekitar 99% warga Desa Semunying Jaya kondisinya masih miskin. Telah banyak kasus kami alami sejak masuknya PT. Ledo Lestari yang belum tuntas hingga saat ini. Kami juga tidak pernah mengadakan ritual adat yang merestui permbukaan hutan untuk areal perkebunan PT. Ledo Lestari,” ungkap Momonus, Kades Semunying Jaya.

Pernyataan lainnya juga disampaikan Jamaludin, Nuh Rusmanto dan Abulipah. ”Kami merasa dilecehkan dan merasa malu dengan penayangan soal Semunying Jaya itu. Banyak orang yang menganggap kami telah sejahtera dengan hadirnya PT. Ledo Lestari, tetapi kenyataannya tidak demikian. Hal ini berpotensi memicu konflik antar warga di daerah kami. Media kiranya dapat menyajikan berita yang sesuai dengan fakta dan realita di lapangan,” jelas Jamaludin warga Desa Semunying Jaya yang juga sebagai Wakil BPD.

“Apa yang di tayangkan sangat jauh dari kenyataan yang ada di Semunying Jaya,” sambung Nuh Rusmanto yang juga Ketua BPD Semunying Jaya. Sedangkan Abulipah yang juga Sekdes Semunying Jaya mengatakan; “Kami sebagai masyarakat sangat terpukul sekali dengan penayangan liputan tersebut, karena kenyataannya tidak demikian. Justeru, kondisi ekonomi masyarakat Semunying Jaya masih jauh lebih baik sebelum perusahaan masuk di daerah kami,” ungkapnya.

Sebagai manusia yang dianugerahi naluri, pernyataan warga Desa Semunying Jaya ini sungguh naluriah sebagai bentuk kegelisahan. Terlebih bila peliputan video tayangan program OASIS di Metro Tv itu tanpa sepengetahuan pemerintah di Desa. Tanpa harus dijelaskan, bila kita berada pada posisi sebagai warga Semunying Jaya pun perasaan prihatin dengan pemberitaan yang tidak sesuai kenyataan pasti akan dialami.

Tentu saja harus diakui bahwa hadirnya sejumlah penayangan dan pemberitaan oleh media massa selama ini telah banyak membantu khususnya dalam menyuguhkan berbagai informasi kepada khalayak ramai. Namun demikian, masyarakat umum pun kiranya perlu dididik dan dicerdaskan melalui penayangan maupun pemberitaan media massa yang ada dengan menyajikan fakta maupun realita secara objektif dan bukan malah ”mengarang” sebuah pemberitaan tendensius dan “menyesatkan”.

Guna mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan atas fakta dan realita dimaksud, maka kami memandang perlulah kiranya meluruskan informasi terkait dengan kondisi yang dialami warga Semunying Jaya seperti yang ditayangkan oleh Metro Tv melalui acara OASIS tersebut dengan sejumlah argumentasi sebagai berikut;

1. Bahwa dalam liputan program OASIS ”Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan” lebih banyak menyorot lokasi kebun sawit milik PT. Ceria Prima yang terletak di Desa Kalon, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang. Dan bukan berada di Desa Semunying Jaya. Perlu diketahui bahwa kebun sawit yang berada di Desa Semunying Jaya baru usia 3 tahun tanam (belum produktif).
2. Perlu diketahui bersama bahwa salah satu narasumber yang bernama Supardi bukan warga Desa Semunying Jaya, melainkan warga Pasir Putih, Kecamatan Seluas yang berprofesi sebagai Humas PT. Ledo Lestari.
3. Bahwa jembatan yang ditampilkan dalam tayangan liputan program acara OASIS di Metro Tv tersebut, bukan berada di Desa Semunying Jaya, melainkan berada di Desa Sinar Baru.
4. Bangunan Masjid yang terlihat dalam tayangan liputan tersebut bukan berada di Desa Semunying Jaya, tetapi berada di Desa Kalon, Kecamatan Seluas. Tidak ada bangunan Masjid di Desa Semunying Jaya, mayoritas penganut agama Kristiani.
5. Bahwa gedung Sekolah Dasar (SD) dan proses belajar mengajar yang diliput bukan berada di Desa Semunying Jaya, tetapi berada di Desa Sinar Baru dan Desa Kalon, Kecamatan Seluas.
6. Bahwa usaha koperasi yang diliput dalam program OASIS tersebut merupakan koperasi milik PT. Ceria Prima yang berada di Desa Kalon, kecamatan Seluas. Bukan di Desa Semunying Jaya.
7. Bahwa tidak ada pembukaan lahan perkebunan sawit oleh PT. Ledo Lestari yang dilakukan secara adat seperti yang di tuturkan oleh narasumber (Pak Dum Jampung).
8. Bahwa perumahan yang dibangun oleh perusahaan (sebanyak 22 unit) sebagaimana ditayangkan merupakan bagian dari motif perusahaan untuk memindahkan warga Semunying Bungkang (RT. 02), sementara lokasi (perkarangan) rumah lama warga setempat akan dijadikan lahan kebun sawit oleh pihak perusahaan. Masih ada 6 KK yang bertahan, tidak mau menyerahkan pekarangan rumah mereka.
9. Pernyataan Supardi yang mengatakan bahwa; ”jarak tempuh dari Semunying Bungkang ke kota Bengkayang dulunya di tempuh dalam 1 Minggu, namun setelah perusahaan masuk bisa ditempuh dalam waktu 2 jam” adalah tidak mendasar. Karena faktanya, jarak tempuh dari Semunying Bungkang ke kota Bengkayang saat ini bila menggunakan sepeda motor saja membutuhkan waktu tempuh selama ± 5 jam.

Sejumlah poin argumentasi ini hendaknya dapat menjadi catatan penting untuk meluruskan informasi yang cenderung mengaburkan fakta dan realita yang sejatinya dialami warga Semunying Jaya. Hendaknya hal ini dapat menjadi pelajaran dan ”peringatan” bersama semua pihak, khususnya kalangan perusahaan media massa agar dapat lebih objektif dan profesional menyajikan informasi yang mendidik dan mencerdaskan masyarakat.

Dengan demikian, kiranya berbagai pihak terkait (Pemerintah, legislatif, Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Forum RSPO, lembaga keuangan yang mendanai investasi perusahaan, pembeli CPO/buyer, pihak penegak hukum, dll) diharapkan dapat mengambil tindakan tegas dan serius sesuai peran maupun kewenangannya atas kondisi yang memprihatinkan ini. Pemerintah Pusat juga selayaknya mengkaji mega proyek sawit perbatasan yang pada realitanya justeru cenderung mendiskriminasi seperti yang dialami warga Desa Semunying Jaya.

Pemerintah Daerah dan pihak terkait lainnya yang berkompeten hendaknya dapat segera menuntaskan masalah yang di hadapi warga. Kondisi Semunying Jaya kini tak se ”jaya” namanya. Masyarakat Semunying Jaya adalah bagian dari anak negeri ini yang ingin tetap berdaulat atas pengelolaan sumber daya alam dan dihargai seperti warga negara lainnya. Kembalikan kejayaan dan kedaulatan warga Semunying Jaya!

Pontianak, 29 Agustus 2010

Warga Semunying Jaya:

Hentikan Kriminalisasi Terhadap MA!

Oleh Hendrikus Adam*

Keberadaan masyarakat di daerah pedalaman khususnya Masyarakat Adat (MA) adalah bagian dari warga di republik ini yang memiliki hak yang sama untuk diperlakukan sebagaimana mestinya secara beradab. Hal ini didasarkan pada pemahaman universal yang harusnya mengakar dalam pemahaman yang sama bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai makhluk ciptaanNya. Sehingga dengan demikian selayaknya dihargai.

Keberadaan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari segala potensi sumber daya alam yang ada di perut bumi adalah sebuah realitas dari kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Bagi masyarakat Dayak khususnya, berbagai aspek kehidupan seperti hutan; tanah dan air merupakan tiga komponen sumber hidup dan kehidupan yang sangat vital sebagaI penunjang keberlangsungan hidup. Hutan, tanah dan air merupakan ”apotik” dan ”supermarket” bagi masyarakat adat. Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antar satu sama lain.

Namun demikian, seiring dengan perkembangan iklim investasi atas nama pembangunan dengan dalih kesejahteraan dalam berbagai bidang kehidupan yang disertai dengan ”nafsu serakah” dari segelintir oknum tertentu saja, kekayaan sumber daya alam disekitar lingkungan tempat tinggal yang merupakan wilayah kelola masyarakat adat kini terancam. Masyarakat adat ”dipaksa” dan terpisah dari sumber hidup dan kehidupanya (hutan-tanah-air). Aset sumber daya alam rakyat berangsur-angsur mengalami kepunahan.

Masuknya investasi perkebunan skala besar dalam bentuk apapun (perkebunan sawit, HTI dan lainnya) diwilayah kelola masyarakat adat yang sejak belasan bahkan puluhan tahun silam dan hingga kini, marak dilakukan sebagai buah dari kebijakan penguasa karena telah memberikan perizinan tanpa memberikan informasi yang utuh bagi masyarakat akhirnya melahirkan sejumlah konsekuensi logis. Juga bahkan berakhir tragis dan memprihatinkan. Pasti dapat dibayangkan ketika akses sumber daya alam di wilayah kelola warga dikuras untuk kepentingan pemodal, maka yang terjadi masyarakat setempat kehilangan sumber hidup dan kehidupannya. Hutan, tanah dan air yang awalnya utuh harus berubah menjadi hamparan tanaman yang sesungguhnya tidak biasa dengan kondisi masyarakat lokal. Bahkan sumber air menjadi rusak dan tanah tidak lagi menjadi hak milik karena ”diambil” para spekulan yang mengaku menanamkan investasi. Celakanya, masyarakat adat yang kemudian sadar melakukan perlawanan menolak masuknya investasi namun disadari akan mengancam keberadaan wilayah kelola mereka seringkali dianggap sebagai pihak yang kolot, bodoh dan tidak tahu diuntung. Bahkan dianggap menolak pembangunan. Adalah benar bahwa masyarakat adat menolak pembangunan yakni pembangunan yang menindas dan mengancam kehidupan dan masa depan mereka.

Sejumlah istilah-istilah yang kemudian berpotensi ”membodohi” seringkali digunakan untuk menjebak dan membuat warga sebagai pemilik lahan kelola terbuai dan bahkan tidak berdaya, seringkali disuguhkan seperti; lahan tidur, tanah negara, orang gajian, karyawan, kantor, upah dan istilah lainnnya. Istilah-istilah ini harusnya disadari oleh warga kita saat ini. Terasa sangat aneh misalnya ketika ada pihak lain yang seakan ”risih” dan kemudian mengatakan bahwa lahan kelola disekitar masyarakat dianggap sebagai ”lahan tidur” dan juga seringkali mengklaim bahwa tanah yang dipertahankan rakyat adalah tanah negara. Tanah memang organ vital sebagai sumber produksi penting bagi kelangsungan hidup warga. Namun demikian, harusnya tidak perlu ada”oknum para spekulan” yang merasa risih ketika hutan-tanah-air yang ada disekitar perkampungan masyarakat tetap alami dan apa adanya disaat masyarakat setempat masih mengandalkan sumber kehidupan dengan cara yang dilakukan selama ini seperti menoreh, bertani, berburu dan lainnya. Karena tanah yang dianggap ”lahan tidur” itu juga pada akhirnya akan dikelola oleh karena keluarga mereka akan terus bertambah dari waktu kewaktu. Sikap menjaga hutan-tanah-air dengan tidak menghabiskan/menghabiskan segala potensi sumber daya alam yang ada seperti ini harusnya diapresiasi oleh berbagai pihak (termasuk penguasa) sebagai bentuk dari kebijakan dan ketidakserakahan masyarakat adat, namun tetap berorientasi pada masa depan.

Demikian pula dengan istilah-istilah seperti; orang gajian, karyawan, kantor, upah dan istilah lainnnya yang harus diakui sebagai bagian dari ”jurus” para spekulan untuk membuai rakyat pemilik lahan kelola, namun seringkali tidak pernah disadari. Dengan sebutan dari istilah seperti ini seringkali membuat warga merasa sebagai orang yang memiliki ”kelas sosial” yang tinggi, sekalipun hasil keringat yang diterima masih jauh dari harapan. Namun demikian, perlu disadari bahwa apapun istilah yang digunakan dalam dunia investasi skala besar yang menyertakan sekelompok orang menjadi tenaga kerja bahwa posisi mereka sesungguhnya adalah sebagai buruh. Tentu kondisi ini sangat berbeda dengan keberadaan seseorang atau sejumlah orang-orang yang berpropesi sebagai petani karet yang juga biasanya melakukan aktifitas berladang, mereka bukan hanya sebagai pemilik namun juga sebagai tuan atas usahanya sendiri. Ini berarti bahwa setiap orang yang bekerja sebagai petani karet tidak perlu merasa rendah diri, sebaliknya tetap banggalah dengan predikat ini.

Atas berbagai dinamika dan sejumlah motif yang dilakukan para spekulan, rakyat dituntut untuk mawas diri dan berhati-hati. Dengan demikian layak kiranya kita ragukan niat baiknya bila ada para spekulan maupun pihak asing yang merasa ”risih” dengan hutan-tanah-air yang dimiliki masyarakat adat saat ini. Sebuah refleksi berikut kiranya pantas menjadi catatan penting: Salahkah bila kondisi HUTAN yang ada disekitar lingkungan masyarakat adat tetap utuh?; Salahkah bila TANAH yang ada tetap dimiliki oleh rakyat tanpa harus diserahkan pada para spekulan?; Salahkah bila kondisi AIR (sungai dan berbagai sumber air) yang ada tetap bening dengan kesejukan alaminya? Tentu, ketiga sumber hidup dan kehidupan ini diharapkan tetap menjadi kebanggaan kita bukan? Dan hanya orang serakah yang akan menyangkal dan mengatakan tidak setuju dengan sejumlah pertanyaan refleksi tersebut.

Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Kasus Penangkapan dua warga Semunying Jaya (Momonus-Jamaludin) tahun 2006 silam di Bengkayang, penahanan tiga warga Keruap Pelaik di Melawi, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) di Ketapang yang berjuang mempertahankan tanahnya adalah sejumlah persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa peran negara masih sangat rapuh dalam melindungi hak-hak warganya. Demikian halnya dengan kriminalisasi terhadap dua orang ibu rumah tangga di Sanggau yang mengambil ”sisa” brondolan sawit yang tidak lagi terpakai adalah sisi lain dari sebuah realitas yang terjadi akhir-akhir ini, betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit. Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) dengan perlindungan sejumlah oknum ”aparat” seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya.

Di Sintang, kriminalisasi oleh pihak pemodal (PT. Finnantara Intiga yang saat ini dimiliki Sinar Mas Groups dan Inhutani III) juga dialami 15 orang warga Sejirak (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten. Bila memang harus melapor, maka sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. Atau bahkan dihentikan proses hukum ini! Pihak pelapor juga hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini.

Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ”nekad” tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti. Pihak eksekutif juga harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga.

Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor. Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Masyarakat Adat selayaknya dihargai sebagai bagian dari anak negeri yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Jangan ada perlakuan yang tidak adil bagi rakyat. Upaya untuk menghentikan kriminalisasi terhadap warga negeri ini hendaknya massif dilakukan ketika negara dianggap tidak lagi menjadi pelindung bagi rakyat. Perjuangan harus dimulai dengan kesadaran bahwa ketika rakyat bersatu, tak bisa di kalahkan!

*) Aktifis di lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat

Kamis, 26 Agustus 2010

PT. MKS Cemari Sungai Noyan, Warga Resah Hadirnya Aparat!!!

Pembangunan investasi perkebunan monokultur dengan dalih untuk memberikan kesejahteraan namun berbuah “petaka” karena justeru merugikan bagi rakyat seperti konflik penyerobotan lahan maupun tanah warga dan pencemaran sumber air adalah fenomena yang tidak asing di republik ini. Warga Desa Noyan dan sekitarnya di Kabupaten Sanggau adalah suatu komunitas masyarakat Dayak Bisonu’-Bemate’ yang juga bagian dari anak negeri, namun harus menelan pil pahit sebagai akibat dari pembukaan investasi yang hanya menguntungkan pihak tertentu semata.

Desa Noyan sendiri terdiri dari tiga dusun yakni; Dusun Noyan yang meliputi Kampung Kojup dan Plaman Noyan, Entubu dan Krosik. Sumber pencaharian warga Noyan pada umumnya sebagai peladang, petani karet, pedagang, dan ada juga yang bekerja di perkebunan sawit.

Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) anak perusahaan Surya Dumai Gropus. Berdasarkan hasil penelusuran lapangan dan laporan warga setempat, sejumlah fakta lapangan sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa diantaranya; 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan bahkan kini rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 2) tanah warga di serobot tanpa pemisi yang pada akhirnya hanya dihargai seadanya. Bahkan masih ada tanah warga yang diserobot namun belum di GRTT (Ganti Rugi Tanam Tumbuh), 3) telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 4) terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan konflik antar keluarga, 5) masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan.

Dalam prakteknya, pihak perusahaan malah menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.

Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS). Berdasarkan hasil FGD bersama warga, sejumlah fakta yang didapati sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa; 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 2) tanah warga di gusur tanpa pemisi dan pada akhir nya di hargai seadanya (bahkan ada yang belum di GRTT), 3) telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 4) terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan permusuhan antar keluarga, 5) masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan, 6) pihak perusahaan menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.

Dibalik berbagai persoalan tersebut, masyarakat di Desa Noyan masih berada dalam posisi yang lemah. Mereka disatu sisi tidak pernah mendapatkan informasi yang utuh mengenai sejumlah dampak investasi di daerahnya. Bahkan masyarakat setempat tidak mengetahui banyak soal keberadaan PT. MKS yang beroperasi di daerah mereka. Mereka juga tidak berdaya disaat perusahaan menggusur tanah mereka tanpa permisi.

Kondisi kebun juga tampak kurang terawat, dan hal demikian di akui warga. Disamping itu, masyarakat setempat merasa tidak pernah dilibatkan atas hadirnya perusahaan ini. Tidak melibatkan semua unsur. Berdasarkan informasi dilapangan bahwa izin PT. MKS dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di Sei Daun tumpang tindih. Masyarakat juga menilai bahwa hadirnya PT. MKS tidak memberi kontribusi bagi masyarakat setempat. Yang ada justeru merugikan. Hutan masyarakat dibabat dan tanah di serobot tanpa permisi.

Disamping PT. MKS yang baru hadir di daerah Noyan dan sekitarnyasekitar tahun 2008/2009, juga terdapat PT. Global yang masuk sejak tahun 2005, PT. SISU (Sepanjang Inti Surya Utama) masuk tahun 2006/2007, PT. Semai Lestari (SL) dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di tahun 2009. Persoalan tumpang tindih pengelolaan kawasan semakin di perparah dengan upaya eksplorasi yang dilakukan PT. Kendawangan Putra Abadi (sebuah perusahaan pertambangan) yang akan menggunakan areal kawasan PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) sebagai kawasan konsesi.

Pemerintah daerah dan semua pihak terkait yang berniat baik dan memiliki tanggungjawab hendaknya memperhatikan persoalan yang dihadapi warga Noyan. Tercemarnya Sungai Noyan dan Sungai di Dusun Mayan mengancam kehidupan warga atas akses sumber air bersih bagi warga. Aparat kepolisian (brimob) yang hadir untuk perusahaan telah meresahkan warga. Pihak keamanan dan pihak terkait lainnya, khususnya Kapolda Kalimantan Barat hendaknya menarik aparat yang dianggap telah meresahkan dan membuat warga merasa trauma.


Disampaikan oleh Hendrikus Adam,
Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat.

Masyarakat Indonesia Tolak Nuklir

AKSI (Keterangan Poto) - Penulis di sela-sela aksi di Jakarta, Sabtu (12/6).

Rencana pemerintah melakukan pengembangan energi listrik melalui program alternatif Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dikecam berbagai kalangan. Mereka mengkhawatirkan bahaya dari energi yang dianggap ancaman terhadap manusia dan lingkungan tersebut.

Bertempat di Tugu Proklamasi Jakarta, Sabtu (12/6) pagi, yang dilangsungkan berawal dari aksi teatrikal, masyarakat antinuklir yang dihadiri perwakilan dari tujuh provinsi juga melakukan orasi yang diakhiri dengan deklarasi bersama menolak PLTN.

Dalam orasinya pada acara yang diinisiasi Greenpeace Indonesia ini, masyarakat antinuklir yang berasal dari tujuh provinsi yang terdiri dari perwakilan: Kalbar, Kaltim, Bangka Belitung, Jawa Timur-Madura, Jateng-Jepara, Banten, Gorontalo menyatakan penolakannya terhadap kebijakan pemerintah yang mengagendakan wacana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Juga hadir dalam kesempatan tersebut para aktivis lingkungan seperti Walhi, Masyarakat Anti Nuklir Indonesia (Manusia) dan sejumlah undangan lainnya. Sebagaimana di Kalimantan Barat, pemerintah di daerah ini juga sedang mengagendakan pembangunan PLTN. Dalam kesempatan ini, perwakilan Kalimantan Barat juga dalam orasinya dengan tegas menyerukan agar pemerintah menghentikan niatnya untuk membangun PLTN. Dalam pernyataannya deklarasi, para pihak yang terlibat dalam kegiatan ini menilai bahwa PLTN bukanlah solusi dalam memenuhi energi listrik saat ini.

Arif Fiyanto, juru kampanye energi dan iklim Green Peace Indonesia menyatakan pihaknya hari ini mendeklarasikan penolakan terhadap rencana pembangunan PLTN di seluruh Indonesia.

"Menurut kami, rencana pembangunan PLTN adalah cermin dari sesat pikir pemerintah dalam memecahkan masalah energi di Indonesia. PLTN dianggap solusi untuk memecahkan masalah energi di Indonesia, padahal begitu banyak sumber energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Jadi dari pada membangun PLTN, pemerintah seharusnya fokus mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan di negeri ini," jelasnya.

Bertepatan dengan aksi ini, Greenpeace juga meluncurkan kalander antinuklir yang dilanjutkan dengan diskusi terbuka bertema PLTN, Mitos dan Realitas di Tugu Proklamasi yang dihadiri sejumlah narasumber seperti Sonny Keraf (Mantan KLH dan penulis buku Etika Lingkungan), Kahar Albahri (aktivis Jatam Kaltim), DR Iwan Kurniawan (Pakar Nuklir) dan Hendro Sangkoyo (Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik).

Momentum ini selanjutnya diteruskan pertemuan bersama yang sekaligus sebagai pertemuan nasional masyarakat antinuklir Indonesia yang dilangsungkan di Kantor Greenpeace. Sony Keraf dalam pemaparannya menyatakan Indonesia masih belum untuk menjalankan teknologi PLTN. Menurutnya, PLTN merupakan proyek yang cenderung ambisius. Hal sama juga disampaikan pakar nuklir Indonesia, DR Iwan Kurniawan.

"PLTN bagi Indonesi masih berat. Tidak ada teknologi yang 100 persen sempurna terhadap radiasi. PLTN sangat berbahaya dan teknologi ini tidak mungkin dianggap main-main. PLTN bukan alih teknologi, namun berorientasi proyek," Iwan Kurniawan.*

*Penulis adalah Aktivis Walhi Kalbar

Sumber: http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/12406, lihat juga di; http://www.tribunnews.com/2010/06/14/masyarakat-anti-nuklir-tolak-pltn

Nuklir Energi Berbahaya; Tolak PLTN

Menolak Mega Proyek PLTN di Tanah Air

Kalbar menjadi salah satu lokasi yang sedang di timang-timang untuk didirikan PLTN dengan alasan daerah aman bencana dan memiliki bahan mentah uranium di Melawi. Namun dalam aksinya para aktifis lingkungan mendesak agar niat membangun PLTN dihentikan.

By. Hendrikus Adam*

Sabtu (12/6) pagi kala sang mentari mulai bangkit sekiar pukul 09.00 wiba, di kawasan Tugu Proklamasi tampak semarak. Spanduk warna hitam berukuran lebar memanjang terbentang di sebelah kiri dan kanan masuk kawasan tersebut yang menyiratkan sejumlah pesan lingkungan; “Stop Nuklir, No Nuke No More Chernobyl, Revolusi Energi Sekarang, Kami Dukung Energi Bersih, Energi Nuklir=Energi Berbahaya, Bumi Pertiwi Zona Bebas Nuklir”. Di bagian tengah persis di depan Tugu patung kedua tokoh Proklamator telah berdiri baliho besar menjadi latar dari rangkaian kegiatan kala itu. Persis di depan baliho, berdiri tenda dan pajangan gambar-kalender yang mengisahkan ancaman bahaya nuklir. Seruan bahaya nuklir juga terpajang di dinding tenda dan sejumlah spanduk besar.

Sementara disaat akan dimulainya kegiatan, para tamu dan undangan berangsur datang memadati kawasan Tugu Proklamasi hingga “ritual” aksi yang diinisiasi oleh Greenpeace yang dihadiri sejumlah perwakilan masyarakat dari tujuh provinsi, kalangan NGOs (Walhi, Masyarakat Anti-NUklir Indonesia/Manusia, perwakilan lembaga lainnya) dan sejumlah wartawan media yang ada di jantung Ibu Kota negara. Satu persatu perwakilan masyarakat dari tujuh provinsi menyampaikan keprihatinannya dalam bentuk orasi mengkritisi niat pemerintah mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di daerahnya masing-masing. Adapun ketujuh perwakilan masyarakat tersebut diantaranya berasal dari Kalbar, Kaltim, Bangka Belitung, Jawa Timur-Madura, Jateng-Jepara, Banten, Gorontalo menyatakan penolakannya terhadap kebijakan pemerintah yang mengagendakan wacana membangun PLTN. ”Pembangunan PLTN di Kalimantan Barat hendaknya tidak dipaksakan oleh pemerintah, namun mengantisipasi kemungkinan bahaya dari resiko penggunaan energi nuklir penting diperhitungkan sejak dari sekarang untuk kepentingan masyarakat luas. Energi listrik memang dibutuhkan, namun energi yang justeru rawan dan berpotensi mengancam masa depan harus dihentikan. Masih banyak sumber energi lainnya yang harusnya bisa digunakan,” jelas perwakilan dari Kalimantan Barat. Nada yang tidak jauh berbeda juga disampaikan perwakilan dari provinsi lainnya.

"NU Jepara telah mengeluarkan fatwa haram terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, tetapi sampai sekarang pemerintah dan pendukungnya masih terus melakukan berbagai aktivitas terkait rencana pembangunan tenaga nuklir di Jepara," urai Said Sumedi dari Perhimpunan Masyarakat Balong (PMB) Jepara.

Pada saat bersamaan gita karya Iwan Fals bertajuk Proyek 13 yang menyiratkan pesan penolakan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) menggema diiringin aksi teatrikal yang diperankan tiga orang mengenakan pakaian masing-masing berwarna merah, hitam dan putih. Satu orang diantaranya mengenakan kapak layaknya “malaikat” pencabut nyawa. Teatrikal ini mengisahkan ancaman bahaya nuklir (PLTN) terhadap kehidupan yang siap mencabut nyawa kapan saja. Akhir dari teatrikal, ”sang pencabut nyawa” ditaklukkan dengan dibalut kain putih. Begitulah suguhan “drama” aksi damai bersama yang menginginkan agar pemerintah tidak merealisasikan proyek yang dianggap berbahaya dan memiliki potensi ancaman dasyat itu. Pemerintah diharapkan tidak memaksakan pembangunan yang dinilai cenderung ambisius dan hanya berorientasi kepentingan sesaat.

Arif Fiyanto, juru kampanye energi dan iklim Greenpeace Indonesia menyatakan pihaknya pada hari tersebut mendeklarasikan penolakan terhadap rencana pembangunan PLTN di seluruh Indonesia . "Menurut kami, rencana pembangunan PLTN adalah cermin dari sesat pikir pemerintah dalam memecahkan masalah energi di Indonesia . PLTN dianggap solusi untuk memecahkan masalah energi di Indonesia , padahal begitu banyak sumber energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Jadi dari pada membangun PLTN, pemerintah seharusnya fokus mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan di negeri ini," jelas Arif.

PLTN, Proyek Ambisius.

Bersamaan dengan aksi ini, Greenpeace juga meluncurkan kalander “365 alasan penolakan kekuatan nuklir” yang memuat sejumlah fakta soal bahaya nuklir bagi kehidupan yang melanda sejumlah tempat di dunia. Selanjutnya, kegiatan dilakukan dengan menyelenggarakan diskusi terbuka bertema “PLTN, Mitos dan Realitas” bertempat di Tugu Proklamasi yang dihadiri sejumlah narasumber diantaranya; A. Sonny Keraf (Mantan Menteri LH dan penulis buku Etika Lingkungan), Kahar Al Bahri (aktivis Jatam Kaltim), DR. Iwan Kurniawan (Pakar Nuklir) dan Hendro Sangkoyo (Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik). Sony Keraf dalam pemaparannya menyatakan Indonesia masih belum untuk menjalankan teknologi PLTN. Menurutnya, PLTN merupakan proyek yang cenderung ambisius.

“Bahwa soal krisis energi listrik memang tidak bisa dibantah, dan memang betul ada realitas kelangkaan. Namun bagi yang mendukung PLTN seakan hal tersebut menjadi jawaban atas krisis energi listrik yang dialami, masih banyak alternatif energi lain. Saya tidak meragukan penguasaan nuklir oleh anak bangsa ini, namun ketidakmampuan dalam hal safety cultur teknologi sangat lemah” jelas Sony Keraf.

Dikatakan Sony Keraf, teknologi PLTN belum siap kita jalankan di Indonesia . Ia juga mengkritisi upaya sosialisasi soal PLTN yang dilakukan bila cenderung hanya menyampaikan sisi positifnya semata agar dapat diterima masyarakat. “Salah besar bila sosialisasi PLTN dilakukan untuk menggiring masyarakat meneirma PLTN. PLTN, proyek yang cenderung ambisius,” jelasnya.

Senada dengan Sony Keraf, juga disampaikan pakar nuklir Indonesia , DR Iwan Kurniawan. Ia mengatakan PLTN di negeri ini masih tidak bisa dipaksakan, namun demikian mempelajari soal energi Iptek soal nuklir itu tidak masalah. "PLTN bagi Indonesi masih berat. Tidak ada teknologi yang 100 persen sempurna terhadap radiasi. Elemen radio isotop dari radiasi sangat berbahaya. PLTN sangat berbahaya dan teknologi ini tidak mungkin dianggap main-main. PLTN bukan alih teknologi, namun berorientasi proyek," ungkap Iwan Kurniawan, doktor nuklir yang pernah mengenyam pendidikan di negeri Sakura ini. ”Kita belum tentu menerima energi, namun radiasinya sudah pasti,” sambung Hendro Sangkoyo, kepala Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik.

Menolak PLTN

Usai berdialektika dalam sebuah forum diskusi, kegiatan selanjutnya diteruskan dengan pertemuan bersama yang sekaligus sebagai pertemuan nasional masyarakat antinuklir Indonesia , dilangsungkan bertempat di Kantor Greenpeace sekitar kawasan Jakarta Selatan. Pertemuan ini melahirkan forum bersama Koalisi Anti-Nuklir yang merupakan pertemuan sharing informasi dan perumusan agenda bersama guna menyikapi berbagai problem dan kemungkinan dampak dari PLTN yang akan diterima masyarakat. Bagi forum ini, PLTN bukanlah alternatif solusi yang tepat untuk mengatasi krisis energi yang dialami, karena dampak buruk energi nuklir diyakini jauh lebih dasyat dari pada sekedar sebagai pengganti energi. Masih banyak sumber energi yang dapat dijajaki dari pada sekedar memaksakan energi nuklir (PLTN) seperti sumber dari air, panas bumi, matahari, angin dan lainnya.

Kekhawatiran multipihak (kalangan masyarakat anti nuklir) terhadap potensi dan bahaya nuklir agaknya tidak berlebihan bila melihat berbagai kejadian bencana yang terjadi. Kejadian tanggal 26 April 1986 yang dikenal dengan bencana Chernobyl di Urkania yang mengakibatkan sedikitnya sebanyak tujuh (7) juta orang harus menderita setiap hari menjalani dampak dari bencana ini. Selanjutnya bencana nuklir di Mayak, Rusia 29 September 1957 yang menyebabkan 272 ribu orang terkena radiasi tingkat tinggi. Akibatnya banyak orang yang menderita penyakit kronis, hipertensi, masalah jantung, arthritis dan asma. Setiap detik orang dewasa menderita kemandulan, 1 dari 3 bayi yang baru lahir menderita cacat, dan 1 dari 10 anak lahir secara prematur serta jumlah orang yang menderita kanker meningkat pesat. Kejadian lainnya di Seversk (dulu Tomsk-7) di Siberia pada 6 April 1993 yang menunjukkan dampak gejala serupa berupa kelainan darah dan kerusakan genetik. Hal yang sama pernah terjadi di Semipalatinsk, Astana pada tahun 1949 hingga tahun 1962. Akibatnya, hampir setengah dari populasi menderita disfungsi sistem syaraf motorik. Di Jepang, juga pernah terjadi ketika kota Herosima dan Nagasaki diserang tentara sekutu Amerika dengan Bom Atom yang menggunakan energi nuklir. Serta di Three Mile Island Amerika pada 1979 yang juga memakan banyak korban.

Gelombang penolakan terhadap energi nuklir mengalir di berbagai penjuru nusantara. Pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah misalnya sejak awal di tolak oleh berbagai lapisan masyarakat seperti; Walhi, Greenpeace, Yayasan Pelangi Jakarta, Gerakan Anti Nuklir (Geton) Salatiga, BEM Jateng, Sampak GusUran, LBH ATMA Pati, Koaliasi Rakyat Tolak Nuklir (Kraton), Persatuan Masyarakat Balong (PMB), Kelompok Petani Nelayan Andalan (KTNA) Jepara, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jepara, Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kudus dan Jepara, serta Lakpesdam NU. Bahkan di tahun 2007, NU Jepara mengeluarkan fatwa haram soal PLTN.

Di Madura, Jawa Timur elemen masyarakat sipil juga menyampaikan penolakan keras terhadap rencana pendirian PLTN di Madura dan Bangkalan khususnya, seperti di Kecamatan Socah, Kamal, dan Labang. Tahun 2009 lalu organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU) didaerah setempat juga telah mengeluarkan fatwa bahwa pembangunan PLTN di Madura adalah haram. Di Kalimantan Barat penolakan PLTN pernah di gelorakan Front Mahasiswa Kalbar terdiri dari PMKRI, IMKB dan GMNI pada April 2008 yang menilai rencana pembangunan melalui kebijakan tersebut tidak populis. Dalam pernyataan Gubernur Kalbar di media lokal pernah menyatakan bahwa Kabupaten Landak dan Melawi dapat dijadikan lokasi pendirian PLTN. Kalbar menurut Gubernur memenuhi syarat untuk dibangun PLTN, karena salah satu wilayah yang mempunyai uranium, yakni di Kabupaten Melawi. Pemda Kalbar sendiri telah mengajukan usulan pembangunan PLTN kepada Dewan Energi Nasional.

Gelombang penolakan juga terjadi di Bangka Belitung, Banten dan Gorontalo. Berbagai lembaga masyarakat sipil lainnya seperti Walhi, Kiara, Jatam, Manusia, IESR, SHI, Satu Dunia, CSF yang juga menggelorakan penolakan rancana pembangunan PLTN di Indonesia.

Bagi masyarakat sipil yang menolak, nuklir bukanlah pilihan guna menjawab kebutuhan listrik di Indonesia. Pernyataan yang dikeluarkan otoritas nuklir dengan menyatakan bahwa energi nuklir adalah energi paling aman dan murah kepada publik, perlu dikritisi lebih lanjut. Masyarakat atau publik tidak diberikan informasi secara detil tentang dampak serta resiko-resiko yang harus mereka hadapi ketika ada pencemaran dan kecelakaan nuklir terjadi. Kondisi ini menuntut peran maksimal pemerintah untuk menggali sumber-sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan dan tidak memiliki risiko besar di Indonesia. Pemerintah diharapkan juga dapat meningkatkan dan mengidentifikasi sumber potensi sumber energi terbarukan dapat dikembangkan. Pengembangan energi alternatif saatnya mengedepankan energi bersih dan masa depan kehidupan serta lingkungan yang berkelanjutan, tanpa harus memaksakan proyek PLTN yang berbahaya.

*) Aktifis Walhi Kalimantan Barat

Ancaman Pembukaan Hutan Gambut untuk Perkebunan Sawit

Pembangunan hakekatnya merupakan upaya sadar dan terencana yang diarahkan dengan tujuan ’mulia” yakni meningkatkan kapasitas dan kualitas tatanan kehidupan sosial yang lebih baik dengan sasaran akhirnya untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Wilayah yang memiliki potensi untuk memberikan kesejahteraan tersebut meliputi segala kekayaan yang ada diperut bumi ini, yakni berupa hutan-tanah-air-beserta isinya. Namun demikian, sadarkah kita kalau ”rayuan” kesejahteraan atas nama pembangunan itu seringkali malah jauh dari harapan? Kebijakan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur (sawit) boleh menjadi bukti betapa kebijakan pembangunan disektor ini telah memberikan sejumlah dampak yang tidak menguntungkan bagi masa depan lingkungan, maupun terhadap kondisi sosial dan budaya masyarakat kita yang sebagian besar mengandalkan hidup dan kehidupannya dari hasil sumber daya alam selama ini.

Atas nama pembangunan, hutan-tanah-air sebagai sumber hidup dan kehidupan diambang kehancuran. Hutan sebagai ”apotik dan supermarket” masyarakat selama ini secara pasti hilang, karena pembukaan kawasan hutan skala besar tanpa menyisakan sebatang pohon pun seperti perkebunan sawit sama artinya dengan menghilangkan fungsi hutan. Kebijakan perluasan perkebunan sawit melalui program pembangunan dalam kenyataannya lebih mengedepankan aspek keuntungan ekonomi semata, sementara aspek sosial, adat-budaya dan ekologi yang harusnya mendapatkan tempat teratas yang turut menjadi pertimbangan justeru seringkali ”diabaikan”. Akibatnya, cita-cita pembangunan itu malah kandas dan menyisakan masalah bagi warga. Bila demikian, pantaskah kebijakan dengan ”rayuan” kesejahteraan tersebut dikatakan sebagai sebuah pembangunan bila hasilnya bukan malah memberikan kemakmuran, tetapi malah merugikan masyarakat dan lingkungannya yang harusnya dilindungi oleh Negara (Pemerintah)?

Dengan demikian, upaya menumbuhkan kesadaran rakyat dengan memahami sejumlah dampak sebagai akibat dari kebijakan perluasan perkebunan monokultur yang juga sekaligus sebagai potensi ancaman bagi kehidupan sosial dan ekologi menjadi penting. Ketika rakyat kian kritis berjuang secara sadar dan berdaulat atas sumber daya alam, maka sesungguhnya negara berhasil ”mencerdaskan” warganya. Sebaliknya, bila warganya hanya menjadi penonton dan bukan tuan serta hanya bersifat acuh (tidak peduli) terhadap kebijakan pembangunan (tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi) pengelolaan sumber daya alam misalnya, maka patut dipertanyakan serta dapat menjadi sebuah refleksi bahwa sesungguhnya negara (pemerintah) gagal “mencerdaskan” warganya. Sedikitnya ada sejumlah persoalan yang MENJADI potensi ANCAMAN (Tulah) yang dihadapi terkait dengan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur diantaranya; 1) Tanah masyarakat diambil perusahaan, 2) Konflik terjadi di masyarakat, 3) Kriminalisasi terhadap masyarakat, 4) Budaya di masyarakat hilang, 5) Krisis pangan di kampung, 6) Hutan menjadi hilang, 7) Binatang dihutan Musnah, 8) Tumbuhan obat-obatan di hutan hilang, 9) Terjadi bencana banjir, 10) Terjadi bencana kekeringan, 11) Terjadi bencana asap, 12) Terjadi krisis air bersih, 13) Tanam tumbuh dan Tembawang masyarakat menjadi lenyap, 14) Sungai-sungai menjadi rusak, 15) Penyumbang emisi karbondioksida diatmosfir, 16, Penyumbang terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, dan 17) Lahan Gambut Rusak.

Komitmen Pemerintah untuk melakukan ”moratorium” dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan seiring dengan upaya mengurangi dampak dari pemanasan global yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim sejatinya baik adanya. Karena dalam dalam tataran realita dilapangan akumulasi emisi akibat aktifitas manusia telah memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para nelayan. Namun demikian, dengan lahirnya Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2009 yang memberikan ruang untuk pemanfaatan Lahan Gambut untuk dapat di konversi Budidaya Perkebunan Sawit. Padahal sebagaimana diketahui kawasan Gambut merupakan areal penting yang perlu diselamatkan. Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi (emisi).

Ekosistem lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air, juga sebagai kawasan sumber flora dan fauna (sumber daya alam hayati). Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 ini jelas menjadi ancaman bagi ekosistem gambut dan masa depan bumi. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut juga telah diatur dalam Keppres Nomor 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Lahan gambut Kalbar seluas 1,72 juta Ha perlu diselamatkan dari kebijakan yang hanya mengutamakan keuntungan ekonomi semata, karena kita tidak punya cadangan bumi baru. Peran serta semua pihak menjadi urgen untuk melakukan antisipasi bersama dengan menekan laju dampak perubahan iklim yang telah mempengaruhi iklim kehidupan ekonomi, sosial, budaya, adat istiadat masyarakat. [div riset dan kampanye]

S E R U A N PANITIA BERSAMA PERINGATAN HARI LINGKUNGAN HIDUP 2010 ”PERAMPASAN TANAH MENYEBABKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DI KALIMANTAN BARAT ”

(FRONT MAHASISWA NASIONAL, GMNI, PMKRI, GMKI, GEMPA, HIBER, MATA UMP, UP-LINK, ENGANG GADING, MEPA, IPNU PONTIANAK, WALHI KALBAR LEMBAGA ANGGOTANYA (GEMAWAN, LBBT, ID, PPSHK, RIAK BUMI, PPSDAK-PK, YKSPK), AMAN-KalBar, LANTING BORNEO)

“Selamatkan Hak-hak Rakyat, agar Terciptanya Dunia Baru”

Tanah dan Kekayaan Alam menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat adat/lokal, petani, nelayan, dan masyarakat pekerja pedesaan lainnya. Sebab tanah dan kekayaan alam merupakan podasi dari keberadaan masyarakat itu sendiri. Misalnya di dalam Masyarakat Adat, Tanah dan Kekayaan Alam merupakan sarana untuk mendapatkan kebutuhan baik material maupun spiritual dalam melangsungkan hidup dan kehidupannya. Karya seni dan kebudayaan yang berkembang di dalam masyarakat adat merupakan gambaran hubungan antara manusia dengan Tanah dan Kekayaan Alam.

Petaka yang mengencam keberadaan kaum tani/masyarakat adat serta masyarakat pekerja lainya di desa Wilayah Kalimantan saat ini. Dimana, diakibatkan sejak penetrasi modal (investasi) masuk semakin dalam ke wilayah Kalimantan dengan melakukan eksploitasi kekayaan alam yang dimiliki. Hutan perawaan dihancurkan tanpa mempedulikan fungsi hutan yang menjadi penyeimbang bagi kehidupan melalui konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH/IUPHHK). Kandungan di dalam perut bumi yang kaya akan bahan tambang dikeruk melaui konsesi Kontrak Karya Pertambangan (KKP). Dan, untuk melanggengkan tanah-tanah kaum tani/masyarakat adat sebagai tanah jajahannya dengan mengambil alih tanah-tanah tersebut untuk dijadikan Perkebuan Kelapa Sawit melalui konsesi Hak Guna Usaha (HGU).

Praktek ini terlihat jelas dari luasnya perkebunan sawit 4,145 Juta , jumlah perusahaan kehutanan pemegang ijin IUPHHK-HA yang masih aktif sebanyak 18 (delapanbelas) unit dan 5 (lima) unit berstatus tidak aktif. IUPHHK/IUPHHK-HA dengan luas konsesi 1.125.785 Ha yang berada di Kabupaten Kubu Raya, Ketapang, Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu (draft Statistik Kehutanan Kalimantan Barat, 2008). Sementara itu pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Provinsi Kalimantan Barat sebanyak 9 (Sembilan ) perusahaan, dengan luas konsesi 781.415,17 Ha , dan tambah lagi 280 ijin kuasa pertambangan dengan luasan 1 juta hektar . Kesemua hal tersebut dilakukan dengan mengabaikan keberadaan masyarakat adat yang sudah turun temurun menguasai, menjaga, memanfaatkan dan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari tanah dan sumber daya alamnya.
Hancurnya hutan akibat penebangan dan hancurnya tanah akibat pertambangan serta berubahnya tanaman rakyat yang heterogen mejadi tananaman homogon (monokultur) berupa perkebunan sawit merupakan realitas yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Penyingkiran masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pekerja desa lainya dari realitas obyektifnya tersebut telah menyebabkan mereka kehilangan penopang bangunan sistem masyarakatnya yakni tanah dan alam dengan segala isinya. Alam dan segala isinya yang secara turun temurun penguasaan dan pengelolaan dilakukan secara komunal oleh masyarakat adat/lokal telah berpindah tangan dan terkonsentrasi (terpusat) pada segelintir orang pengusaha (dalam maupun luar negeri).

Oleh karna itu maka sebagai masyarakat yang merasa prihatin terhadap kondisi lingkungan yang tergabung dalam Panitia Bersama Hari Lingkungan Hidup 2010 menyatakan sebagai berikut :
• Hentikan perampasan tanah Rakyat
• Hentikan Penghancuran kekayaan alam Rakyat
• Hentikan penghancuran hutan
• Hentikan perluasan perkebunan sawit
• Usut tuntas kekerasan, teror dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, dan kaum pekerja lainnya
• Usir perusahaan yang merampas tanah dan menghisap kekayaan alam Rakyat
• Menolak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat lingkungan dan rakyat.
• Menolak sistem yang menghisap, menindas dan merusak tanah dan kekayaan alam rakyat
• Hentikan pemaksaan, penekanan, dan adu domba terhadap kaum tani/masyarakat adat yang mempertahan kan tanah dan kekayaan alam.


PONTIANAK, JUNI 2010

Panitia Bersama Peringatan Hari Lingkungan Hidup 2010

http://beritasore.com/2007/06/13/pemberian-izin-perkebunan-sawit-di-kalbar-capai-4145-juta-hektar/
Rekomendasi Transparansi Dalam Pengusahaan Hutan Bagi Iuphhk-Ha/Ht Menuju Pengelolaan Hutan Lestari Di Provinsi Kalimantan Barat, oleh EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT Project , pontianak february 2010
Data walhi-kalbar

STOP Rusak Lingkungan!

Upaya perusakan linkungan melalui kebijakan investasi skala besar menjadi keprihatinan. Pulau Kalimantan yang dikenal sebagai “Paru-paru Dunia” terancam keberadaannya, sehingga seruan untuk mencintai Bumi terus digelorakan.

Hal ini yang dilakukan oleh segenap elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Panitia Bersama Peringatan Hari Lingkungan Hidup pada tanggal 5 Juni lalu melalui aksi simpatiknya yang di pusatkan di Bundaran Untan Pontianak. Disamping melakukan orasi dan pembagian selebaran, puluhan aktifis lingkungan tersebut juga melakukan aksi teatrikal dengan membawa sejumlah poster dan dua buah globe buatan menggambarkan bumi yang kian rusak karena ulah manusia. Massa aksi juga melakukan “pemagaran” bundaran Untan dengan pesan-pesan himbauan seperti; “2020 Kalbar Tenggelam, Usir Perusak Lingkungan, 80% Tanah Kalbar Milik Pengusaha dan Di Cari Bumi Baru”.

Berbagai elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Panitia Bersama Peringatan Hari Lingkungan 5 Juni ini terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat bersama anggotanya (Gemawan, LBBT, ID, PPSHK, Riak Bumi, PPSDAK-PK, YKSPK), Front Mahasiswa Nasional, GMNI, PMKRI, GMKI, GEMPA, HIBER, MATA UMP, UP-LINK, ENGANG GADING, MEPA, IPNU PONTIANAK, AMAN-KalBar dan Lanting Borneo.
Sejumlah seruan yang disampaikan Panitia Bersama Hari Lingkungan Hidup 2010 menyatakan sebagai berikut; 1) Hentikan perampasan tanah Rakyat, 2) Hentikan Penghancuran kekayaan alam Rakyat, 3) Hentikan penghancuran hutan, 4) Hentikan perluasan perkebunan sawit, 5) Usut tuntas kekerasan, teror dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, dan kaum pekerja lainnya, 6) Usir perusahaan yang merampas tanah dan menghisap kekayaan alam Rakyat, 7) Menolak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat lingkungan dan rakyat, 8) Menolak sistem yang menghisap, menindas dan merusak tanah dan kekayaan alam rakyat dan 9) Hentikan pemaksaan, penekanan, dan adu domba terhadap kaum tani/masyarakat adat yang mempertahan kan tanah dan kekayaan alam.

Berbagai kegiatan yang telah dirumuskan akan segera di helat dalam rangka Peringatan Hari LH dengan tema ”Perampasan Tanah Menyebabkan Kerusakan Lingkungan Hidup Di Kalimantan Barat ” diantaranya; melakukan aksi Aksi Simpatik 5 Juni 2010 di Bundaran Untan, Seminar ”Deforestasi Akibat Peralihan untuk Perkebunan Skala Besar” tanggal 12 Juni 2010 oleh FMN, Kegiatan Aku Peduli digelar oleh HIBER pada Juni 2010, Seminar "Perempuan dan Lingkungan" oleh Walhi Kalbar Juni 2010, dan akan menggelar Panggung Budaya dan Malam Amal untuk Lingkungan pada Juli 2010 melalui kepanitiaan bersama.

Rangkaian kegiatan sebagaimana dilakukan merupakan bentuk respon berbagai elemen masyarakat sipil atas keprihatinannya terhadap kondisi lingkungan yang kian mengelami degradasi. Berdasarkan data Walhi Kalimantan Barat terkait dengan kebijakan investasi yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan hidup didominasi oleh bidang pembukaan perkebunan monokultur skala besar dan pemberian izin kuasa pertambangan yang saat ini mencapai 1 juta hektar dari luasan izin pertambangan sebanyak 280. sedangkan untuk perkebunan monokultur menguasai sebesar 5 juta hektar dari 15 Groups Perusahaan besar yang ada di Kalbar. Catatan Walhi di Kalbar telah terjadi 200 konflik terkait dengan lahan, pelanggaran HAM, konversi hutan dan gambut. Sedangkan di Indonesia berdasarkan catatan Sawit Watch hingga 2010 terjadi 630 konflik terkait perkebunan sawit. Berbagai bencana dan konflik tersebut terakumulasi menjadi kerawanan terhadap kondisi ekologis. Dalam kurun 13 tahun terakhir, misalnya Walhi mencatat telah terjadi 6.632 bencana terkait ekologi. Deforestasi Hutan, Hilangnya Kehati, Bencana Asap, Banjir, Krisis Air Bersih, Perampasan Tanah dan Kriminalisasi terhadap Masyarakat mendominasi dari ribuan kasus bencana tersebut.

Akomodir Kepentingan Rakyat untuk Lingkungan Lestari

Senin, 9 Agustus 2010 lalu bertemat di Sekretariat Walhi Kalbar dalam sebuah forum Jumpa Pers, perwakilan warga Seruat dan Mengkalang Guntung yang tergabung dalam Sarikat Tani Kubu Raya (STKR) menyatakan sikap meminta pemerintah terkait untuk mencabut izin usaha dan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sintang Raya yang dinilai telah menimbulkan konflik di masyarakat sekitar konsesi dan perusahaan dinilai telah melakukan penyerobotan areal pertanian serta lahan perkebunan milik warga.

Perusahaan juga menggarap hutan yang menjadi kawasan penyangga di Seruat. Lahan perusahaan dianggap telah tumpang tindih. Perusahaan yang bergerak dalam bidang pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit ini juga dianggap tidak memiliki dokumen AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) saat beroperasinya perusahaan tersebut sejak pertengahan tahun 2006. Selanjutnya dalam catatan warga Seruat, perusahaan ini juga telah menggarap kawasan berlahan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter. Warga meminta AMDAL yang dikeluarkan beberapa tahun setelah perusahaan melakukan sejumlah aktifitas untuk dikaji ulang. Warga meminta pihak Perusahaan dan Pemerintah bertanggungjawab atas bencana banjir di Seruat dan sekitarnya. Serta meminta agar upaya propokasi terhadap warga agar menyerahkan tanah kepada pihak perusahaan dihentikan!

Sejumlah point dari fenomena di masyarakat yang menjadi landasan keberatan warga tersebut adalah “dosa perusahaan” yang penting untuk dipertimbangkan oleh pemerintah daerah (Kubu Raya) dan sejumlah pihak terkait untuk melakukan langkah strategis menyikapi kasus PT. Sintang Raya yang memperoleh izin seluas 20.000 Ha sejak tahun 2004 itu dalam upaya mengakomodir kepentingan rakyat untuk lingkungan lestari.

Besarnya potensi konflik terkait pembukaan kawasan hutan dan wilayah kelola rakyat untuk kepentingan perkebunan monokultur tidak dapat terbantahkan ketika selama ini yang seringkali ditemui dalam prakteknya bahwa prinsip FPIC (Free, Prior, Informed and Concent) sering kali diabaikan. Prinsip FPIC merupakan sebuah sebuah instrument untuk mengakomodatif kepentingan warga dengan memberikan informasi secara utuh tentang dampak keberadaan sebuah proyek pembangunan dan kemudian memberikan ruang kebebasan bagi warga untuk menentukan pilihan pembangunan dengan sadar terkait dengan sikap menerima dan atau menolak! Dalam hal ini, pihak masyarakat mestinya menjadi penentu dari setiap kebijakan pembangunan yang akan dilakukan di daerahnya, dan masyarakatlah yang sungguh-sungguh memahami kebutuhan di daerahnya.

Orientasi untuk mengembangkan aspek ekonomi semata seringkali menjadi alasan priotitas diterimanya korporasi untuk membuka kawasan hutan, sementara aspek sosial-budaya-adat dan kepentingan untuk ekologi seakan tidak menjadi pertimbangan mendasar yang sangat penting dipertimbangkan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya sejumlah “dosa perusahaan” terkait dengan syarat sejumlah dokumen administrasi yang tidak dipenuhi. Dalam hal ini sebagaimana amanat Permentan Nomor 26 Tahun 2007 mengenai Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan pasal 15 poin (i) yang mensyaratkan perlu adanya hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Sisi lain dari kebijakan pemerintah yang kontradiktif dengan semangat “moratorium” untuk penyelamatan lingkungan yang didengungkan selama ini adalah ketika hadirnya Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budi Daya Kelapa Sawit. Kebijakan ini justeru memberikan celah bagi korporasi untuk dapat semakin leluasa menambah peliksnya persoalan lingkungan.

Betapa tidak? Komitmen Pemerintah untuk melakukan ”moratorium” dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan seiring dengan upaya mengurangi dampak dari pemanasan global yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim sejatinya baik adanya. Karena dalam dalam tataran realita dilapangan akumulasi emisi akibat aktifitas manusia telah memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para nelayan. Namun demikian, dengan lahirnya Permentan Nomor 14 Tahun 2009 yang memberikan ruang untuk pemanfaatan Lahan Gambut untuk dapat di konversi Budidaya Perkebunan Sawit, membuktikan bahwa keberpihakan pemangku kebijakan masih perlu dipertanyakan dalam semangat penyelamatan lingkungan. Padahal sebagaimana diketahui kawasan Gambut merupakan areal penting yang perlu diselamatkan. Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi (emisi).

Ekosistem lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air, juga sebagai kawasan sumber flora dan fauna (sumber daya alam hayati). Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 ini jelas menjadi ancaman bagi ekosistem (gambut khususnya) dan masa depan bumi umumnya. Apalagi batasan kedalaman gambut yang digarap oleh korporasi tersebut melebihi angka yang telah ditentukan dan secara otomatis bertentangan dengan konstitusi.

Apa yang disampaikan warga tentunya tidak berlebihan, terlebih dengan fenomena dan dampak dari kondisi buruknya lingkungan yang telah dipetik hasilnya melalui bencana banjir di Seruat dan sekitarnya. Kejadian ini kemudian memberikan sejumlah dampak seperti gagal panen yang dialami petani. Pemerintah Kubu Raya selayaknya mengakomodir kepentingan warganya. Upaya ”adu domba” yang selama ini dialami warga harus segera di hentikan. Jangan ada lagi perampasan tanah dan konflik oleh karena hadirnya kebijakan pembangunan perkebunan monokultur dengan dalih kesejahteraan. Pemerintah yang mengklaim diri pro terhadap rakyat mutlak melakukan langkah kongkrit melalui kebijakan yang tidak melukai hati rakyat. Bagaimanapun warga Seruat dan sekitarnya yang menjadi korban atas kebijakan Pembangunan harus mendapatkan perhatian yang sama dengan warga negeri lainnya, karena bila lingkungan rusak sudah pasti masa depan akan suram!!! Selayaknya Pemerintah Mengakomodir Kepentingan Rakyat yang menjadi korban pembangunan untuk kepentingan Lingkungan yang lestari.

Senin, 23 Agustus 2010

Jangan Tipu Masyarakat!

Pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat agaknya susah dikatakan steril dari persoalan. Potensi ancaman kondisi sosial dan ekologi menjadi konsekuensi logis yang terjadi. Dimana ada pembukaan perkebunan sawit, di situ ada masalah. Realita ini telah menjadi rahasia umum yang harusnya dapat menjadi pelajaran berharga bagi multi pihak untuk dapat mengkaji lebih jauh soal peluang kebijakan lainnya terkait pemberdayaan masyarakat yang lebih menjanjikan dan memberikan perlindungan atas hak-hak masyarakat terhadap lingkungan. Pemerintah kiranya tidak mendasarkan aspek kepentingan ekonomi semanta dengan dalih untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat, sementara aspek sosial, budaya, adat istiadat dan aspek ekologi yang berkelanjutan tidak diperhitungkan.

Gambaran persoalan terkait dengan pembukaan perkebunan monokultur ini misalnya terjadi di Desa Amang, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak. Hadirnya PT. Pratama Prosentindo dan PT. Putra Indotropical yang bergerak dalam bidang perkebunan sawit di daerah ini tidak hanya telah menghilangkan hutan yang dimiliki masyarakat karena telah di buka untuk perkebunan sawit, namun juga telah melakukan pembukaan kawasan hutan diluar kawasan izin yang diperuntukan. Bahkan saat ini telah menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya di kawasan yang diluar izin tersebut.

Berdasarkan laporan masyarakat yang di sampaikan oleh Eddy Son (penerima kuasa masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat) dan hasil penelusuran Walhi Kalimantan Barat di lapangan, bahwa pembukaan perkebunan di daerah tersebut juga telah memberikan konsekuensi terhadap terancamnya kondisi Sungai Menyuke yang menjadi sumber air andalan masyarakat di hilir sungai yang kini tampak keruh. Juga membuka perkebunan di kawasan yang tidak jauh dengan bantaran sungai.

Penyerahaan lahan yang belakangan diketahui ternyata berada di luar izin, karena masyarakat diberi informasi yang keliru. Masyarakat merasa di tipu oleh informasi yang di sampaikan pihak perusahaan kalau kawasan tersebut berada masuk dalam kawasan izin perusahaan, sehingga kemudian masyarakat menyerahkan lahan.

Persoalan lainnya, di kawasan di luar izin tersebut masih menyisakan persoalan dimana masih adanya tanah warga yang di Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) oleh pihak Perusahaan PT. Pratama Protenindo yang mendapat izin sejak tahun 2005. Penyerobotan lahan masyarakat terjadi. Adapun wilayah konsesi PT. Pratama Prosentindo meliputi empat Dusun di Desa Amang yakni Dusun Amang, Meramun, Bangsal Baru dan Sei Tuba.

Tertanggal 22 Januari 2008 berdasarkan SK Bupati Landak di Amang masuk PT. Putra Indotropical, satu group dengan PT. Pratama Prosentindo yakni milik Wilmar Group yang ternyata arealnya masuk dalam kawasan tanah yang diluar kawasan izin. Akhir tahun 2009, bersamaan dengan hadirnya PT. Daya Sumber Makmur (Group Jarum) yang lokasinya berada di PT. Pratama Prosentindo di divisi I dan II yang kini ditanami sawit. Dengan hadirnya PT. DSM inilah, yang kemudian baru diketahui kalau perusahan bekerja di luar izin. Dengan demikian, telah terjadi tumpang tindih kawasan untuk perkebunan yang seharusnya tidak terjadi. Pemerintah daerah setempat adalah pihak yang turut terkait dengan persoalan tumpang tindih kawasan ini. Pemda dinilai melanggar hukum dengan menerbitkan izin baru per 22 Januari 2010 bagi PT. PI sedangkan lahan tersebut sudah dikerjakan Per Juni 2006.

Dalam kasus ini, masyarakat merasa di bodohi dan merasa di tipu oleh pihak perusahaan. Masyarakat saat itu mau menyerahkan lahan untuk digarap lahannya karena mendapat informasi bahwa daerah yang kini baru diketahui berada diluar izin tersebut dulunya dianggap sesuai dengan SK Bupati Landak.

Di Desa Amang dan sekitarnya untuk saat ini setidaknya terdapat empat perusahaan perkebunan sawit yakni PT. Kapuas Rimba Sejahtera (KRS), PT. Daya Sumber Makmur (Group Jarum), PT. Putra Indotropical dan PT. Pratama Prosentindo.

Pemerintah daerah dan pihak legislatif dan pihak terkait lainnya hendaknya melakukan langkah-langkah kongkrit untuk memproteksi terjadinya perampasan hak-hak masyarakat, karena saat ini juga sedikitnya terdapat lebih dari 600 hektar lahan masyarakat yang belum di GRTT oleh pihak perusahaan. Pemerintah daerah Landak juga kiranya menghentikan pemberian izin dan perluasan perkebunan monokultur di daerah ini, maksimalkan yang ada dan selesaikan masalah yang dihadapi masyarakat. Pihak perusahaan hendaknya tidak melakukan pembodohan bagi warga. Hentikan pembodohan dan jangan tipu masyarakat!

Jumat, 20 Agustus 2010

Cerita Perih dari Kalbar; Ada Illegal Logging di kawasan Perbatasan

Kebijakan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan kelapa sawit di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang telah melahirkan konsekuensi logis yang destruktif bagi warga disekitarnya. Perusahaan (PT. Ledo Lestari) yang masuk tanpa permisi (tidak pernah melakukan sosialisasi) kepada warga alih-alih ingin mensejahterakan, namun malah membuat masalah dengan terus membabat hutan adat yang diakui warga secara turun temurun. Anak perusahaan PT. Duta Palma Nusantara Group ini malah membabat hutan adat dan hutan produksi melalui pembakaran (land cleaning) yang didalamnya terdapat tembawang, tanam tumbuh, kuburan tua, sumber air bersih dihancurkan, situs keramat dan berbagai jenis tanaman lainnya. Bukan hanya itu, perusahaan yang telah habis masa izinnya sejak tahun Desember 2007 ini malah menggunakan tangan aparat (tentara Lintas Batas/Libas) untuk menjaga usahanya yang membuahkan rasa trauma bagi warga.

Sebaliknya, pihak pemerintah daerah setempat (Bupati Bengkayang dan jajarannya) yang seharusnya menjadi pihak yang dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi warganya di Semunying Jaya, justeru tidak ada taring. Pengukuhan yang dilakukanoleh Bupati Bengkayang atas hutan adat pada tanggal 15 Desember 2009 hanyalah acara seremonial belaka. Lihat saja, pasca pengukuhan sejak saat itu hingga sekarang belum ada langkah maju yang lebih baik untuk memberikan penyelesaian rasa keadilan kepada warga dalam menyelesaikan problem yang mereka hadapi. Pengakuan secara legalitas melalui Keputusan Bupati yang diharapkan warga atas tanah adat menghadapi jalan buntu! Sementara pihak PT. Ledo Lestari terus menerus melakukan pembabatan dikawasan hutan sekitar perkampungan warga setempat. Disatu sisi, tentara Libas di kawasan tersebut justeru memberikan rasa kurangaman bagi masyarakat.

Salah satu persoalan yang terjadi di daerah kawasan perbatasan ini adalah terjadinya praktek ILLEGAL LOGGING (disamping perampasan tanah warga untuk perkebunan skala besar). Aktifitas ini malah melibatkan oknum TNI yang mengaku sebagai "Tentara Kebun". Praktek seperti ini pernah dilaporkan warga Semunying Jaya kepada multi pihak termasuk pimpinan aparat keamanan di Ibu Kota Negara sejak Februari 2010 silam, namun hingga kini masih belum ada tindak lanjut. Adapun modus ILLEGAL LOGGING ini dilakukan dengan cara menebang kayu di hutan adat warga yang selanjutnya menjual (membawa) kayu tersebut ke Malaysia dan di daerah Sambas.

Pengirimannya melalui jalur darat di kawasan Perbatasan Indonesia-Malaysia. Kayu ILLOG tersebut juga digunakan untuk pembangunan Camp PT. Ledo Lestari. Dampak lain dari kegiatan ini adalah rusaknya kawasan hutan, hilangnya kayu tegakan disekitar kawasan dan dengan "pencurian" kayu tersebut juga turut mengurangi potensi sumber daya alam masyarakat. Salah satu oknum aparat TNI yang dianggap terlibat adalah Alang Abdulah Semangi dari satuan 642 berpangkat kopral.

Pembukaan hutan kawasan sepanjang perbatasan di daerah kabupaten Bengkayang dan sekitarnya pada awalnya merupakan bekas wilayah konsesinya PT. Yayasan Maju Kerja/Yamaker Kalbar Jaya yang beroperasi sekitar tahun 1980 hingga tahun 1990an. Perusahaan ini merupakan sebuah perusahaan konsesi penebangan kayu dibawah kepemilikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Setelah YAMAKER diteruskan oleh perusahaan milik negara yakni Perum Perhutani yang beroperasi antara tahun 1998 hingga 2000 yang turut memperparah kerusakan pada tanah dan kawasan hutan ulayat masyarakat adat setempat. Selanjutnya tahun 2001 diteruskan oleh PT. Lundu, sebuah perusahaan pengergajian (saw mill) asal Malaysia yang melakukan penebangan hutan secara illegal di wilayah kawasan perbatasan Indonesia. Sejak tahun 2002 PT. Agung MultiPerkasa (AMP), sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit mendapatkan izin usaha mengambil alih pengelolaan kawasan tersebut. PT. AMP melakukan eksploitasi atas hutan adat masyarakat dan malah menebang kayu secara illegal di hutan adat, sementara hasilnya dijual melintasi perbatasan ke Malaysia yang juga dilakukan secara illegal. Akibat ulah yang hanya mengambil keuntungan sepihak tersebut, maka izin perusahan diberhentikan oleh pemerintah daerah setempat. Izin awal untuk membangun perkebunan sawit seluas 20.000 hektar selanjutnya dialihkan kepada PT. Ledo Lestari, sebuah anak perusahaan dari Duta Palma Nusantara Group yang mendapat izin sejak tahun 2004 dan baru mulai beroperasi pada Maret 2005. PT. Ledo Lestari dalam proses operasionalnya mengantongi izin dari Pemda Bengkayang seluas 20.000 ha. Selanjutnya, ijin usaha perkebunan berdasarkan surat Bupati Bengkayang bernomor No.525/1270/HB/2004 baru diterbitkan tertanggal 17 Desember2004, yang kemudian ditetapkan melalui keputusan Bupati Bengkayang No.13/IL-BPN/BKY/2004 tertanggal 20 Desember 2004 tentang pemberian izin lokasi untuk perkebunan sawit kepada pihak PT . Ledo Lestari seluas 20.000 ha. Sejak 20 Desember 2007, masa izin PT. Ledo Lestari dinyatakan telah berakhir oleh Pemda Bengkayang. Namun demikian, perusahaan ini tetap melakukan operasi hingga saat ini.
Dalam kaitannya dengan kasus ILLOG yang masih terjadi di kawasan perbatasan, tidak terlepas dari peran serta pihak keamanan. Tentu sangat dilematis. Hadirnya pihak keamanan melakukan penjagaan di kawasan perbatasan harusnya dapat meminimalisir tindak kejahatan kehutanan (penyelundupan), namun kenyataannya tidak demikiandan bahkan ada oknum yang turut terlibat.

Kondisi masyarakat Semunying Jaya yang berjuangdengan sadar untuk mempertahankan haknya atas tanah dan lingkungan sekitarnya harus dihadapkan dengan kondisi yang sulit. Kebijakan dan niat baik penguasa untuk menyelesaikan persoalan yang dialami warga Semunying Jaya masih dalam angan. Multi pihak yang berkompeten harus turut andil dalam menyelesaikan kasus ini. Warga Desa Semunying Jaya ingin tetap berdaulat di tanahnya. Sebagaimana masyarakat kampung pada umumnya (khususnya Dayak), warga Semunying Jaya yang sebagian besar Suku Iban menjadikan hutan-tanah-air sebagai "apotik" dan "supermarket" untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya. Kehidupan warga di pedalaman Kalbar umumnya tidak dapat terpisahkan dari hutan.

Catatan untuk Pedi Natasuwarna dan RTRW Kalbar 2011-2030

By. Hendrikus Adam*

NASKAH ini hanya sebuah uraian sederhana dan sebagai respon atas pendapat multi pihak, khususnya mengenai ide brilian Bapak Pedi Natasuwarna yang tersurat dalam artikel dengan tajuk "Rencana Tata Ruang Kalbar 2011-2030" di kolom Opini koran di daerah ini(Pontianak Post, 20/07/2010). Dalam beberapa waktu lalu sebagaimana diketahui, beliau yang juga mantan ketua Bappeda Kalbar dalam artikelnya menyebutkan bahwa RTRWP Kalbar di tetapkan berdasarkan Perda Nomor 1 tahun 1995, dan karenanya dengan demikian RTRWP Kalbar yang pertama pun berakhir ditahun 2010. Hal ini didasarkan pada masa pelaksanaan RTRWP yang ditentukan selama 15 tahun. Dikatakanpula bahwa selama periode 1995-2010, tidak ada revisi terhadap RTRWP Kalbar, karena tidak ada kebijakan yang berubah.

Hanya sedikit ingin meluruskan agar tidak terjadi penyimpangan informasi (bila keliru silahkan luruskan) dan barangkali beliau lupa, bahwa Perda dimaksud telah dinyatakan tidak berlaku sejak di undangkannya Perda nomor 5 tahun 2004 tentang RTRWP Kalbar tertanggal 1 Juli 2004. Hal ini ditegaskan dengan jelas dalam pasal 66 yang menyatakan; ”Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Nomor 1 Tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat dinyatakan tidak berlaku”. Selanjutnya dalam pasal 68 Perda nomor 5 tahun 2004 ini juga ditegaskan bahwa jangka waktu RTRWP adalah 15 (lima belas) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. Dalam limit waktu periode 1995-2010, jelaslah bahwa adanya perubahan kebijakan khususnya dengan terbitnya Perda Nomor 5 tahun 2004 sebagai produk hukum mengenai Penataan Ruang di propinsi ini.

Dalam hal sebagaimana pasal 66 Perda nomor 5 tahun 2004, maka jelaslah bahwa Perda Nomor 1 tahun 1995 yang dimaksud mantan ketua Bappeda Kalbar tersebut sudah usang karena dianggap tidak berlaku lagi. Selanjutnya bila melihat pasal 68 Perda Nomor 5 tahun 2004 yang menjelaskan soal masa berlakunya RTRWP (Kalbar), maka tulisan Pedi Natasuwarna yang menyatakan ”Oleh karena Perda tersebut berlaku selama 15 tahun, maka sudah berakhir pula berlakunya RTRWP Kalbar yang pertama” tentu saja masih perlu dikritisi sekalipun faktanya saat ini pihak eksekutif dan legislatif sedang mengagendakan pembahasan mengenai RTRWP Kalbar.

Pernyataan soal limit waktu sebagaimana yang ditegaskan itu tentu saja masih merujuk pada Perda Nomor 1 tahun 1995 yang usang itu. Namun bila mengkaji dari Perda Nomor 5 tahun 2004 pasal 68, jangka waktu RTRWP (Kalbar) harusnya dihitung sejak diundangkannya per 1 Juli 2004. Dalam keterangan lebih lanjut soal pasal ini tidak ada penjelasan rinci yang dapat menganulir (membantah) kalau pasal dimaksud tidak jelas.

Pertanyaannya kemudian adalah, bila penghitungan waktu 15 tahun sebagaimana dimaksudkan merujuk Perda Nomor 5 Tahun 2004 (artinya baru akan berakhir 2019), apakah upaya pembahasaan RTRWP oleh para legislatif dan eksekutif Kalbar hari ini relevan dan memenuhi amanat ketentuan yang berlaku? Bila tidak sejalan dengan amanat Perda Nomor 5 Tahun 2004, apakah kemudian inisiatif perumusan RTRWP Kalbar yang baru sungguh-sungguh berangkat dari sebuah kebutuhan prinsif yang sungguh untuk kepentingan bersama? Haruskan mengabaikan rambu-rambu? Saya rasa, catatan ini kiranya penting, sebelum melangkah lebih jauh bicara soal RTRW Provinsi Kalimantan Barat.

Hakikat Penataan Ruang
Merujuk UU Nomor 26 Tahun 207 tentang Penataan Ruang, dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Selanjutnya dalam ayat 2 (dua) pasal yang sama disebutkan pengertian Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam hal penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan (pasal 6 ayat 4). Sedangkan ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 6 ayat 5).

Besarnya lingkup luas suatu kawasan memang perlu dilakukan desain sedemikian rupa dalam bentuk penataan secara terencana dan terarah dengan tetap mengacu pada prinsif, asas dan tujuan yang mendasarinya. Adapun asas-asas dimaksud dalam konteks penataan ruang sebagaimana digariskan pasal 2 dalam UU Nomor 26 tahun 2007 mengenai Penataan Ruang didasarkan pada; keterpaduan, keserasian-keselarasan-keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan atau keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan-kemitraan, pelindungan kepentingan umum, kepastian hukum-keadilan, dan akuntabilitas. Sedangkan penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional (pasal 3).

Beberapa sasaran yang diharapkan dari tujuan penataan ruang sebagaimana dimaksud diarahkan untuk; terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, dan terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Berkaca dari asas dan tujuan dari prinsip dimaksud, maka pengelolaan penataan ruang yang telah dilakukan oleh pemerintah di daerah ini perlu dikaji secara bersama. Sudahkan memenuhi harapan sebagaimana diamanatkan untuk kemakmuran rakyat? Dalam hal ini, pemerintah dan pemerintah daerah yang mendapat kewenangan penyelenggaraan penataan ruang dari negara perlu mengkaji kembali dan memaparkan kepada publik atas capaian hasil dari penataan ruang yang telah dilakukan selama ini.

Penyelenggaraan penataan ruang yang semestinya diarahkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat menegaskan bahwasanya keberpihakan kebijakan tersebut (RTRWP) dalam tataran konsep maupun implementasinya diabdikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Ini berarti bahwa wewenang pengaturan, pembinaan, dan pengawasan oleh pemerintah dalam penataan ruang harus disertai dengan komitmen yang sungguh-sungguh melalui pelaksanaannya.

Demikian halnya soal komitmen pelaksanaan penataan ruang wilayah yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. Meskipun pelaksanaan penataan ruang (penataan, pemanfaatan dan pengendalian) menjadi wewenang pemerintah daerah provinsi, namun kajian atas sejumlah persoalan dan dinamika sosial sebagai dampak dari kebijakan penataan ruang yang tidak taat asas perlu menjadi bahasan serius agar produk kebijakan untuk kemakmuran tersebut sungguh-sungguh memenuhi rasa keadilan dan pro rakyat.

Mitos Kemakmuran dan Orientasi Ekonomi
Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang memberikan gambaran jelas soal keberpihakan dari upaya penataan ruang oleh Pemerintah dan Pemerintah daerah. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Prinsip pelaksanaan penataan ruang dengan mengacu pada asas dan tujuannya adalah rambu-rambu yang juga menjadi ”angin segar” karena detidaknya menyiratkan nilai-nilai; keberlanjutan, akuntabilitas dan keterbukaan. Sedangkan tujuan dari penataan ruang diarahkan untuk mencapai suatu kondisi yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Singkat kata, asas dan tujuan yang digariskan sebenarnya diamanahkan untuk menjamin diperolehnya kemakmuran atas penataan ruang oleh negara melalui pemerintah dan pemerintah daerah. Namun demikian, tentunya masih terlalu dini untuk menyatakan pelaksanaan penataan ruang selama ini berhasil. Karena faktanya wilayah daerah Kalimantan Barat dalam aspek pengelolaan sumber daya alam kian memprihatinkan seiring dengan kebijakan pembangunan yang diprogramkan. Degradasi dan deforestasi di sektor kehutanan kian menjadi akhir-akhir ini, yang pada akhirnya membatasi ruang kelola bagi rakyat untuk pertanian. Sebagaimana digariskan dalam UU Penataan Ruang, aspek lingkungan yang berkelanjutan hendaknya menjadi perhatian yang tidak bisa diabaikan.

Pelaksanaan program pembangunan di Kalimantan Barat khususnya, kebijakan lain sejalan dengan Perda Nomor 5 Tahun 2004 Pemerintah Daerah setidaknya juga dengan hadirnya Perda Nomor 8 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kalbar 2008-2013 yang merupakan bagian dari penjabaran visi, misi dan program Gubernur. RPJMD ini dimaksud merupakan pedoman bagi SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dalam menyusun Renstra – SKPD, sebagai pedoman bagi pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun RPJMD Kabupaten/Kota, dan pedoman bagi pemerintah provinsi dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah. Dengan demikian, evaluasi atas pelaksanaan kebijakan Penataan Ruang selama beberapa tahun berjalan dapat menjadi bahan rekomendasi bagi pelaksanaan RPJMD yang ada hingga pada tingkatan SKPD di Pemerintah Kabupaten/Kota di Propinsi ini. Disamping itu, hasil kajian dimaksud juga dapat menjadi refleksi atas RTRWP Kalbar yang sedang menggelinding di meja Para Legislatif dan Eksekutif Kalbar saat ini.

Terjadinya penyimpangan sebagaimana di jelaskan Pedi Natasuwarna terkait dengan pembalakan liar dikawasan konservasi, penebangan hutan bakau pada wilayah pesisir, maraknya PETI disepanjang daerah aliran sungai, maupun pemberian izin investasi perkebunan dalam skala besar jelaslah memberi konsekuensi destruktif atas kondisi lingkungan yang merupakan. Pemberian izin investasi perkebunan monokultur skala besar yang tanpa menyisakan sebatang pohonpun misalnya, sama artinya dengan menghilangkan fungsi hutan. Sedangkan bagi masyarakat lokal Kalbar umumnya, hutan menjadi ”apotik” dan ”supermarket” yang sangat menentukan dalam roda perekonomian yang masih mengandalkan aset SDA sebagai penyambung kelangsungan hidup. Kian terbukanya ruang pembabatan atas suatu kawasan khususnya gambut begitu kentara dengan hadirnya kebijakan yang membolehkan hutan gambut untuk dikonversi menjadi lokasi perkebunan kelapa sawit (Permentan Nomor: 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budi Daya Kelapa Sawit).

Kebijakan pembangunan yang berorientasi kepentingan ekonomi semata sebagai prioritas, dalam realitasnya cenderung mengabaikan hak kelola dan kontrol warga atas lingkungannya. Sementara aspek sosial, adat dan budaya masyarakat serta kualitas ekologi seringkali diabaikan khususnya melalui kegiatan korporasi yang memang berorientasi mencapai keuntungan sebesarnya itu. Sementara pertanggungjawaban sosial korporasi (CSR) selama ini hanyalah ”angin surga” yang selalu dihembuskan guna meluluhkan hati masyarakat, namun hasilnya cenderung asal-asalan dan tidak maksimal. Tidak sedikit warga tempat dibangunnya koorporasi justeru merasa hak-hak mereka tidak pernah diakomodir. Bahkan CSR dilakukan ketika telah di desak oleh warga dengan caranya. Dalam beberapa kasus, program CSR yang dilakukan seringkali diklaim sebagai ”kebaikan murni” perusahaan semata yang seakan meminta masyarakat untuk tidak perlu khawatir dengan keberadaannya mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki. Padahal CSR dimaksud merupakan kewajiban yang memang harus dilakukan oleh korporasi bila melakukan kegiatan dimanapun. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, tentu saja mendesak untuk dilakukan pemerintah di daerah ini.

Terkait dengan program resettlement (pemukiman kembali) yang merupakan salah program pembangunan yang dilaksanakan oleh Depsos (Departemen Sosial) memang memiliki sejumlah sisi baik. Tujuan resettlement melakukan pembinaan bagi masyarakat yang dinilai oleh pemerintah masih tertinggal karena budaya yang dimiliki serta letak geografis yang terpencil menyebabkan mereka nyaris tidak memiliki akses dengan modernisasi di dunia luar (Depsos, 1996). Namun demikian, dampak negatif atas eksistensi budaya dan sistem nilai-nilai luruh yang dimiliki juga pada akhirnya terancam dan bahkan hilang. Dampak sosial lainnya adalah terbentuknya tembok bagi warga dalam mengakses sumber daya hutan. Di Kalbar program ini pernah di galakkan, khususnya di Kapuas Hulu namun hasilnya juga tidak maksimal. Cerita lain dari ekses program resettlement terekam dalam sebuah hasil riset (Elfitra Baikoeni, 2008) pada komunitas masyarakat Mentawai, yang memberikan gambaran bahwa memang disatu sisi (dengan adanya resettlement) masyarakat (Mentawai) menggali kemajuan terutama kalau dilihat dari kebersihan lingkungan, pendidikan dan peningkatan pelayanan kesehatan. Akan tetapi adat dan budaya mereka juga mengalami kegoncangan (anomalie), padahal budaya merupakan modal bagi mereka untuk mengadaptasikan diri terhadap lingkungan untuk bisa survive.

Bagi komunitas masyarakat di Kalimantan Barat khususnya di daerah kawasan sekitar hutan (pedalaman), kebiasaan hidup dengan mengandalkan sumber daya hutan untuk kelangsungan hidup memang tidak dapat dibantah. Masyarakat di pedalaman seringkali memanfaatkan aset sumber daya alam dengan keanekaragaman hayatinya secara terkendali. Di Daerah pedalaman umumnya dihuni oleh masyarakat Dayak yang juga memiliki cara tersendiri menjaga dan melestarikan hutan. Di Kalimantan (Barat) warga masyarakat Dayak memiliki keyakinan bahwa: “Tanah adalah Hidup dan Nafas Kami” (Dr. Karel Phil Erari, 1999).

Mereka yang lebih banyak mengandalkan hidup dari sumber daya hutan merupakan komunitas masyarakat yang memiliki sistem dan nilai-nilai adat serta memiliki tujuh prinsip pengelolaan SDA yang meliputi; 1) berkesinambungan, 2) keragaman, 3) subsistem (untuk kebutuhan sendiri), 4) kebersamaan, 5) tunduk pada hukum adat, 6) tidak mengenal zat kimia, dan 7) selalu ditandai ritual (Majalah KR, hal 27 edisi 53/Januari 2000). Namun demikian, pernyataan Pedi Natasuwarna yang menyatakan berladang berpindah menjadi tradisi masyarakat pedalaman sebagai cara bercocok tanam yang PRIMITIF agaknya terlalu pesimis. Pandangan ini cenderung berkonotasi negatif bagi keberadaan masyarakat pedalaman tanpa melihat sisi positif lainnya.

”Rekomendasi” Pedi Natasuwarna yang ”memberi” ruang bagi investasi namun menapikkan keberlanjutan masyarakat pedalaman mengelola sumber daya alam dengan cara berladang dan bahkan meminta untuk diubah dengan pertanian secara menetap (bersawah, peserta plasma) agaknya tidak begitu bijak.

Betapa tidak, karena sesungguhnya justeru dengan memberi ruang investasi skala besar, kebijakan ini dengan otomatis membatasi akses masyarakat pedalaman terhadap sumber daya hutan, sungai menjadi rusak, hutan hilang. Bekas lokasi ladang bagi masyarakat pedalaman adalah investasi, karena pada umumnya kemudian ditanami tumbuhan produktif seperti karet dan sejenisnya. Dengan cara berladang maupun berburu, masyarakat pedalaman denagn mudah mengenal wilayahnya dan bahkan melakukan kontrol atas kemungkinan perusakan hutan oleh pihak lain. Justeru Kebijakan pemerintah yang berorientasi ekonomi dengan rayuan kesejahteraan dengan mendatangkan korporasi skala besar melalui perkebunan justeru semakin membatasi akses dan kontrol rakyat atas SDA. Terlebih bila pemerintah propinsi mengusulkan perubahan pola ruang dalam revisi tata ruang soal substansi kehutanan dari total luas kawasan hutan sekitar 9,2 juta hektar (62 persen) tersebut menjadi sekitar 7,5 juta hektar (50 persen) dari total luas wilayah.

Skenario untuk meningkatkan perekonomian kurang tepat. Adanya skenario dengan meningkatkan sektor perkebunan berdampak pada perekonomian Kalbar yang meningkat hingga 8%, namun berbalik dengan kondisi lingkungan. Akibatnya sektor lingkungan mengalami penurunan hingga 12-15%. Tentu saja pertumbuhan dari sektor ekonomi tidak ada artinya sama sekali jika lingkungan menjadi parah (Pontianak Post, 20/7/2010).

Dalam upaya perubahan atas RTRWP di daerah ini, maka aspek kepentingan masyarakat yang mengandalkan keberlangsungan hidup pada potensi sumber daya alam dan ekologi yang berkeberlanjutan hendaknya menjadi prioritas. Penataan ruang wilayah Kalbar dengan fokus perhatian meliputi aspek kawasan hutan lestari, kawasan daerah aliran sungai dan kawasan rawan bencana menjadi penting. Termasuk bagaimana upaya proteksi pemerintah untuk melindungi warganya dari potensi bahaya radiasi atas dampak energi nuklir yang sedang ditimang-timang akan di bangun di Kalimantan Barat. Bencana nuklir Chernobyl tahun 1986 silam yang menewaskan jutaan nyawa tak bedosa, kiranya cukup menjadi pelajaran atas rencana kebijakan yang berbahaya ini.

Akhirnya, kesalahan atas kebijakan RTRWP masa lalu harus dikaji secara kritis. Pelanggaran atas penataan ruang oleh multipihak dan bahkan oleh pejabat yang berwenang memiliki konsekuensi hukum yang penting diketahui bersama. Kebijakan atas penataan ruang perlu didasari niat baik semua pihak agar hasilnya dapat lebih maksimal.

*) Penulis, Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar.

Catatan:
Pernah di muat dalam harian Metro Pontianak tanggal 10-11 Agustus 2010