Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Di Semunying Jaya (Momonus-Jamaludin) Kabupaten sejak beberapa tahun silam dua orang warga dipenjara karena berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan sumber daya alamnya yang digusur tanpa permisi oleh perusahaan sawit (PT. Ledo Lestari).
Selanjutnya juga terjadi penahanan tiga warga Keruap Pelaik di Kabupaten Melawi atas persoalan yang tidka jauh berbeda. Di Ketapang, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) yang berjuang mempertahankan tanahnya atas konsesi sebuah perusahaan Sawit (PT. BNM) adalah deretan persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Terlebih upaya yang terjadi dan dialami masyarakat adat seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga.
Pihak perusahaan yang mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam melakukan usahanya membuka kasawan hutan untuk perkebunan sawit seringkali menggunakan jargon untuk mensejahterakan rakyat. Warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang sebuah investasi yang akan dibangun dalam suatu daerah. Sedikitnya ada empat mitos yang seringkali dilakukan untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat walaupun dalam kenyataannya dilapangan lebih banyak masuk karena “dipaksakan”.
Keempat hal tersebut adalah; mengenai akan membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat. Keempat dalih pembangunan investasi ini seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain. Keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila kita telaah lebih kritis. Karena pada kenyataannya sesungguhnya, warga kita di daerah pedalaman sana tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan.
Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menorah karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup. Sebaliknya, justeru sesungguhnya pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir. Dalih ini juga terlalu mengada-ada. Yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya. Seakan-akan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan.
Jadi seharusnya tidak ada sistem barter. Rakyat di daerah memang membutuhkan perbaikan jalan, silahkan dibangun oleh Negara (pemerintah). Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga. Demikian halnya juga dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Faktanya saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil. Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki. Demikian juga dalih kesejahteraan. Siapa yang berani menjamin, bila perkebunan masuk dalam suatu wilayah maka warga setempat akan sejahtera?
Kasus yang menimpa dua orang ibu rumah tangga di kampung Sanjan Emberas di Kabupaten Sanggau beberapa waktu lalu yang dikriminalisasi adalah sebuah realita dimana keterbatasan akses terhadap tanah karena telah dikuasai oleh perusahaan. Hanya karena mengambil ”sisa” brondolan sawit yang tidak lagi terpakai, sampai-sampai pihak managemen perusahaan perkebunan sawit memprosesnya hingga ke jalur hukum positif. Pada hal seharusnya bisa diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan. Kondisi ini mengambarkan betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit.
Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) dengan perlindungan sejumlah oknum ”aparat” seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya. Di kampung Sejirak, Kecamatan Ketungau Hilir beberapa waktu lalu, kriminalisasi dialami oleh sebanyak 15 orang warga (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten.
Bila memang harus melapor, maka sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. Atau bahkan dihentikan proses hukum ini! Pihak pelapor juga hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini. Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ”nekad” tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti. Pihak eksekutif juga harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga Sejirak yang dilaporkan oleh pihak PT. Finnantara Intiga (saat ini dimiliki Sinar Mas Groups dan Inhutani III).
Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor. Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Negara melalui pemerintah hendaknya memberikan ruang bagi rakyat untuk melakukan pengelolaan terhadap alat produksinya. Jangan paksakan mereka dengan gaya pembangunan yang justeru mengancam keberadaan ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat.
[Hendrikus Adam, Walhi Kalimantan Barat]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar