Oleh Hendrikus Adam*
Keberadaan masyarakat di daerah pedalaman khususnya Masyarakat Adat (MA) adalah bagian dari warga di republik ini yang memiliki hak yang sama untuk diperlakukan sebagaimana mestinya secara beradab. Hal ini didasarkan pada pemahaman universal yang harusnya mengakar dalam pemahaman yang sama bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai makhluk ciptaanNya. Sehingga dengan demikian selayaknya dihargai.
Keberadaan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari segala potensi sumber daya alam yang ada di perut bumi adalah sebuah realitas dari kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Bagi masyarakat Dayak khususnya, berbagai aspek kehidupan seperti hutan; tanah dan air merupakan tiga komponen sumber hidup dan kehidupan yang sangat vital sebagaI penunjang keberlangsungan hidup. Hutan, tanah dan air merupakan ”apotik” dan ”supermarket” bagi masyarakat adat. Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antar satu sama lain.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan iklim investasi atas nama pembangunan dengan dalih kesejahteraan dalam berbagai bidang kehidupan yang disertai dengan ”nafsu serakah” dari segelintir oknum tertentu saja, kekayaan sumber daya alam disekitar lingkungan tempat tinggal yang merupakan wilayah kelola masyarakat adat kini terancam. Masyarakat adat ”dipaksa” dan terpisah dari sumber hidup dan kehidupanya (hutan-tanah-air). Aset sumber daya alam rakyat berangsur-angsur mengalami kepunahan.
Masuknya investasi perkebunan skala besar dalam bentuk apapun (perkebunan sawit, HTI dan lainnya) diwilayah kelola masyarakat adat yang sejak belasan bahkan puluhan tahun silam dan hingga kini, marak dilakukan sebagai buah dari kebijakan penguasa karena telah memberikan perizinan tanpa memberikan informasi yang utuh bagi masyarakat akhirnya melahirkan sejumlah konsekuensi logis. Juga bahkan berakhir tragis dan memprihatinkan. Pasti dapat dibayangkan ketika akses sumber daya alam di wilayah kelola warga dikuras untuk kepentingan pemodal, maka yang terjadi masyarakat setempat kehilangan sumber hidup dan kehidupannya. Hutan, tanah dan air yang awalnya utuh harus berubah menjadi hamparan tanaman yang sesungguhnya tidak biasa dengan kondisi masyarakat lokal. Bahkan sumber air menjadi rusak dan tanah tidak lagi menjadi hak milik karena ”diambil” para spekulan yang mengaku menanamkan investasi. Celakanya, masyarakat adat yang kemudian sadar melakukan perlawanan menolak masuknya investasi namun disadari akan mengancam keberadaan wilayah kelola mereka seringkali dianggap sebagai pihak yang kolot, bodoh dan tidak tahu diuntung. Bahkan dianggap menolak pembangunan. Adalah benar bahwa masyarakat adat menolak pembangunan yakni pembangunan yang menindas dan mengancam kehidupan dan masa depan mereka.
Sejumlah istilah-istilah yang kemudian berpotensi ”membodohi” seringkali digunakan untuk menjebak dan membuat warga sebagai pemilik lahan kelola terbuai dan bahkan tidak berdaya, seringkali disuguhkan seperti; lahan tidur, tanah negara, orang gajian, karyawan, kantor, upah dan istilah lainnnya. Istilah-istilah ini harusnya disadari oleh warga kita saat ini. Terasa sangat aneh misalnya ketika ada pihak lain yang seakan ”risih” dan kemudian mengatakan bahwa lahan kelola disekitar masyarakat dianggap sebagai ”lahan tidur” dan juga seringkali mengklaim bahwa tanah yang dipertahankan rakyat adalah tanah negara. Tanah memang organ vital sebagai sumber produksi penting bagi kelangsungan hidup warga. Namun demikian, harusnya tidak perlu ada”oknum para spekulan” yang merasa risih ketika hutan-tanah-air yang ada disekitar perkampungan masyarakat tetap alami dan apa adanya disaat masyarakat setempat masih mengandalkan sumber kehidupan dengan cara yang dilakukan selama ini seperti menoreh, bertani, berburu dan lainnya. Karena tanah yang dianggap ”lahan tidur” itu juga pada akhirnya akan dikelola oleh karena keluarga mereka akan terus bertambah dari waktu kewaktu. Sikap menjaga hutan-tanah-air dengan tidak menghabiskan/menghabiskan segala potensi sumber daya alam yang ada seperti ini harusnya diapresiasi oleh berbagai pihak (termasuk penguasa) sebagai bentuk dari kebijakan dan ketidakserakahan masyarakat adat, namun tetap berorientasi pada masa depan.
Demikian pula dengan istilah-istilah seperti; orang gajian, karyawan, kantor, upah dan istilah lainnnya yang harus diakui sebagai bagian dari ”jurus” para spekulan untuk membuai rakyat pemilik lahan kelola, namun seringkali tidak pernah disadari. Dengan sebutan dari istilah seperti ini seringkali membuat warga merasa sebagai orang yang memiliki ”kelas sosial” yang tinggi, sekalipun hasil keringat yang diterima masih jauh dari harapan. Namun demikian, perlu disadari bahwa apapun istilah yang digunakan dalam dunia investasi skala besar yang menyertakan sekelompok orang menjadi tenaga kerja bahwa posisi mereka sesungguhnya adalah sebagai buruh. Tentu kondisi ini sangat berbeda dengan keberadaan seseorang atau sejumlah orang-orang yang berpropesi sebagai petani karet yang juga biasanya melakukan aktifitas berladang, mereka bukan hanya sebagai pemilik namun juga sebagai tuan atas usahanya sendiri. Ini berarti bahwa setiap orang yang bekerja sebagai petani karet tidak perlu merasa rendah diri, sebaliknya tetap banggalah dengan predikat ini.
Atas berbagai dinamika dan sejumlah motif yang dilakukan para spekulan, rakyat dituntut untuk mawas diri dan berhati-hati. Dengan demikian layak kiranya kita ragukan niat baiknya bila ada para spekulan maupun pihak asing yang merasa ”risih” dengan hutan-tanah-air yang dimiliki masyarakat adat saat ini. Sebuah refleksi berikut kiranya pantas menjadi catatan penting: Salahkah bila kondisi HUTAN yang ada disekitar lingkungan masyarakat adat tetap utuh?; Salahkah bila TANAH yang ada tetap dimiliki oleh rakyat tanpa harus diserahkan pada para spekulan?; Salahkah bila kondisi AIR (sungai dan berbagai sumber air) yang ada tetap bening dengan kesejukan alaminya? Tentu, ketiga sumber hidup dan kehidupan ini diharapkan tetap menjadi kebanggaan kita bukan? Dan hanya orang serakah yang akan menyangkal dan mengatakan tidak setuju dengan sejumlah pertanyaan refleksi tersebut.
Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Kasus Penangkapan dua warga Semunying Jaya (Momonus-Jamaludin) tahun 2006 silam di Bengkayang, penahanan tiga warga Keruap Pelaik di Melawi, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) di Ketapang yang berjuang mempertahankan tanahnya adalah sejumlah persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa peran negara masih sangat rapuh dalam melindungi hak-hak warganya. Demikian halnya dengan kriminalisasi terhadap dua orang ibu rumah tangga di Sanggau yang mengambil ”sisa” brondolan sawit yang tidak lagi terpakai adalah sisi lain dari sebuah realitas yang terjadi akhir-akhir ini, betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit. Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) dengan perlindungan sejumlah oknum ”aparat” seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya.
Di Sintang, kriminalisasi oleh pihak pemodal (PT. Finnantara Intiga yang saat ini dimiliki Sinar Mas Groups dan Inhutani III) juga dialami 15 orang warga Sejirak (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten. Bila memang harus melapor, maka sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. Atau bahkan dihentikan proses hukum ini! Pihak pelapor juga hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini.
Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ”nekad” tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti. Pihak eksekutif juga harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga.
Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor. Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Masyarakat Adat selayaknya dihargai sebagai bagian dari anak negeri yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Jangan ada perlakuan yang tidak adil bagi rakyat. Upaya untuk menghentikan kriminalisasi terhadap warga negeri ini hendaknya massif dilakukan ketika negara dianggap tidak lagi menjadi pelindung bagi rakyat. Perjuangan harus dimulai dengan kesadaran bahwa ketika rakyat bersatu, tak bisa di kalahkan!
*) Aktifis di lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat
Sabtu, 11 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar