Pontianak, 20 Desember 2010. Luas perkebunan di Indonesia saat ini 9, 1 juta ha dan target yang mau di wujudkan oleh pemerintah melalui deptan hingga tahun 2020 adalah 15 juta ha dengan target produksi Crude Palm Oil hingga 40 juta Ton CPO/ tahun. Dengan luasan perkebunan saat ini, Indonesia memproduksi 21 juta ton CPO dan sekitar 17 % di antaranya adalah diperuntukkan export.
Posisi Indonesia saat ini adalah Negara produsen CPO nomor satu dan setelahnya adalah Malaysia. Dan karena itu Indonesia melalui pemerintah departemen pertanian terus melakukan kampanye putih terkait dengan perusahaan kebun yang beroperasi di Indonesia yang di tuduh melanggar Hak Asasi Manusia dan merusak hutan hingga penyebab pemanasan Global.
Dari apa yang di lakukan oleh pemerintah tersebut adalah bagian dari strategi global untuk pemenuhan target produksi untuk kepentingan pasar. Pemerintah sangat resisten melawan pihak-pihak civil society yang menyebutkan perusahaan kebun Indonesia banyak melanggar HAM. Sifat reaktif pemerintah kami menilai sangat “naïf” karena tidak di ikuti dengan praktek pembenahan baik kebijakan pemerintah maupun proses pengawasan dan pelayanan cepat penyelesaian pengaduan kasus masyarakat.
Di samping kami menyoroti soal kebijakan pemerintah sebagai momok awal munculnya pelanggaran HAM dan terkait dengan soal prilaku aparatur elit juga di tambah dengan prilaku perusahaan kebun yang dalam prakteknya jauh dari penghormatan terhadap HAM. Beberapa hal terkait dengan operasi perusahaan yang terkait dengan praktek pelanggaran HAM adalah :
1. Dalam hal operasi pembangunan perkebunan skala besar atau dalam hal perolehan tanah untuk pembangunan kebun skala besar yang di lakukan dengan cara paksa atau cara gusur yang di ikuti dengan praktek kriminalisasi. Masyarakat adat terus mendapatkan dampak buruh dalam situasi ini.
2. Pembangunan perkebunan yang berada di luar skema kontrak yang berdasarkan persetujuan masyarakat. Perusahaan kebun dalam kontek ini mengabaikan hak-hak petani kelapa sawit dan buruh kebun.
a. Beberapa realitas yang ada adalah, perusahaan kebun mengambil skema yang lebih menguntungkan perusahaan kebun dengan mengubah pola skema kemitraan dari proses persetujuan awal dengan petani.
b. Praktek pabrik yang tidak menghormati asas tanggungjawab dan keterbukaan kepada petani mitra baik itu dilakukan dengan penggelapan hasil produksi dengan sortasi buah yang melebihi ambang batas dan menentukan harga Tandan Buah Segar yang di tentukan secara sepihak.
c. Petani kelapa sawit yang selalu di rugikan oleh praktek buruk perusahaan kebun dengan pembangunan kebun setengah hati bagi petani plasma, konversi kebun yang tidak tepat waktu. Hal ini akibat dari praktek penggelapan kredit milik petani kelapa sawit.
d. Buruh kebun yang statusnya dalam kontrak dan nasib tak jelas menjadi bagian dari pelanggaran perusahaan kebun bagi komunitas. Penghormatan pekerja dan hak asasi hidupnya di lakukan dengan status kontrak yang bisa di bilang sebagai pengabaian terhadap hak hidup.
3. Beberapa masalah ini di dukung dengan tata pemerintahan yang buruk di mana proses pengawasan yang lemah serta proses melahirkan kebijakan politik perkebunan yang selalu di bumbui dengan isu korupsi di dalam perkebunan dan selalu bersifat politik.
SPKS mencatat; selama tahun 2010 sekitar 129 petani yang di kriminalisasi seluruh Indonesia dan sebanyak 20 korban jiwa di antaranya berada di 5 kabupaten di Kalimantan barat, yakni ketapang sebanyak 2 orang dengan perusahaan sinas mas, kabupaten singkawang sebanyak 10 orang dengan perusahaan patiware, kabupaten sintang sebanyak 6 orang dengan perusahaan sintang raya, dan di kabupaten sanggau sebanyak 1 orang dengan perusahaan borneo ketapang permai kabupaten Kapuas hulu sebanyak 1 orang dengan perusahaan sinar mas.
Terkait dengan hal ini kami mendesak kepada pemerintah untuk;
1. Menggunakan prinsip FPIC (persetujuan bebas masyarakat tanpa paksa) dalam pembangunan kebun untuk menghindari pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam pembangunan kebun. Menghormati hak komunitas adalah yang paling penting dalam mengambil keputusan yang benar baik dalam hal memunculkan kebijakan politik para aparatur pemerintah maupun dalam operasi pembukaan kebun oleh perusahaan.
2. Untuk mengurangi eskalasi konflik, sebaiknya polisi tidak di libatkan dalam proses-proses operasi perkebunan. Karena kami memiliki catatan bahwa keterlibatan polisi di dalam perkebunan justru memperuncing persoalan kecil menjadi masalah yang lebih besar.
3. Pemerintah sebaiknya menghormati hak-hak buruh karena kontribusi besar dalam peningkatan produski CPO Indonesia adalah peran para pekerja. Semestinya, pemerintah daerah menerapkan upah layak bagi buruh sesuai dan menaikan drajat buruh dari statuh harian lepas menjadi buruh tetap.
4. Sudah hampir satu abad perkebunan di Indonesia ( maret 1911), namun nasib petani kelapa sawit masih terbelakang. Karena itu penting memperhatikan posisi petani kelapa sawit dengan perkebunan sawit nasional dengan memposisikan petani kelapa sawit sebagai subyek penting. Kami menilai, saat ini segelintir orang (pengusaha kebun) yang menjadi subyek penting saat ini sehingga perkebunan kita masih bercirikan kolonialisme. Karena itu penting untuk melakukan transformasi struktur perkebunan untuk menghormati hak-hak petani kelapa sawit. Kami yakin dengan menjadikan petani sebagai subyek penting satu-satunya di dalam perkebunan, perkebunan sawit Indonesia akan jauh dari pelanggaran HAM dan perkebunan Indonesia akan bersih dan semakin kuat.
Kontak person :
Abed Nego Tarigan (direktur Exekutif Sawit Watch), Mansuetus Darto: kordinator forum Nasional SPKS, Arifin Panjaitan (SPKS SEKADAU), Nursianus (SPKS SANGGAU), Hendi Candra (direktur WALHI KALBAR), Agus Sutomo (gemawan)
Jumat, 04 Maret 2011
Rabu, 19 Januari 2011
Outlook Lingkungan Kalbar 2010
Rabu, 05 Januari 2011 , 07:05:00
Oleh : Hendi Candra
Pulau Borneo memiliki dioversity paling lengkap di dunia yang salah satu ciri khas utamanya adalah hutan hujan tropis, dan Kalimantan Barat terletak tepat di garis equator. Sehingga mata dunia internasional tertuju ke pulau yang indah dan kaya ini. Kalbar dengan luas 14 juta hektar memiliki luas hamparan gambut 1,7 juta hektar dengan luas kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah 9 juta hektar dan memiliki 27 wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan luas 14, 86 juta hektar. Maka tidak heran Kalbar disebut-sebut sebagai kota seribu sungai. Namun sangat disayangkan, kawasan hutan yang dimaksud sebagian besar bukan merupakan tegakan hutan lagi karena sudah beralih fungsi.
Masalah Lingkungan Kalbar
Sebagian besar kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik Nasional maupun Kalimantan Barat khususnya, selalu bersentuhan langsung dengan lingkungan hidup karena untuk meningkatkan pendapatan Negara masih mengambil sebesar-besarnya isi alam. Baik itu eksploitasi kayu legal dan illegal, kegiatan tambang legal dan illegal maupun aktivitas kebun monokultur skala besar yang mengkonversi tegakan hutan alam dan gambut. Kenapa dikatakan eksploitatif ? Karena sebagian besar belum ada bentuk pemulihan lingkungan, dan yang ada hanyalah meninggalkan bekas-bekas kerusakan, mewariskan bencana dan konflik sosial di masyarakat. Masyarakat di kampung semakin takut untuk berusaha dan mempertahankan haknya karena terancam kriminalisasi.
Konversi hutan untuk perkebunan sawit skala besar di Kalimantan Barat masih menjadi menu utama di tahun 2010 dan merupakan tersangka utama penyebab hilangnya tegakan hutan dan konflik lahan dengan masyarakat. Isu tambang juga menjadi masalah yang selalu dibahas pada tahun 2010, karena menyangkut kualitas dan kuantitas air di sungai utama yaitu sungai Kapuas yang memiliki panjang 1.086 km dan melintasi 5 Kabupaten dan Kota. Namun aktivitas tambang yang kurang bersahabat dengan lingkungan ini hampir terdapat di semua Kabupaten dan Kota di Kalimantan Barat. Merkuri yang digunakan untuk memisahkan emas dengan material lainnya sudah mencemari sungai-sungai utama Kalimantan Barat sehingga dari 27 DAS di Kalimantan Barat, aktivitas ini berkontribusi terhadap 26 DAS dalam kondisi kritis dan sangat kritis.
Untuk masalah kebakaran hutan dan lahan hampir tidak ditemui di tahun 2010 karena dengan perubahan pola iklim sehingga musim kemarau tidak ada di tahun 2010. Dengan perubahan pola iklim ini tentunya berdampak buruk pada masyarakat pedalaman yang menggantungkan hidup dari pertanian, sehingga diperkirakan mereka akan mengalami gagal panen. Khusus bagi masyarakat di sekitar Danau Sentarum Kapuas Hulu juga mengalami gagal panen untuk madu hutan mereka.
Kerusakan Ekologis
Kerusakan lingkungan di Kalimantan Barat seharusnya menjadi perhatian serius semua stakeholder terutama pemerintah. Masifnya konversi hutan dan gambut untuk kebun sawit skala besar terutama di wilayah perhuluan DAS merupakan penyebab utama hilangnya tegakan hutan yang seharusnya merupakan tempat untuk menahan dan menyerap air hujan, sehingga tidak heran banjir besar melanda beberapa Kabupaten yang rawan bencana terjadi. Heart of Borneo merilis dari tahun 2003 sampai 2008 deforestasi hutan di Kalimantan Barat mencapai 916.492 hektar. Selain itu juga terdapat 267 titik PETI di Kalimantan Barat yang menghabiskan lahan 6.613 hektar (Sumber : Distamben Kalbar 2009), aktivitas ini berada di sepadan sungai dan wilayah daratan yang masih mencakup Daerah Aliran Sungai.
Bencana Ekologis
Curah hujan yang tinggi, hilangnya hutan sebagai daerah resapan serta pendangkalan sungai yang terjadi akibat erosi tanah dari limbah penambangan yang menumpuk di muara sungai menyebabkan terjadinya banjir besar yang menenggelamkan hampir seluruh kota-kota yang berada di muara sungai. Pada pertengahan bulan Oktober 2010 banjir dahsyat terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu. Banjir ini melanda 20 Kecamatan dari 24 Kecamatan, menenggelamkan 2.000 ha sawah, ada 8 .000 rumah tidak bisa ditinggali, ada sekitar 32.000 warga diungsikan, menghayutkan 3 rumah, lima jembatan gantung, dan 3 jembatan tidak gantung (Sumber : Pontianak Post, Senin 11 Oktober 2010). Harian Borneo Tribune, di hari yang sama, juga merilis kerugian akibat banjir di Kabupaten Kapuas Hulu ini ditafsir mencapai 21 Milyar.
Melihat berbagai persoalan lingkungan yang terjadi di Kalimantan Barat, tentunya kita tidak boleh tinggal diam dan tidak melakukan apa-apa. Pemerintah sebagai fasilitator harus arif dan visioner, karena hutan - tanah dan air merupakan warisan untuk anak cucu. Oleh karenanya tindakan untuk pemulihan ekologi harus terus dilakukan. Pemerintah dengan otoritas kebijakannya harus mau dan mampu untuk menanggulangi persoalan ini. Langkah yang paling tepat sekarang adalah melalui pembuatan RTRW yang parsisipatif di Kalimantan Barat. Dan tentu bukan hanya pemerintah saja, namun semua stakeholder yang lain sebagai pemilik kepentingan harus turut serta. Jangan sampai kita mewariskan bencana kepada generasi mendatang. **
* Penulis, Direktur Eksekutif WALHI Kalbar.
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=85189
Oleh : Hendi Candra
Pulau Borneo memiliki dioversity paling lengkap di dunia yang salah satu ciri khas utamanya adalah hutan hujan tropis, dan Kalimantan Barat terletak tepat di garis equator. Sehingga mata dunia internasional tertuju ke pulau yang indah dan kaya ini. Kalbar dengan luas 14 juta hektar memiliki luas hamparan gambut 1,7 juta hektar dengan luas kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah 9 juta hektar dan memiliki 27 wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan luas 14, 86 juta hektar. Maka tidak heran Kalbar disebut-sebut sebagai kota seribu sungai. Namun sangat disayangkan, kawasan hutan yang dimaksud sebagian besar bukan merupakan tegakan hutan lagi karena sudah beralih fungsi.
Masalah Lingkungan Kalbar
Sebagian besar kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik Nasional maupun Kalimantan Barat khususnya, selalu bersentuhan langsung dengan lingkungan hidup karena untuk meningkatkan pendapatan Negara masih mengambil sebesar-besarnya isi alam. Baik itu eksploitasi kayu legal dan illegal, kegiatan tambang legal dan illegal maupun aktivitas kebun monokultur skala besar yang mengkonversi tegakan hutan alam dan gambut. Kenapa dikatakan eksploitatif ? Karena sebagian besar belum ada bentuk pemulihan lingkungan, dan yang ada hanyalah meninggalkan bekas-bekas kerusakan, mewariskan bencana dan konflik sosial di masyarakat. Masyarakat di kampung semakin takut untuk berusaha dan mempertahankan haknya karena terancam kriminalisasi.
Konversi hutan untuk perkebunan sawit skala besar di Kalimantan Barat masih menjadi menu utama di tahun 2010 dan merupakan tersangka utama penyebab hilangnya tegakan hutan dan konflik lahan dengan masyarakat. Isu tambang juga menjadi masalah yang selalu dibahas pada tahun 2010, karena menyangkut kualitas dan kuantitas air di sungai utama yaitu sungai Kapuas yang memiliki panjang 1.086 km dan melintasi 5 Kabupaten dan Kota. Namun aktivitas tambang yang kurang bersahabat dengan lingkungan ini hampir terdapat di semua Kabupaten dan Kota di Kalimantan Barat. Merkuri yang digunakan untuk memisahkan emas dengan material lainnya sudah mencemari sungai-sungai utama Kalimantan Barat sehingga dari 27 DAS di Kalimantan Barat, aktivitas ini berkontribusi terhadap 26 DAS dalam kondisi kritis dan sangat kritis.
Untuk masalah kebakaran hutan dan lahan hampir tidak ditemui di tahun 2010 karena dengan perubahan pola iklim sehingga musim kemarau tidak ada di tahun 2010. Dengan perubahan pola iklim ini tentunya berdampak buruk pada masyarakat pedalaman yang menggantungkan hidup dari pertanian, sehingga diperkirakan mereka akan mengalami gagal panen. Khusus bagi masyarakat di sekitar Danau Sentarum Kapuas Hulu juga mengalami gagal panen untuk madu hutan mereka.
Kerusakan Ekologis
Kerusakan lingkungan di Kalimantan Barat seharusnya menjadi perhatian serius semua stakeholder terutama pemerintah. Masifnya konversi hutan dan gambut untuk kebun sawit skala besar terutama di wilayah perhuluan DAS merupakan penyebab utama hilangnya tegakan hutan yang seharusnya merupakan tempat untuk menahan dan menyerap air hujan, sehingga tidak heran banjir besar melanda beberapa Kabupaten yang rawan bencana terjadi. Heart of Borneo merilis dari tahun 2003 sampai 2008 deforestasi hutan di Kalimantan Barat mencapai 916.492 hektar. Selain itu juga terdapat 267 titik PETI di Kalimantan Barat yang menghabiskan lahan 6.613 hektar (Sumber : Distamben Kalbar 2009), aktivitas ini berada di sepadan sungai dan wilayah daratan yang masih mencakup Daerah Aliran Sungai.
Bencana Ekologis
Curah hujan yang tinggi, hilangnya hutan sebagai daerah resapan serta pendangkalan sungai yang terjadi akibat erosi tanah dari limbah penambangan yang menumpuk di muara sungai menyebabkan terjadinya banjir besar yang menenggelamkan hampir seluruh kota-kota yang berada di muara sungai. Pada pertengahan bulan Oktober 2010 banjir dahsyat terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu. Banjir ini melanda 20 Kecamatan dari 24 Kecamatan, menenggelamkan 2.000 ha sawah, ada 8 .000 rumah tidak bisa ditinggali, ada sekitar 32.000 warga diungsikan, menghayutkan 3 rumah, lima jembatan gantung, dan 3 jembatan tidak gantung (Sumber : Pontianak Post, Senin 11 Oktober 2010). Harian Borneo Tribune, di hari yang sama, juga merilis kerugian akibat banjir di Kabupaten Kapuas Hulu ini ditafsir mencapai 21 Milyar.
Melihat berbagai persoalan lingkungan yang terjadi di Kalimantan Barat, tentunya kita tidak boleh tinggal diam dan tidak melakukan apa-apa. Pemerintah sebagai fasilitator harus arif dan visioner, karena hutan - tanah dan air merupakan warisan untuk anak cucu. Oleh karenanya tindakan untuk pemulihan ekologi harus terus dilakukan. Pemerintah dengan otoritas kebijakannya harus mau dan mampu untuk menanggulangi persoalan ini. Langkah yang paling tepat sekarang adalah melalui pembuatan RTRW yang parsisipatif di Kalimantan Barat. Dan tentu bukan hanya pemerintah saja, namun semua stakeholder yang lain sebagai pemilik kepentingan harus turut serta. Jangan sampai kita mewariskan bencana kepada generasi mendatang. **
* Penulis, Direktur Eksekutif WALHI Kalbar.
Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=85189
Senin, 17 Januari 2011
KASUS SEJIRAK HARUS MENUNTASKAN AKAR PERSOALAN;
Bicara Hak Hidup Warga merupakan bagian dari persoalan Hak Asasi Manusia
Kegiatan berladang yang dilakukan warga Sejirak di kawasan HTI Finnantara Intiga namun berbuah kriminalisasi oleh pihak perusahaan hingga pada ranah hukum patut disayangkan, terlebih kasus ini masih saja tetap berlarut hingga kini. Seperti diketahui, kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat di Sejirak ini berawal dari surat panggilan pihak Kepolisian yang disampaikan tanggal 10 Agustus 2010 atas aduan pihak perusahaan HTI (tanggal 17 Juli 2010) di daerah mereka untuk datang ke Polres Sintang tanggal 12 Agustus 2010, dan setelah di BAP warga kemudian ditahan tanggal 13 Agustus 2010. Namun demikian, dalam perkembangannya usai pemeriksaan, dari 15 warga yang dipanggil pihak Kepolisian menetapkan 13 orang sebagai tersangka dan kemudian dikriminalisasi hingga menghuni wisma prodeo Polres Sintang.
Kegiatan berladang di kawasan yang secara de jure merupakan wilayah konsesi PT. Finnantara yang dilakukan warga adalah puncak dari kekesalan warga atas tindakan pihak perusahaan selama ini. Penangkapan warga Sejirak yang kini mereka masih tetap wajib lapor hanyalah fenomena gunung es yang hendaknya tidak hanya dilihat dari puncaknya bahwa warga telah melakukan perladangan di kawasan konsesi perusahan semata. Tetapi harus dilihat persoalan mendasar yang melatarbelakangi warga melakukan tindakan tersebut. untuk diketahui bahwa secara de facto kawasan konsesi perusahaan tersebut sesungguhnya dikuasai oleh masyarakat, dalam bentuk tanah adat maupun milik perorangan.
Persoalan mendasar yang dihadapi warga Sejirak adalah terkait dengan Hak atas Hidup yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Disamping itu saat ini warga Sejirak mengalami persoalan keterbatasan atas lahan untuk bercocok tanam (berladang). Warga juga menilai bahwa pihak perusahaan tidak memiliki itikad baik selama ini. Temuan lapangan Walhi Kalbar beberapa waktu lalu melihat adanya sejumlah pelanggaran hak warga. Atas hasil temuan ini kami akan ditindaklanjuti dengan menyampaikannya kepada berbagai pihak.
Karena adanya indikasi persoalan HAM, maka kasus kriminalisasi yang dialami warga Sejirak ini juga akan disampaikan ke lembaga yang mengurusi bidang itu (Komnas HAM). Dalam waktu dekat, hasil temuan yang sebagai bahan laporan akan disampaikan.
Seperti diketahui PT. Finnantara Intiga memperoleh konsesi berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 750/Kpts-II/96 tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri di Propinsi Kalimantan Barat kepada PT Finnantara Intiga, luas areal konsesi yang diberikan kepada PT Finnantara Intiga adalah seluas 299,700 Ha.
PT Finnantara Intiga adalah perusahaan patungan hutan tanaman industri yang didirikan tanggal 6 Juni 1996, pada saat itu kepemilikan awal perusahaan dipegang oleh PT. Inhutani III/ BUMN Kehutanan yang mewakili Pemerintah Indonesia (40%), PT Gudang Garam (30%) dan Nordic Forest Development Holdings Pte Ltd (30%)/anak perusahaan STORA ENSO yang berbadan hukum Singapura. Namun sejak tanggal 7 Oktober 2004, Global Forest Limited (Perusahaan Sinar Mas) mengambil alih saham NFDH sehingga saat ini saham mayoritas PT. Finnantara Intiga dimiliki oleh Sinar Mas Group sebesar 67% dan PT. Inhutani III 33%. Artinya bahwa pemilik perusahaan ini adalah Sinar Mas Group dan PT. Inhutani III.
Kriminalisasi Masyarakat Adat Sejirak hingga penahanan di wisma Prodeo Polres Sintang dilakukan setelah polisi melakukan olah BAP berdasarkan laporan pihak perusahaan tanggal 17 Juli 2010 terhadap 15 orang dengan laporan polisi nomor; LP/338/VII/2010/Kalbar/Reg Stg merujukan pasal 170 KUHP Jo pasal 406 KUHP dengan tuduhan melakukan tindakan pidana kekerasan terhadap barang atau pengrusakan. Warga diminta untuk menghadap pihak Kepolisian tanggal 12 Agustus 2010. Dari aduan pihak perusahaan dan hasil BAP kemudian merujuk pada 13 orang warga yang dinyatakan bersalah oleh pihak kepolisian selanjutnya mengurung warga. Baru tanggal 25 Agustus 2010 ke-13 warga ditangguhkan penahanannya secara resmi melalui Surat Perintah Penangguhan Tahanan bernomor; SP.Han/85/VIII/2010/Reskrim.
Berangkat dari catatan ini maka upaya kriminalisasi yang dialami masyarakat adat Sejirak adalah sebuah gambaran betapa lemahnya peran negara dalam memberikan perlindungan bagi rakyatnya atas akses dan kontrol terhadap lingkungannya. Pembukaan investasi skala besar telah menjadi ancaman bagi ruang akses maupun kontrol warga atas lingkungannya, lebih khusus karena membatasi peluang warga untuk mengembangkan pertanian/bercocok tanam.
Pihak eksekutif maupun legislatif mesti dapat memberikan solusi segera bagi warga, tidak hanya sampai pada penyelesaian proses hukum semata, namun juga harus menyelesaikan akar persoalan yang dihadapi warga terkait dengan keberadaan PT. Finnantara Intiga di daerah mereka.
Pihak eksekutif diharapkan dapat memastikan bahwa adanya jaminan perlindungan atas hak-hak masyarakat (adat) di wilayah kawasan konsesi PT. Finnantara Intiga khususnya dan di Kabupaten Sintang umumnya.
Disamping itu diharapkan agar pemerintah pusat (cq. Dinas Kehutanan dan instansi terkait lainnya) untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja PT. Finnantara Intiga dan melakukan tindakan serius sesuai kewenangannya.
Kita juga berharap agar lembaga komisioner yang ada di Indonesia (Komnas HAM RI dan Komnas HAM Kalbar khususnya) dapat melakukan langkah-langkah terkait dengan kondisi masyarakat untuk melakukan penanganan serius maupun pendokumentasian mengenai potensi pelanggaran HAM yang dialami warga atas hadirnya konsesi PT. Finnantara Intiga.
Diposting oleh
Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat
Kegiatan berladang yang dilakukan warga Sejirak di kawasan HTI Finnantara Intiga namun berbuah kriminalisasi oleh pihak perusahaan hingga pada ranah hukum patut disayangkan, terlebih kasus ini masih saja tetap berlarut hingga kini. Seperti diketahui, kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat di Sejirak ini berawal dari surat panggilan pihak Kepolisian yang disampaikan tanggal 10 Agustus 2010 atas aduan pihak perusahaan HTI (tanggal 17 Juli 2010) di daerah mereka untuk datang ke Polres Sintang tanggal 12 Agustus 2010, dan setelah di BAP warga kemudian ditahan tanggal 13 Agustus 2010. Namun demikian, dalam perkembangannya usai pemeriksaan, dari 15 warga yang dipanggil pihak Kepolisian menetapkan 13 orang sebagai tersangka dan kemudian dikriminalisasi hingga menghuni wisma prodeo Polres Sintang.
Kegiatan berladang di kawasan yang secara de jure merupakan wilayah konsesi PT. Finnantara yang dilakukan warga adalah puncak dari kekesalan warga atas tindakan pihak perusahaan selama ini. Penangkapan warga Sejirak yang kini mereka masih tetap wajib lapor hanyalah fenomena gunung es yang hendaknya tidak hanya dilihat dari puncaknya bahwa warga telah melakukan perladangan di kawasan konsesi perusahan semata. Tetapi harus dilihat persoalan mendasar yang melatarbelakangi warga melakukan tindakan tersebut. untuk diketahui bahwa secara de facto kawasan konsesi perusahaan tersebut sesungguhnya dikuasai oleh masyarakat, dalam bentuk tanah adat maupun milik perorangan.
Persoalan mendasar yang dihadapi warga Sejirak adalah terkait dengan Hak atas Hidup yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Disamping itu saat ini warga Sejirak mengalami persoalan keterbatasan atas lahan untuk bercocok tanam (berladang). Warga juga menilai bahwa pihak perusahaan tidak memiliki itikad baik selama ini. Temuan lapangan Walhi Kalbar beberapa waktu lalu melihat adanya sejumlah pelanggaran hak warga. Atas hasil temuan ini kami akan ditindaklanjuti dengan menyampaikannya kepada berbagai pihak.
Karena adanya indikasi persoalan HAM, maka kasus kriminalisasi yang dialami warga Sejirak ini juga akan disampaikan ke lembaga yang mengurusi bidang itu (Komnas HAM). Dalam waktu dekat, hasil temuan yang sebagai bahan laporan akan disampaikan.
Seperti diketahui PT. Finnantara Intiga memperoleh konsesi berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 750/Kpts-II/96 tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri di Propinsi Kalimantan Barat kepada PT Finnantara Intiga, luas areal konsesi yang diberikan kepada PT Finnantara Intiga adalah seluas 299,700 Ha.
PT Finnantara Intiga adalah perusahaan patungan hutan tanaman industri yang didirikan tanggal 6 Juni 1996, pada saat itu kepemilikan awal perusahaan dipegang oleh PT. Inhutani III/ BUMN Kehutanan yang mewakili Pemerintah Indonesia (40%), PT Gudang Garam (30%) dan Nordic Forest Development Holdings Pte Ltd (30%)/anak perusahaan STORA ENSO yang berbadan hukum Singapura. Namun sejak tanggal 7 Oktober 2004, Global Forest Limited (Perusahaan Sinar Mas) mengambil alih saham NFDH sehingga saat ini saham mayoritas PT. Finnantara Intiga dimiliki oleh Sinar Mas Group sebesar 67% dan PT. Inhutani III 33%. Artinya bahwa pemilik perusahaan ini adalah Sinar Mas Group dan PT. Inhutani III.
Kriminalisasi Masyarakat Adat Sejirak hingga penahanan di wisma Prodeo Polres Sintang dilakukan setelah polisi melakukan olah BAP berdasarkan laporan pihak perusahaan tanggal 17 Juli 2010 terhadap 15 orang dengan laporan polisi nomor; LP/338/VII/2010/Kalbar/Reg Stg merujukan pasal 170 KUHP Jo pasal 406 KUHP dengan tuduhan melakukan tindakan pidana kekerasan terhadap barang atau pengrusakan. Warga diminta untuk menghadap pihak Kepolisian tanggal 12 Agustus 2010. Dari aduan pihak perusahaan dan hasil BAP kemudian merujuk pada 13 orang warga yang dinyatakan bersalah oleh pihak kepolisian selanjutnya mengurung warga. Baru tanggal 25 Agustus 2010 ke-13 warga ditangguhkan penahanannya secara resmi melalui Surat Perintah Penangguhan Tahanan bernomor; SP.Han/85/VIII/2010/Reskrim.
Berangkat dari catatan ini maka upaya kriminalisasi yang dialami masyarakat adat Sejirak adalah sebuah gambaran betapa lemahnya peran negara dalam memberikan perlindungan bagi rakyatnya atas akses dan kontrol terhadap lingkungannya. Pembukaan investasi skala besar telah menjadi ancaman bagi ruang akses maupun kontrol warga atas lingkungannya, lebih khusus karena membatasi peluang warga untuk mengembangkan pertanian/bercocok tanam.
Pihak eksekutif maupun legislatif mesti dapat memberikan solusi segera bagi warga, tidak hanya sampai pada penyelesaian proses hukum semata, namun juga harus menyelesaikan akar persoalan yang dihadapi warga terkait dengan keberadaan PT. Finnantara Intiga di daerah mereka.
Pihak eksekutif diharapkan dapat memastikan bahwa adanya jaminan perlindungan atas hak-hak masyarakat (adat) di wilayah kawasan konsesi PT. Finnantara Intiga khususnya dan di Kabupaten Sintang umumnya.
Disamping itu diharapkan agar pemerintah pusat (cq. Dinas Kehutanan dan instansi terkait lainnya) untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja PT. Finnantara Intiga dan melakukan tindakan serius sesuai kewenangannya.
Kita juga berharap agar lembaga komisioner yang ada di Indonesia (Komnas HAM RI dan Komnas HAM Kalbar khususnya) dapat melakukan langkah-langkah terkait dengan kondisi masyarakat untuk melakukan penanganan serius maupun pendokumentasian mengenai potensi pelanggaran HAM yang dialami warga atas hadirnya konsesi PT. Finnantara Intiga.
Diposting oleh
Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat
Minggu, 03 Oktober 2010
Kriminalisasi Masyarakat (Adat) atas Pemanfaatan SDA?
By. Hendrikus Adam*
(Aktifis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat)
Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara. Pernyataan yang dicetuskan oleh rakyat Indonesia (masyarakat adat/MA) dari berbagai penjuru nusantara dalam Kongres I Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta tahun 1999 ini boleh dibilang sebagai bentuk ”perlawanan” dan juga ”protes” atas sikap negara (pemerintah) yang cenderung mengabaikan eksistensi MA. Pernyataan ini tentunya sangat argumentatif, karena MA telah ada jauh sebelum negara Republik Indonesia ini dideklarasikan sebagai negara yang berdaulat pada 17 Agustus 1945 silam. Sisi lain dari keberadaan MA, juga sebagai bagian dari warga di negeri ini. Sebagain bagian dari makhluk di dunia, kehadiran setiap pribadi masyarakat memiliki harkat dna martabat yang sama.
Didefinisikan, Masyarakat Adat merupakan sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya, serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat. Demikian halnya istilah MA seringkali digunakan dalam istilah yang beragam.
Di beberapa negara lain, banyak istilah yang digunakan untuk menjelaskan masyarakat adat, misalnya first peoples di kalangan antropolog, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan atau orang asli untuk sebutan di Malaysia. Sedangkan di tingkat PBB penggunaan indigenous peoples tertuang dalam deklarasi PBB (draft on the UN declaration on the Rights of the Indigenous Peoples). Di Indonesia, berdasarkan versi pemerintah menyebutnya dengan Istilah “masyarakat hukum adat” atau “masyarakat tradisional”.
Istilah Masyarakat Adat mulai disosialisasikan di Indonesia pada tahun 1993 setelah sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, akademisi dan aktivis organisasi non pemerintah (Ornop) menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai suatu istilah umum pengganti sebutan yang sangat beragam. Pada saat itu, secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan. Sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka masing-masing (Artikel utama dalam WACANA HAM, Media Pemajuan Hak Asasi Manusia, No. 10/Tahun II/12, Juni 2002, Jakarta). Pemahaman mengenai Masyarakat Adat tentunya tidak hanya merujuk pada etnis/kelompok tertentu, tetapi sangat luas meliputi segenap warga yang masih memelihara sistem nilai adat dan budayanya dengan keberadaan SDA yang masih tetap terjaga.
Lantas bagaimana dengan nasib MA saat ini? Masyarakat adat sebagai bagian dari komponen masyarakat sipil cenderung (senantiasa) berada pada posisi lemah, dan rentan terhadap perlakuan refresif manakala berhadapan dengan pemodal dan aparatur negara khususnya dalam upaya menuntut hak dan keadilan terhadap kondisi sosial-ekologi yang berkelanjutan. Perjuangan warga terhadap akses dan kontrol rakyat atas lingkungannya seringkali dikesampingkan. Dengan posisi yang lemah tersebut menjadikan masyarakat cenderung kurang ”berani” dan potensial untuk selalu mendapat dampak buruk.
Upaya dan tantangan atas perjuangan yang dialami masyarakat adat di Kalimantan Barat, mempunyai dinamika tersendiri. Sebagai bagian penduduk di bumi ini, warga Kalimantan Barat dengan latar belakang yang beragam dan tinggal (umumnya) di pedalaman dalam kesehariannya senantiasa berhubungan langsung dengan alam dan lingkungannya. Potensi sumber daya berupa hutan, tanah dan air adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dari hidup dan kehidupan masyarakat adat yang senantiasa menggantungkan hidupnya pada hasil bumi. Hutan, tanah dan air merupakan alat produksi bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan.
Massifnya kebijakan investasi skala besar dalam bentuk perkebunan sawit, pertambangan, HPH, HTI dan lainnya sebagai bentuk dari pemanfaatan sumber daya alam versi penguasa namun memberikan ruang yang sangat memungkinkan terjadinya perampasan atas hak kelola masyarakat (adat) atas potensi alam melahirkan sejumlah konsekuensi logis. Upaya pengelolaan sumber daya alam berbasis kepentingan ekonomi semata, namun cenderung mengesampingkan aspek lingkungan sosial-budaya, adat istiadat dan ekologi adalah jalan pasti menuju kehancuran.
Hal ini dapat dilihat dengan upaya-upaya yang dilakukan selama ini. Atas nama pembangunan dengan dalih kesejahteraan, pemodal yang sedari awal tidak memiliki sejengkal tanahpun memang sangat ”profesional” dalam mewujudkan impiannya dengan ”mengambil alih” kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki masyarakat dengan berbagai cara untuk membuka investasi melalui izin penguasa (Negara). Berbagai iming-iming dan citra positif untuk membuai masyarakat agar dapat diterima seringkali disampaikan secara sepihak yang berakibat pada pelepasan tanah dan sumber daya alam warga dan bahkan berujung pada konflik sosial bila kemudian warga akhirnya sadar dan melawan.
Sedikitnya ada empat mitos yang seringkali digunakan untuk membuai warga soal investasi yakni; memberikan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan pendapatan asli daerah/PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat. Keempat mitos ini tentunya tidak harus ditelan mentah-mentah, bila dikaji lebih kritis maka sesungguhnya keempat dalih tersebut tidak lebih dari ”akal bulus” yang kurang mendasar.
Dampak dari pemberian ruang bertumbuh kembangnya investasi skala besar (perkebunan sawit, pertambangan, HTI) yang menguras sumber daya alam disekitar lahan kelola masyarakat dan bahkan mengabaikan hak-hak MA seringkali memiriskan hati dengan berbagai fakta dan realita yang terjadi selama ini. Sebaliknya, masyarakat yang sadar berjuang dan menolak investasi seringkali dipersalahkan. Kriminalisasi terhadap masyarakat yang menginginkan hutan, tanah dan air nya tetap utuh menjadi fenomena sebagai konsekeunsi sebuah perjuangan melawan kaum bermodal yang mendapat restu dari penguasa.
Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Kasus Penangkapan dua warga Semunying Jaya (Momonus/Kades-Jamaludin/BPD) tahun 2006 silam di Bengkayang yang memperjuangkan kedaulatannya, penahanan tiga warga Pelaik Keruap di Kecamatan Menukung Melawi, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) di Ketapang yang berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan SDA dari PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) adalah sejumlah persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa peran negara masih sangat rapuh dalam melindungi hak-hak warganya yang menginginkan kawasan dan alat produksi berupa hutan-tanah-air tetap lestari.
Demikian halnya dengan kriminalisasi terhadap dua orang ibu rumah tangga di Kampung Sanjan Emberas, Kabupaten Sanggau mengambil sisa brondolan sawit yang ”tidak lagi terpakai” oleh pihak perusahaan (PTPN XIII) adalah sisi lain dari sebuah realitas yang terjadi akhir-akhir ini, betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit, karena tidak lagi menjadi tuan atas tanah yang dimiliki. Juga terpisah dari lingkungannya. Pendekatan keamanan dengan menggunakan tangan aparat (polisi-brimob dll) dan menempuh jalur hukum negara melalui kriminalisasi masyarakat seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh oleh managemen perusahaan investasi (investor) guna melindungi usahanya. Padahal dalam sisi yang lain, pihak aparat tidak semestinya ”ngepam” di areal kawasan perusahaan.
Di Sintang, kriminalisasi oleh pihak pemodal (PT. Finnantara Intiga yang saat ini dimiliki Sinar Mas Group sebagai pemilik saham dominan dan Inhutani III) juga dialami 15 orang warga Sejirak (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka (warga). Selama belasan hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang, 25/8), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten Sintang. Dalam setiap kali turun setidaknya seratus ribu harus dirogoh dari saku untuk keperluan turun ke kota Sintang.
Berbagai catatan tersebut adalah bagian dari sejumlah realita dari sekian banyak persoalan yang dihadapi masyarakat kita yang selama ini mengandalkan hidup dan kehidupannya dari kekayaan sumber daya alamnya.
Keberadaan masyarakat di daerah pedalaman khususnya Masyarakat Adat adalah bagian dari warga di republik ini yang memiliki hak sama untuk diperlakukan sebagaimana mestinya secara beradab. Hal ini didasarkan pada pemahaman universal yang harusnya mengakar dalam pemahaman yang sama bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai makhluk ciptaanNya. Sehingga dengan demikian selayaknya dihargai.
Keberadaan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari segala potensi sumber daya alam yang ada di perut bumi adalah sebuah realitas dari kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Bagi masyarakat adat (Dayak khususnya), berbagai aspek kehidupan seperti hutan; tanah dan air merupakan tiga komponen sumber hidup dan kehidupan yang sangat vital sebagai penunjang keberlangsungan hidup. Hutan, tanah dan air merupakan ”apotik” dan ”supermarket” bagi masyarakat adat. Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antar satu sama lain.
Atas berbagai dinamika dan sejumlah motif yang dilakukan para spekulan (Pemodal, Penguasa), selayaknya rakyat untuk selalu mawas diri dan berhati-hati dengan didasari sikap kritis. Dengan demikian layak kiranya kita ragukan niat baiknya bila ada para spekulan maupun pihak asing yang merasa ”risih” dengan hutan-tanah-air yang dimiliki masyarakat adat saat ini. Sebuah refleksi berikut kiranya pantas menjadi catatan penting: Salahkah bila kondisi HUTAN yang ada disekitar lingkungan masyarakat adat tetap utuh?; Salahkah bila TANAH yang ada tetap dimiliki oleh rakyat tanpa harus diserahkan pada para spekulan?; Salahkah bila kondisi AIR (sungai dan berbagai sumber air bersih) yang ada tetap bening dengan kesejukan alaminya?
Tentu, ketiga sumber hidup dan kehidupan ini diharapkan tetap menjadi kebanggaan kita bukan? Dan hanya orang serakah yang akan menyangkal dan mengatakan tidak setuju dengan sejumlah pertanyaan refleksi tersebut. Kejadian kriminalisasi yang dialami masyarakat selama ini terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam harusnya mendapat perhatian bersama yang tidak perlu terjadi.
Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Masyarakat Adat selayaknya dihargai sebagai bagian dari anak negeri yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Jangan ada perlakuan yang tidak adil bagi rakyat. Upaya untuk menghentikan kriminalisasi terhadap warga negeri ini hendaknya massif dilakukan atas dasar niat yang baik, ketika negara dianggap tidak lagi menjadi pelindung bagi rakyat, ketika negara tidak memberikan perlindungan terhadap kondisi yang lestari. Saatnya, perjuangan memang harus dimulai dengan kesadaran dan keyakinan bahwa rakyat memang harus bersatu. Karena KETIKA RAKYAT BERSATU, TAK BISA DI KALAHKAN. Semoga!
(Aktifis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat)
Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara. Pernyataan yang dicetuskan oleh rakyat Indonesia (masyarakat adat/MA) dari berbagai penjuru nusantara dalam Kongres I Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta tahun 1999 ini boleh dibilang sebagai bentuk ”perlawanan” dan juga ”protes” atas sikap negara (pemerintah) yang cenderung mengabaikan eksistensi MA. Pernyataan ini tentunya sangat argumentatif, karena MA telah ada jauh sebelum negara Republik Indonesia ini dideklarasikan sebagai negara yang berdaulat pada 17 Agustus 1945 silam. Sisi lain dari keberadaan MA, juga sebagai bagian dari warga di negeri ini. Sebagain bagian dari makhluk di dunia, kehadiran setiap pribadi masyarakat memiliki harkat dna martabat yang sama.
Didefinisikan, Masyarakat Adat merupakan sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya, serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat. Demikian halnya istilah MA seringkali digunakan dalam istilah yang beragam.
Di beberapa negara lain, banyak istilah yang digunakan untuk menjelaskan masyarakat adat, misalnya first peoples di kalangan antropolog, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan atau orang asli untuk sebutan di Malaysia. Sedangkan di tingkat PBB penggunaan indigenous peoples tertuang dalam deklarasi PBB (draft on the UN declaration on the Rights of the Indigenous Peoples). Di Indonesia, berdasarkan versi pemerintah menyebutnya dengan Istilah “masyarakat hukum adat” atau “masyarakat tradisional”.
Istilah Masyarakat Adat mulai disosialisasikan di Indonesia pada tahun 1993 setelah sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, akademisi dan aktivis organisasi non pemerintah (Ornop) menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai suatu istilah umum pengganti sebutan yang sangat beragam. Pada saat itu, secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan. Sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka masing-masing (Artikel utama dalam WACANA HAM, Media Pemajuan Hak Asasi Manusia, No. 10/Tahun II/12, Juni 2002, Jakarta). Pemahaman mengenai Masyarakat Adat tentunya tidak hanya merujuk pada etnis/kelompok tertentu, tetapi sangat luas meliputi segenap warga yang masih memelihara sistem nilai adat dan budayanya dengan keberadaan SDA yang masih tetap terjaga.
Lantas bagaimana dengan nasib MA saat ini? Masyarakat adat sebagai bagian dari komponen masyarakat sipil cenderung (senantiasa) berada pada posisi lemah, dan rentan terhadap perlakuan refresif manakala berhadapan dengan pemodal dan aparatur negara khususnya dalam upaya menuntut hak dan keadilan terhadap kondisi sosial-ekologi yang berkelanjutan. Perjuangan warga terhadap akses dan kontrol rakyat atas lingkungannya seringkali dikesampingkan. Dengan posisi yang lemah tersebut menjadikan masyarakat cenderung kurang ”berani” dan potensial untuk selalu mendapat dampak buruk.
Upaya dan tantangan atas perjuangan yang dialami masyarakat adat di Kalimantan Barat, mempunyai dinamika tersendiri. Sebagai bagian penduduk di bumi ini, warga Kalimantan Barat dengan latar belakang yang beragam dan tinggal (umumnya) di pedalaman dalam kesehariannya senantiasa berhubungan langsung dengan alam dan lingkungannya. Potensi sumber daya berupa hutan, tanah dan air adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dari hidup dan kehidupan masyarakat adat yang senantiasa menggantungkan hidupnya pada hasil bumi. Hutan, tanah dan air merupakan alat produksi bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan.
Massifnya kebijakan investasi skala besar dalam bentuk perkebunan sawit, pertambangan, HPH, HTI dan lainnya sebagai bentuk dari pemanfaatan sumber daya alam versi penguasa namun memberikan ruang yang sangat memungkinkan terjadinya perampasan atas hak kelola masyarakat (adat) atas potensi alam melahirkan sejumlah konsekuensi logis. Upaya pengelolaan sumber daya alam berbasis kepentingan ekonomi semata, namun cenderung mengesampingkan aspek lingkungan sosial-budaya, adat istiadat dan ekologi adalah jalan pasti menuju kehancuran.
Hal ini dapat dilihat dengan upaya-upaya yang dilakukan selama ini. Atas nama pembangunan dengan dalih kesejahteraan, pemodal yang sedari awal tidak memiliki sejengkal tanahpun memang sangat ”profesional” dalam mewujudkan impiannya dengan ”mengambil alih” kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki masyarakat dengan berbagai cara untuk membuka investasi melalui izin penguasa (Negara). Berbagai iming-iming dan citra positif untuk membuai masyarakat agar dapat diterima seringkali disampaikan secara sepihak yang berakibat pada pelepasan tanah dan sumber daya alam warga dan bahkan berujung pada konflik sosial bila kemudian warga akhirnya sadar dan melawan.
Sedikitnya ada empat mitos yang seringkali digunakan untuk membuai warga soal investasi yakni; memberikan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan pendapatan asli daerah/PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat. Keempat mitos ini tentunya tidak harus ditelan mentah-mentah, bila dikaji lebih kritis maka sesungguhnya keempat dalih tersebut tidak lebih dari ”akal bulus” yang kurang mendasar.
Dampak dari pemberian ruang bertumbuh kembangnya investasi skala besar (perkebunan sawit, pertambangan, HTI) yang menguras sumber daya alam disekitar lahan kelola masyarakat dan bahkan mengabaikan hak-hak MA seringkali memiriskan hati dengan berbagai fakta dan realita yang terjadi selama ini. Sebaliknya, masyarakat yang sadar berjuang dan menolak investasi seringkali dipersalahkan. Kriminalisasi terhadap masyarakat yang menginginkan hutan, tanah dan air nya tetap utuh menjadi fenomena sebagai konsekeunsi sebuah perjuangan melawan kaum bermodal yang mendapat restu dari penguasa.
Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Kasus Penangkapan dua warga Semunying Jaya (Momonus/Kades-Jamaludin/BPD) tahun 2006 silam di Bengkayang yang memperjuangkan kedaulatannya, penahanan tiga warga Pelaik Keruap di Kecamatan Menukung Melawi, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) di Ketapang yang berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan SDA dari PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) adalah sejumlah persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa peran negara masih sangat rapuh dalam melindungi hak-hak warganya yang menginginkan kawasan dan alat produksi berupa hutan-tanah-air tetap lestari.
Demikian halnya dengan kriminalisasi terhadap dua orang ibu rumah tangga di Kampung Sanjan Emberas, Kabupaten Sanggau mengambil sisa brondolan sawit yang ”tidak lagi terpakai” oleh pihak perusahaan (PTPN XIII) adalah sisi lain dari sebuah realitas yang terjadi akhir-akhir ini, betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit, karena tidak lagi menjadi tuan atas tanah yang dimiliki. Juga terpisah dari lingkungannya. Pendekatan keamanan dengan menggunakan tangan aparat (polisi-brimob dll) dan menempuh jalur hukum negara melalui kriminalisasi masyarakat seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh oleh managemen perusahaan investasi (investor) guna melindungi usahanya. Padahal dalam sisi yang lain, pihak aparat tidak semestinya ”ngepam” di areal kawasan perusahaan.
Di Sintang, kriminalisasi oleh pihak pemodal (PT. Finnantara Intiga yang saat ini dimiliki Sinar Mas Group sebagai pemilik saham dominan dan Inhutani III) juga dialami 15 orang warga Sejirak (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka (warga). Selama belasan hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang, 25/8), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten Sintang. Dalam setiap kali turun setidaknya seratus ribu harus dirogoh dari saku untuk keperluan turun ke kota Sintang.
Berbagai catatan tersebut adalah bagian dari sejumlah realita dari sekian banyak persoalan yang dihadapi masyarakat kita yang selama ini mengandalkan hidup dan kehidupannya dari kekayaan sumber daya alamnya.
Keberadaan masyarakat di daerah pedalaman khususnya Masyarakat Adat adalah bagian dari warga di republik ini yang memiliki hak sama untuk diperlakukan sebagaimana mestinya secara beradab. Hal ini didasarkan pada pemahaman universal yang harusnya mengakar dalam pemahaman yang sama bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai makhluk ciptaanNya. Sehingga dengan demikian selayaknya dihargai.
Keberadaan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari segala potensi sumber daya alam yang ada di perut bumi adalah sebuah realitas dari kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Bagi masyarakat adat (Dayak khususnya), berbagai aspek kehidupan seperti hutan; tanah dan air merupakan tiga komponen sumber hidup dan kehidupan yang sangat vital sebagai penunjang keberlangsungan hidup. Hutan, tanah dan air merupakan ”apotik” dan ”supermarket” bagi masyarakat adat. Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antar satu sama lain.
Atas berbagai dinamika dan sejumlah motif yang dilakukan para spekulan (Pemodal, Penguasa), selayaknya rakyat untuk selalu mawas diri dan berhati-hati dengan didasari sikap kritis. Dengan demikian layak kiranya kita ragukan niat baiknya bila ada para spekulan maupun pihak asing yang merasa ”risih” dengan hutan-tanah-air yang dimiliki masyarakat adat saat ini. Sebuah refleksi berikut kiranya pantas menjadi catatan penting: Salahkah bila kondisi HUTAN yang ada disekitar lingkungan masyarakat adat tetap utuh?; Salahkah bila TANAH yang ada tetap dimiliki oleh rakyat tanpa harus diserahkan pada para spekulan?; Salahkah bila kondisi AIR (sungai dan berbagai sumber air bersih) yang ada tetap bening dengan kesejukan alaminya?
Tentu, ketiga sumber hidup dan kehidupan ini diharapkan tetap menjadi kebanggaan kita bukan? Dan hanya orang serakah yang akan menyangkal dan mengatakan tidak setuju dengan sejumlah pertanyaan refleksi tersebut. Kejadian kriminalisasi yang dialami masyarakat selama ini terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam harusnya mendapat perhatian bersama yang tidak perlu terjadi.
Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Masyarakat Adat selayaknya dihargai sebagai bagian dari anak negeri yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Jangan ada perlakuan yang tidak adil bagi rakyat. Upaya untuk menghentikan kriminalisasi terhadap warga negeri ini hendaknya massif dilakukan atas dasar niat yang baik, ketika negara dianggap tidak lagi menjadi pelindung bagi rakyat, ketika negara tidak memberikan perlindungan terhadap kondisi yang lestari. Saatnya, perjuangan memang harus dimulai dengan kesadaran dan keyakinan bahwa rakyat memang harus bersatu. Karena KETIKA RAKYAT BERSATU, TAK BISA DI KALAHKAN. Semoga!
Rabu, 29 September 2010
Jangan Paksakan Rakyat Menyerahkan Alat Produksinya!
Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Di Semunying Jaya (Momonus-Jamaludin) Kabupaten sejak beberapa tahun silam dua orang warga dipenjara karena berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan sumber daya alamnya yang digusur tanpa permisi oleh perusahaan sawit (PT. Ledo Lestari).
Selanjutnya juga terjadi penahanan tiga warga Keruap Pelaik di Kabupaten Melawi atas persoalan yang tidka jauh berbeda. Di Ketapang, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) yang berjuang mempertahankan tanahnya atas konsesi sebuah perusahaan Sawit (PT. BNM) adalah deretan persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Terlebih upaya yang terjadi dan dialami masyarakat adat seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga.
Pihak perusahaan yang mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam melakukan usahanya membuka kasawan hutan untuk perkebunan sawit seringkali menggunakan jargon untuk mensejahterakan rakyat. Warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang sebuah investasi yang akan dibangun dalam suatu daerah. Sedikitnya ada empat mitos yang seringkali dilakukan untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat walaupun dalam kenyataannya dilapangan lebih banyak masuk karena “dipaksakan”.
Keempat hal tersebut adalah; mengenai akan membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat. Keempat dalih pembangunan investasi ini seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain. Keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila kita telaah lebih kritis. Karena pada kenyataannya sesungguhnya, warga kita di daerah pedalaman sana tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan.
Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menorah karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup. Sebaliknya, justeru sesungguhnya pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir. Dalih ini juga terlalu mengada-ada. Yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya. Seakan-akan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan.
Jadi seharusnya tidak ada sistem barter. Rakyat di daerah memang membutuhkan perbaikan jalan, silahkan dibangun oleh Negara (pemerintah). Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga. Demikian halnya juga dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Faktanya saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil. Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki. Demikian juga dalih kesejahteraan. Siapa yang berani menjamin, bila perkebunan masuk dalam suatu wilayah maka warga setempat akan sejahtera?
Kasus yang menimpa dua orang ibu rumah tangga di kampung Sanjan Emberas di Kabupaten Sanggau beberapa waktu lalu yang dikriminalisasi adalah sebuah realita dimana keterbatasan akses terhadap tanah karena telah dikuasai oleh perusahaan. Hanya karena mengambil ”sisa” brondolan sawit yang tidak lagi terpakai, sampai-sampai pihak managemen perusahaan perkebunan sawit memprosesnya hingga ke jalur hukum positif. Pada hal seharusnya bisa diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan. Kondisi ini mengambarkan betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit.
Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) dengan perlindungan sejumlah oknum ”aparat” seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya. Di kampung Sejirak, Kecamatan Ketungau Hilir beberapa waktu lalu, kriminalisasi dialami oleh sebanyak 15 orang warga (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten.
Bila memang harus melapor, maka sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. Atau bahkan dihentikan proses hukum ini! Pihak pelapor juga hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini. Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ”nekad” tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti. Pihak eksekutif juga harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga Sejirak yang dilaporkan oleh pihak PT. Finnantara Intiga (saat ini dimiliki Sinar Mas Groups dan Inhutani III).
Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor. Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Negara melalui pemerintah hendaknya memberikan ruang bagi rakyat untuk melakukan pengelolaan terhadap alat produksinya. Jangan paksakan mereka dengan gaya pembangunan yang justeru mengancam keberadaan ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat.
[Hendrikus Adam, Walhi Kalimantan Barat]
Selanjutnya juga terjadi penahanan tiga warga Keruap Pelaik di Kabupaten Melawi atas persoalan yang tidka jauh berbeda. Di Ketapang, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) yang berjuang mempertahankan tanahnya atas konsesi sebuah perusahaan Sawit (PT. BNM) adalah deretan persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa keberadaan masyarakat adat masih sangat rentan terhadap kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Terlebih upaya yang terjadi dan dialami masyarakat adat seringkali tidak memenuhi rasa keadilan bagi warga.
Pihak perusahaan yang mendapat legalitas dari pemerintah daerah dalam melakukan usahanya membuka kasawan hutan untuk perkebunan sawit seringkali menggunakan jargon untuk mensejahterakan rakyat. Warga selama ini juga seringkali diberikan informasi yang tidak utuh tentang sebuah investasi yang akan dibangun dalam suatu daerah. Sedikitnya ada empat mitos yang seringkali dilakukan untuk mengiming-imingi warga agar sebuah investasi besar bisa diterima oleh masyarakat walaupun dalam kenyataannya dilapangan lebih banyak masuk karena “dipaksakan”.
Keempat hal tersebut adalah; mengenai akan membuka lapangan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat. Keempat dalih pembangunan investasi ini seringkali membuat warga terbuai, sehingga alat produksi penting yang dimiliki seperti tanah akhirnya harus berpindah kepemilikan kepada pihak lain. Keempat hal ini sesungguhnya juga tidak begitu mendasar bila kita telaah lebih kritis. Karena pada kenyataannya sesungguhnya, warga kita di daerah pedalaman sana tidak pernah merasa kekurangan pekerjaan.
Mereka telah terbiasa dengan melakukan kegiatan menorah karet dan melakukan kegiatan pertanian lainnya untuk mempertahankan hidup. Sebaliknya, justeru sesungguhnya pihak perusahaanlah yang membutuhkan tenaga kerja, karena bila tanpa tenaga kerja maka sebuah usaha tidak akan berjalan. Demikian halnya soal membuka daerah terisolir. Dalih ini juga terlalu mengada-ada. Yang namanya memberikan akses kebutuhan dasar bagi rakyat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan juga infrastruktur seperti jalan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya. Seakan-akan ada sistem barter bila membuka daerah terisolir harus dengan membangun perkebunan.
Jadi seharusnya tidak ada sistem barter. Rakyat di daerah memang membutuhkan perbaikan jalan, silahkan dibangun oleh Negara (pemerintah). Namun tidak harus ditukar dengan membabat sumber kehidupan warga dengan perkebunan yang sudah pasti akan membawa sejumlah konsekuensi yang buruk atas keberadaan hutan, tanah dan air yang selama ini diakses oleh warga. Demikian halnya juga dengan dalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Faktanya saat ini PAD dari sektor perkebunan sawit nihil. Malah hanya oknum-oknum tertentu yang diuntungkan, sementara rakyat akhirnya tetap kehilangan tanah dan bahkan tidak lagi menjadi tuan atas apa yang dulunya dimiliki. Demikian juga dalih kesejahteraan. Siapa yang berani menjamin, bila perkebunan masuk dalam suatu wilayah maka warga setempat akan sejahtera?
Kasus yang menimpa dua orang ibu rumah tangga di kampung Sanjan Emberas di Kabupaten Sanggau beberapa waktu lalu yang dikriminalisasi adalah sebuah realita dimana keterbatasan akses terhadap tanah karena telah dikuasai oleh perusahaan. Hanya karena mengambil ”sisa” brondolan sawit yang tidak lagi terpakai, sampai-sampai pihak managemen perusahaan perkebunan sawit memprosesnya hingga ke jalur hukum positif. Pada hal seharusnya bisa diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan. Kondisi ini mengambarkan betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit.
Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) dengan perlindungan sejumlah oknum ”aparat” seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya. Di kampung Sejirak, Kecamatan Ketungau Hilir beberapa waktu lalu, kriminalisasi dialami oleh sebanyak 15 orang warga (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten.
Bila memang harus melapor, maka sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. Atau bahkan dihentikan proses hukum ini! Pihak pelapor juga hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini. Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ”nekad” tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti. Pihak eksekutif juga harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga Sejirak yang dilaporkan oleh pihak PT. Finnantara Intiga (saat ini dimiliki Sinar Mas Groups dan Inhutani III).
Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor. Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Negara melalui pemerintah hendaknya memberikan ruang bagi rakyat untuk melakukan pengelolaan terhadap alat produksinya. Jangan paksakan mereka dengan gaya pembangunan yang justeru mengancam keberadaan ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat.
[Hendrikus Adam, Walhi Kalimantan Barat]
Sabtu, 11 September 2010
Mengungkap Fakta, Meluruskan Informasi Soal Semunying
Pada hari ini, Minggu 29 Agustus 2010 pukul 13.00 wiba - selesai bertempat di Aula Gedung PSE KAP Jalan WR. Supratman Nomor 100, telah dilangsungkan Konferensi Pers mengenai kasus Semunying Jaya dan Pelurusan Informasi oleh warga Semunying Jaya terkait penayangan acara OASIS bertajuk "Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan"
Mengungkap Fakta,
Meluruskan Informasi Soal Semunying
(Pers Release)
Sifat: Untuk disiarkan segera
Perjalanan panjang kasus yang menimpa anak negeri di sekitar Perbatasan yakni warga Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang propinsi Kalimantan Barat terkait dengan ekspansi PT. Ledo Lestari anak perusahaan Duta Palma Group yang sejak awal hadir tanpa permisi kepada warga, belum menemukan penyelesaian. Penyerobotan atas lahan dan kawasan hutan adat milik masyarakat Desa Semunying Jaya untuk perkebunan sawit PT. Ledo Lestari yang mulai beroperasi sejak Maret 2005 itu telah menimbulkan dampak destruktif berupa konflik dan keresahan warga. Bahkan dua orang tokoh masyarakat yang berjuang bersama warganya dalam mempertahankan kedaulatan dan hak-hak (atas hutan-tanah-air) warga setempat sempat dikriminalisasi hingga masuk wisma prodeo (bui) dengan tuduhan pemerasan dan perampasan.
Peran pihak Pemerintah kabupaten Bengkayang dan pihak terkait lainnya diharapkan dapat menyelesaikan persoalan. Namun faktanya, tidaklah demikian. Pemerintah Daerah lamban dan bahkan terkesan mengulur-ulur waktu dalam proses penyelesaian polemik yang terjadi. Dengan memahami duduk persoalan yang dialami warga Desa Semunying Jaya, seharusnya pemerintah Bengkayang yang sesungguhnya memiliki kompetensi malah tidak punya ”taring” dalam memberi solusi bagi warga. Akibatnya, persoalan yang dihadapi warga yang berjuang dan bahkan pernah membawa kasus ini ke Komnas HAM dan sejumlah instansi terkait lainnya malah tak kunjung tuntas. PT. Ledo Lestari sendiri telah habis masa izinnya sejak tahun 2007 sebagaimana ditegaskan surat pejabat Bupati Bengkayang.
Kondisi dan dinamika sosial di lingkungan masyarakat Semunying Jaya yang cenderung menimbulkan gejolak dan sejumlah potensi kerawanan sosial oleh karena dampak dari pembangunan perkebunan sawit (PT. Ledo Lestari) yang merusak kawasan kelola warga dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Singkat kata, kondisi dan dinamika kehidupan masyarakat sejak dibukannya perkebunan monokultur di daerah Semunying Jaya masih ”jauh panggang dari api”. Masih jauh dari harapan dan janji manis (kesejahteraan) seperti yang selama ini diwacanakan oleh para pendukung investasi perkebunan skala besar. Fakta dan realita seperti ini menjadi penting dipahami secara bersama sebagai bentuk kegagalan dari kebijakan pembangunan investasi yang mendapat restu dari pejabat daerah. Namun demikian, fakta dan realita yang terjadi dan dialami warga setempat bisa saja menjadi kabur bila dalam proses penyampaian informasi kepada publik jika mengabaikan nilai objektifitas dan rasa keadilan bagi warga.
Hadirnya suguhan informasi di media massa elektronik swasta nasional (Metro Tv) melalui acara OASIS dengan judul “Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan” yang ditayangkan beberapa waktu terakhir (5 Agustus 2010) terasa menyayat hati. Bahkan dapat menambah kian kompleksnya persoalan yang dihadapi warga Semunying Jaya. Sebuah tayangan yang menampilkan seakan-akan warga Semunying Jaya telah meraih kesejahteraan dengan hadirnya perusahaan sawit selayaknya dikritisi karena telah mengaburkan hakikat dari kondisi yang sesungguhnya. Dengan demikian, keprihatinan mendalam memang sepantasnya dirasakan oleh warga Semunying Jaya khususnya dan oleh warga negeri ini pada umumnya atas penayangan berita tersebut yang justeru berpotensi memicu kian menguatnya polemik (baru) di masyarakat. Penayangan berita dalam program OASIS tersebut berpotensi menimbulkan konflik baru, karena telah menutupi realitas dengan menapikkan kondisi sosial kemasyarakatan di wilayah Desa Semunying Jaya yang sesungguhnya.
”Sebagai Kades Semunying Jaya, saya yang tahu situasi maupun kondisi masyarakat kami di sana. Apa yang disebutkan seakan telah sejahtera itu tidak benar karena tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Kenyataannya saat ini sekitar 99% warga Desa Semunying Jaya kondisinya masih miskin. Telah banyak kasus kami alami sejak masuknya PT. Ledo Lestari yang belum tuntas hingga saat ini. Kami juga tidak pernah mengadakan ritual adat yang merestui permbukaan hutan untuk areal perkebunan PT. Ledo Lestari,” ungkap Momonus, Kades Semunying Jaya.
Pernyataan lainnya juga disampaikan Jamaludin, Nuh Rusmanto dan Abulipah. ”Kami merasa dilecehkan dan merasa malu dengan penayangan soal Semunying Jaya itu. Banyak orang yang menganggap kami telah sejahtera dengan hadirnya PT. Ledo Lestari, tetapi kenyataannya tidak demikian. Hal ini berpotensi memicu konflik antar warga di daerah kami. Media kiranya dapat menyajikan berita yang sesuai dengan fakta dan realita di lapangan,” jelas Jamaludin warga Desa Semunying Jaya yang juga sebagai Wakil BPD.
“Apa yang di tayangkan sangat jauh dari kenyataan yang ada di Semunying Jaya,” sambung Nuh Rusmanto yang juga Ketua BPD Semunying Jaya. Sedangkan Abulipah yang juga Sekdes Semunying Jaya mengatakan; “Kami sebagai masyarakat sangat terpukul sekali dengan penayangan liputan tersebut, karena kenyataannya tidak demikian. Justeru, kondisi ekonomi masyarakat Semunying Jaya masih jauh lebih baik sebelum perusahaan masuk di daerah kami,” ungkapnya.
Sebagai manusia yang dianugerahi naluri, pernyataan warga Desa Semunying Jaya ini sungguh naluriah sebagai bentuk kegelisahan. Terlebih bila peliputan video tayangan program OASIS di Metro Tv itu tanpa sepengetahuan pemerintah di Desa. Tanpa harus dijelaskan, bila kita berada pada posisi sebagai warga Semunying Jaya pun perasaan prihatin dengan pemberitaan yang tidak sesuai kenyataan pasti akan dialami.
Tentu saja harus diakui bahwa hadirnya sejumlah penayangan dan pemberitaan oleh media massa selama ini telah banyak membantu khususnya dalam menyuguhkan berbagai informasi kepada khalayak ramai. Namun demikian, masyarakat umum pun kiranya perlu dididik dan dicerdaskan melalui penayangan maupun pemberitaan media massa yang ada dengan menyajikan fakta maupun realita secara objektif dan bukan malah ”mengarang” sebuah pemberitaan tendensius dan “menyesatkan”.
Guna mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan atas fakta dan realita dimaksud, maka kami memandang perlulah kiranya meluruskan informasi terkait dengan kondisi yang dialami warga Semunying Jaya seperti yang ditayangkan oleh Metro Tv melalui acara OASIS tersebut dengan sejumlah argumentasi sebagai berikut;
1. Bahwa dalam liputan program OASIS ”Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan” lebih banyak menyorot lokasi kebun sawit milik PT. Ceria Prima yang terletak di Desa Kalon, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang. Dan bukan berada di Desa Semunying Jaya. Perlu diketahui bahwa kebun sawit yang berada di Desa Semunying Jaya baru usia 3 tahun tanam (belum produktif).
2. Perlu diketahui bersama bahwa salah satu narasumber yang bernama Supardi bukan warga Desa Semunying Jaya, melainkan warga Pasir Putih, Kecamatan Seluas yang berprofesi sebagai Humas PT. Ledo Lestari.
3. Bahwa jembatan yang ditampilkan dalam tayangan liputan program acara OASIS di Metro Tv tersebut, bukan berada di Desa Semunying Jaya, melainkan berada di Desa Sinar Baru.
4. Bangunan Masjid yang terlihat dalam tayangan liputan tersebut bukan berada di Desa Semunying Jaya, tetapi berada di Desa Kalon, Kecamatan Seluas. Tidak ada bangunan Masjid di Desa Semunying Jaya, mayoritas penganut agama Kristiani.
5. Bahwa gedung Sekolah Dasar (SD) dan proses belajar mengajar yang diliput bukan berada di Desa Semunying Jaya, tetapi berada di Desa Sinar Baru dan Desa Kalon, Kecamatan Seluas.
6. Bahwa usaha koperasi yang diliput dalam program OASIS tersebut merupakan koperasi milik PT. Ceria Prima yang berada di Desa Kalon, kecamatan Seluas. Bukan di Desa Semunying Jaya.
7. Bahwa tidak ada pembukaan lahan perkebunan sawit oleh PT. Ledo Lestari yang dilakukan secara adat seperti yang di tuturkan oleh narasumber (Pak Dum Jampung).
8. Bahwa perumahan yang dibangun oleh perusahaan (sebanyak 22 unit) sebagaimana ditayangkan merupakan bagian dari motif perusahaan untuk memindahkan warga Semunying Bungkang (RT. 02), sementara lokasi (perkarangan) rumah lama warga setempat akan dijadikan lahan kebun sawit oleh pihak perusahaan. Masih ada 6 KK yang bertahan, tidak mau menyerahkan pekarangan rumah mereka.
9. Pernyataan Supardi yang mengatakan bahwa; ”jarak tempuh dari Semunying Bungkang ke kota Bengkayang dulunya di tempuh dalam 1 Minggu, namun setelah perusahaan masuk bisa ditempuh dalam waktu 2 jam” adalah tidak mendasar. Karena faktanya, jarak tempuh dari Semunying Bungkang ke kota Bengkayang saat ini bila menggunakan sepeda motor saja membutuhkan waktu tempuh selama ± 5 jam.
Sejumlah poin argumentasi ini hendaknya dapat menjadi catatan penting untuk meluruskan informasi yang cenderung mengaburkan fakta dan realita yang sejatinya dialami warga Semunying Jaya. Hendaknya hal ini dapat menjadi pelajaran dan ”peringatan” bersama semua pihak, khususnya kalangan perusahaan media massa agar dapat lebih objektif dan profesional menyajikan informasi yang mendidik dan mencerdaskan masyarakat.
Dengan demikian, kiranya berbagai pihak terkait (Pemerintah, legislatif, Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Forum RSPO, lembaga keuangan yang mendanai investasi perusahaan, pembeli CPO/buyer, pihak penegak hukum, dll) diharapkan dapat mengambil tindakan tegas dan serius sesuai peran maupun kewenangannya atas kondisi yang memprihatinkan ini. Pemerintah Pusat juga selayaknya mengkaji mega proyek sawit perbatasan yang pada realitanya justeru cenderung mendiskriminasi seperti yang dialami warga Desa Semunying Jaya.
Pemerintah Daerah dan pihak terkait lainnya yang berkompeten hendaknya dapat segera menuntaskan masalah yang di hadapi warga. Kondisi Semunying Jaya kini tak se ”jaya” namanya. Masyarakat Semunying Jaya adalah bagian dari anak negeri ini yang ingin tetap berdaulat atas pengelolaan sumber daya alam dan dihargai seperti warga negara lainnya. Kembalikan kejayaan dan kedaulatan warga Semunying Jaya!
Pontianak, 29 Agustus 2010
Warga Semunying Jaya:
Mengungkap Fakta,
Meluruskan Informasi Soal Semunying
(Pers Release)
Sifat: Untuk disiarkan segera
Perjalanan panjang kasus yang menimpa anak negeri di sekitar Perbatasan yakni warga Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang propinsi Kalimantan Barat terkait dengan ekspansi PT. Ledo Lestari anak perusahaan Duta Palma Group yang sejak awal hadir tanpa permisi kepada warga, belum menemukan penyelesaian. Penyerobotan atas lahan dan kawasan hutan adat milik masyarakat Desa Semunying Jaya untuk perkebunan sawit PT. Ledo Lestari yang mulai beroperasi sejak Maret 2005 itu telah menimbulkan dampak destruktif berupa konflik dan keresahan warga. Bahkan dua orang tokoh masyarakat yang berjuang bersama warganya dalam mempertahankan kedaulatan dan hak-hak (atas hutan-tanah-air) warga setempat sempat dikriminalisasi hingga masuk wisma prodeo (bui) dengan tuduhan pemerasan dan perampasan.
Peran pihak Pemerintah kabupaten Bengkayang dan pihak terkait lainnya diharapkan dapat menyelesaikan persoalan. Namun faktanya, tidaklah demikian. Pemerintah Daerah lamban dan bahkan terkesan mengulur-ulur waktu dalam proses penyelesaian polemik yang terjadi. Dengan memahami duduk persoalan yang dialami warga Desa Semunying Jaya, seharusnya pemerintah Bengkayang yang sesungguhnya memiliki kompetensi malah tidak punya ”taring” dalam memberi solusi bagi warga. Akibatnya, persoalan yang dihadapi warga yang berjuang dan bahkan pernah membawa kasus ini ke Komnas HAM dan sejumlah instansi terkait lainnya malah tak kunjung tuntas. PT. Ledo Lestari sendiri telah habis masa izinnya sejak tahun 2007 sebagaimana ditegaskan surat pejabat Bupati Bengkayang.
Kondisi dan dinamika sosial di lingkungan masyarakat Semunying Jaya yang cenderung menimbulkan gejolak dan sejumlah potensi kerawanan sosial oleh karena dampak dari pembangunan perkebunan sawit (PT. Ledo Lestari) yang merusak kawasan kelola warga dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Singkat kata, kondisi dan dinamika kehidupan masyarakat sejak dibukannya perkebunan monokultur di daerah Semunying Jaya masih ”jauh panggang dari api”. Masih jauh dari harapan dan janji manis (kesejahteraan) seperti yang selama ini diwacanakan oleh para pendukung investasi perkebunan skala besar. Fakta dan realita seperti ini menjadi penting dipahami secara bersama sebagai bentuk kegagalan dari kebijakan pembangunan investasi yang mendapat restu dari pejabat daerah. Namun demikian, fakta dan realita yang terjadi dan dialami warga setempat bisa saja menjadi kabur bila dalam proses penyampaian informasi kepada publik jika mengabaikan nilai objektifitas dan rasa keadilan bagi warga.
Hadirnya suguhan informasi di media massa elektronik swasta nasional (Metro Tv) melalui acara OASIS dengan judul “Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan” yang ditayangkan beberapa waktu terakhir (5 Agustus 2010) terasa menyayat hati. Bahkan dapat menambah kian kompleksnya persoalan yang dihadapi warga Semunying Jaya. Sebuah tayangan yang menampilkan seakan-akan warga Semunying Jaya telah meraih kesejahteraan dengan hadirnya perusahaan sawit selayaknya dikritisi karena telah mengaburkan hakikat dari kondisi yang sesungguhnya. Dengan demikian, keprihatinan mendalam memang sepantasnya dirasakan oleh warga Semunying Jaya khususnya dan oleh warga negeri ini pada umumnya atas penayangan berita tersebut yang justeru berpotensi memicu kian menguatnya polemik (baru) di masyarakat. Penayangan berita dalam program OASIS tersebut berpotensi menimbulkan konflik baru, karena telah menutupi realitas dengan menapikkan kondisi sosial kemasyarakatan di wilayah Desa Semunying Jaya yang sesungguhnya.
”Sebagai Kades Semunying Jaya, saya yang tahu situasi maupun kondisi masyarakat kami di sana. Apa yang disebutkan seakan telah sejahtera itu tidak benar karena tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Kenyataannya saat ini sekitar 99% warga Desa Semunying Jaya kondisinya masih miskin. Telah banyak kasus kami alami sejak masuknya PT. Ledo Lestari yang belum tuntas hingga saat ini. Kami juga tidak pernah mengadakan ritual adat yang merestui permbukaan hutan untuk areal perkebunan PT. Ledo Lestari,” ungkap Momonus, Kades Semunying Jaya.
Pernyataan lainnya juga disampaikan Jamaludin, Nuh Rusmanto dan Abulipah. ”Kami merasa dilecehkan dan merasa malu dengan penayangan soal Semunying Jaya itu. Banyak orang yang menganggap kami telah sejahtera dengan hadirnya PT. Ledo Lestari, tetapi kenyataannya tidak demikian. Hal ini berpotensi memicu konflik antar warga di daerah kami. Media kiranya dapat menyajikan berita yang sesuai dengan fakta dan realita di lapangan,” jelas Jamaludin warga Desa Semunying Jaya yang juga sebagai Wakil BPD.
“Apa yang di tayangkan sangat jauh dari kenyataan yang ada di Semunying Jaya,” sambung Nuh Rusmanto yang juga Ketua BPD Semunying Jaya. Sedangkan Abulipah yang juga Sekdes Semunying Jaya mengatakan; “Kami sebagai masyarakat sangat terpukul sekali dengan penayangan liputan tersebut, karena kenyataannya tidak demikian. Justeru, kondisi ekonomi masyarakat Semunying Jaya masih jauh lebih baik sebelum perusahaan masuk di daerah kami,” ungkapnya.
Sebagai manusia yang dianugerahi naluri, pernyataan warga Desa Semunying Jaya ini sungguh naluriah sebagai bentuk kegelisahan. Terlebih bila peliputan video tayangan program OASIS di Metro Tv itu tanpa sepengetahuan pemerintah di Desa. Tanpa harus dijelaskan, bila kita berada pada posisi sebagai warga Semunying Jaya pun perasaan prihatin dengan pemberitaan yang tidak sesuai kenyataan pasti akan dialami.
Tentu saja harus diakui bahwa hadirnya sejumlah penayangan dan pemberitaan oleh media massa selama ini telah banyak membantu khususnya dalam menyuguhkan berbagai informasi kepada khalayak ramai. Namun demikian, masyarakat umum pun kiranya perlu dididik dan dicerdaskan melalui penayangan maupun pemberitaan media massa yang ada dengan menyajikan fakta maupun realita secara objektif dan bukan malah ”mengarang” sebuah pemberitaan tendensius dan “menyesatkan”.
Guna mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan atas fakta dan realita dimaksud, maka kami memandang perlulah kiranya meluruskan informasi terkait dengan kondisi yang dialami warga Semunying Jaya seperti yang ditayangkan oleh Metro Tv melalui acara OASIS tersebut dengan sejumlah argumentasi sebagai berikut;
1. Bahwa dalam liputan program OASIS ”Menggapai Kesejahteraan di Perbatasan” lebih banyak menyorot lokasi kebun sawit milik PT. Ceria Prima yang terletak di Desa Kalon, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang. Dan bukan berada di Desa Semunying Jaya. Perlu diketahui bahwa kebun sawit yang berada di Desa Semunying Jaya baru usia 3 tahun tanam (belum produktif).
2. Perlu diketahui bersama bahwa salah satu narasumber yang bernama Supardi bukan warga Desa Semunying Jaya, melainkan warga Pasir Putih, Kecamatan Seluas yang berprofesi sebagai Humas PT. Ledo Lestari.
3. Bahwa jembatan yang ditampilkan dalam tayangan liputan program acara OASIS di Metro Tv tersebut, bukan berada di Desa Semunying Jaya, melainkan berada di Desa Sinar Baru.
4. Bangunan Masjid yang terlihat dalam tayangan liputan tersebut bukan berada di Desa Semunying Jaya, tetapi berada di Desa Kalon, Kecamatan Seluas. Tidak ada bangunan Masjid di Desa Semunying Jaya, mayoritas penganut agama Kristiani.
5. Bahwa gedung Sekolah Dasar (SD) dan proses belajar mengajar yang diliput bukan berada di Desa Semunying Jaya, tetapi berada di Desa Sinar Baru dan Desa Kalon, Kecamatan Seluas.
6. Bahwa usaha koperasi yang diliput dalam program OASIS tersebut merupakan koperasi milik PT. Ceria Prima yang berada di Desa Kalon, kecamatan Seluas. Bukan di Desa Semunying Jaya.
7. Bahwa tidak ada pembukaan lahan perkebunan sawit oleh PT. Ledo Lestari yang dilakukan secara adat seperti yang di tuturkan oleh narasumber (Pak Dum Jampung).
8. Bahwa perumahan yang dibangun oleh perusahaan (sebanyak 22 unit) sebagaimana ditayangkan merupakan bagian dari motif perusahaan untuk memindahkan warga Semunying Bungkang (RT. 02), sementara lokasi (perkarangan) rumah lama warga setempat akan dijadikan lahan kebun sawit oleh pihak perusahaan. Masih ada 6 KK yang bertahan, tidak mau menyerahkan pekarangan rumah mereka.
9. Pernyataan Supardi yang mengatakan bahwa; ”jarak tempuh dari Semunying Bungkang ke kota Bengkayang dulunya di tempuh dalam 1 Minggu, namun setelah perusahaan masuk bisa ditempuh dalam waktu 2 jam” adalah tidak mendasar. Karena faktanya, jarak tempuh dari Semunying Bungkang ke kota Bengkayang saat ini bila menggunakan sepeda motor saja membutuhkan waktu tempuh selama ± 5 jam.
Sejumlah poin argumentasi ini hendaknya dapat menjadi catatan penting untuk meluruskan informasi yang cenderung mengaburkan fakta dan realita yang sejatinya dialami warga Semunying Jaya. Hendaknya hal ini dapat menjadi pelajaran dan ”peringatan” bersama semua pihak, khususnya kalangan perusahaan media massa agar dapat lebih objektif dan profesional menyajikan informasi yang mendidik dan mencerdaskan masyarakat.
Dengan demikian, kiranya berbagai pihak terkait (Pemerintah, legislatif, Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, Forum RSPO, lembaga keuangan yang mendanai investasi perusahaan, pembeli CPO/buyer, pihak penegak hukum, dll) diharapkan dapat mengambil tindakan tegas dan serius sesuai peran maupun kewenangannya atas kondisi yang memprihatinkan ini. Pemerintah Pusat juga selayaknya mengkaji mega proyek sawit perbatasan yang pada realitanya justeru cenderung mendiskriminasi seperti yang dialami warga Desa Semunying Jaya.
Pemerintah Daerah dan pihak terkait lainnya yang berkompeten hendaknya dapat segera menuntaskan masalah yang di hadapi warga. Kondisi Semunying Jaya kini tak se ”jaya” namanya. Masyarakat Semunying Jaya adalah bagian dari anak negeri ini yang ingin tetap berdaulat atas pengelolaan sumber daya alam dan dihargai seperti warga negara lainnya. Kembalikan kejayaan dan kedaulatan warga Semunying Jaya!
Pontianak, 29 Agustus 2010
Warga Semunying Jaya:
Hentikan Kriminalisasi Terhadap MA!
Oleh Hendrikus Adam*
Keberadaan masyarakat di daerah pedalaman khususnya Masyarakat Adat (MA) adalah bagian dari warga di republik ini yang memiliki hak yang sama untuk diperlakukan sebagaimana mestinya secara beradab. Hal ini didasarkan pada pemahaman universal yang harusnya mengakar dalam pemahaman yang sama bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai makhluk ciptaanNya. Sehingga dengan demikian selayaknya dihargai.
Keberadaan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari segala potensi sumber daya alam yang ada di perut bumi adalah sebuah realitas dari kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Bagi masyarakat Dayak khususnya, berbagai aspek kehidupan seperti hutan; tanah dan air merupakan tiga komponen sumber hidup dan kehidupan yang sangat vital sebagaI penunjang keberlangsungan hidup. Hutan, tanah dan air merupakan ”apotik” dan ”supermarket” bagi masyarakat adat. Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antar satu sama lain.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan iklim investasi atas nama pembangunan dengan dalih kesejahteraan dalam berbagai bidang kehidupan yang disertai dengan ”nafsu serakah” dari segelintir oknum tertentu saja, kekayaan sumber daya alam disekitar lingkungan tempat tinggal yang merupakan wilayah kelola masyarakat adat kini terancam. Masyarakat adat ”dipaksa” dan terpisah dari sumber hidup dan kehidupanya (hutan-tanah-air). Aset sumber daya alam rakyat berangsur-angsur mengalami kepunahan.
Masuknya investasi perkebunan skala besar dalam bentuk apapun (perkebunan sawit, HTI dan lainnya) diwilayah kelola masyarakat adat yang sejak belasan bahkan puluhan tahun silam dan hingga kini, marak dilakukan sebagai buah dari kebijakan penguasa karena telah memberikan perizinan tanpa memberikan informasi yang utuh bagi masyarakat akhirnya melahirkan sejumlah konsekuensi logis. Juga bahkan berakhir tragis dan memprihatinkan. Pasti dapat dibayangkan ketika akses sumber daya alam di wilayah kelola warga dikuras untuk kepentingan pemodal, maka yang terjadi masyarakat setempat kehilangan sumber hidup dan kehidupannya. Hutan, tanah dan air yang awalnya utuh harus berubah menjadi hamparan tanaman yang sesungguhnya tidak biasa dengan kondisi masyarakat lokal. Bahkan sumber air menjadi rusak dan tanah tidak lagi menjadi hak milik karena ”diambil” para spekulan yang mengaku menanamkan investasi. Celakanya, masyarakat adat yang kemudian sadar melakukan perlawanan menolak masuknya investasi namun disadari akan mengancam keberadaan wilayah kelola mereka seringkali dianggap sebagai pihak yang kolot, bodoh dan tidak tahu diuntung. Bahkan dianggap menolak pembangunan. Adalah benar bahwa masyarakat adat menolak pembangunan yakni pembangunan yang menindas dan mengancam kehidupan dan masa depan mereka.
Sejumlah istilah-istilah yang kemudian berpotensi ”membodohi” seringkali digunakan untuk menjebak dan membuat warga sebagai pemilik lahan kelola terbuai dan bahkan tidak berdaya, seringkali disuguhkan seperti; lahan tidur, tanah negara, orang gajian, karyawan, kantor, upah dan istilah lainnnya. Istilah-istilah ini harusnya disadari oleh warga kita saat ini. Terasa sangat aneh misalnya ketika ada pihak lain yang seakan ”risih” dan kemudian mengatakan bahwa lahan kelola disekitar masyarakat dianggap sebagai ”lahan tidur” dan juga seringkali mengklaim bahwa tanah yang dipertahankan rakyat adalah tanah negara. Tanah memang organ vital sebagai sumber produksi penting bagi kelangsungan hidup warga. Namun demikian, harusnya tidak perlu ada”oknum para spekulan” yang merasa risih ketika hutan-tanah-air yang ada disekitar perkampungan masyarakat tetap alami dan apa adanya disaat masyarakat setempat masih mengandalkan sumber kehidupan dengan cara yang dilakukan selama ini seperti menoreh, bertani, berburu dan lainnya. Karena tanah yang dianggap ”lahan tidur” itu juga pada akhirnya akan dikelola oleh karena keluarga mereka akan terus bertambah dari waktu kewaktu. Sikap menjaga hutan-tanah-air dengan tidak menghabiskan/menghabiskan segala potensi sumber daya alam yang ada seperti ini harusnya diapresiasi oleh berbagai pihak (termasuk penguasa) sebagai bentuk dari kebijakan dan ketidakserakahan masyarakat adat, namun tetap berorientasi pada masa depan.
Demikian pula dengan istilah-istilah seperti; orang gajian, karyawan, kantor, upah dan istilah lainnnya yang harus diakui sebagai bagian dari ”jurus” para spekulan untuk membuai rakyat pemilik lahan kelola, namun seringkali tidak pernah disadari. Dengan sebutan dari istilah seperti ini seringkali membuat warga merasa sebagai orang yang memiliki ”kelas sosial” yang tinggi, sekalipun hasil keringat yang diterima masih jauh dari harapan. Namun demikian, perlu disadari bahwa apapun istilah yang digunakan dalam dunia investasi skala besar yang menyertakan sekelompok orang menjadi tenaga kerja bahwa posisi mereka sesungguhnya adalah sebagai buruh. Tentu kondisi ini sangat berbeda dengan keberadaan seseorang atau sejumlah orang-orang yang berpropesi sebagai petani karet yang juga biasanya melakukan aktifitas berladang, mereka bukan hanya sebagai pemilik namun juga sebagai tuan atas usahanya sendiri. Ini berarti bahwa setiap orang yang bekerja sebagai petani karet tidak perlu merasa rendah diri, sebaliknya tetap banggalah dengan predikat ini.
Atas berbagai dinamika dan sejumlah motif yang dilakukan para spekulan, rakyat dituntut untuk mawas diri dan berhati-hati. Dengan demikian layak kiranya kita ragukan niat baiknya bila ada para spekulan maupun pihak asing yang merasa ”risih” dengan hutan-tanah-air yang dimiliki masyarakat adat saat ini. Sebuah refleksi berikut kiranya pantas menjadi catatan penting: Salahkah bila kondisi HUTAN yang ada disekitar lingkungan masyarakat adat tetap utuh?; Salahkah bila TANAH yang ada tetap dimiliki oleh rakyat tanpa harus diserahkan pada para spekulan?; Salahkah bila kondisi AIR (sungai dan berbagai sumber air) yang ada tetap bening dengan kesejukan alaminya? Tentu, ketiga sumber hidup dan kehidupan ini diharapkan tetap menjadi kebanggaan kita bukan? Dan hanya orang serakah yang akan menyangkal dan mengatakan tidak setuju dengan sejumlah pertanyaan refleksi tersebut.
Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Kasus Penangkapan dua warga Semunying Jaya (Momonus-Jamaludin) tahun 2006 silam di Bengkayang, penahanan tiga warga Keruap Pelaik di Melawi, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) di Ketapang yang berjuang mempertahankan tanahnya adalah sejumlah persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa peran negara masih sangat rapuh dalam melindungi hak-hak warganya. Demikian halnya dengan kriminalisasi terhadap dua orang ibu rumah tangga di Sanggau yang mengambil ”sisa” brondolan sawit yang tidak lagi terpakai adalah sisi lain dari sebuah realitas yang terjadi akhir-akhir ini, betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit. Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) dengan perlindungan sejumlah oknum ”aparat” seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya.
Di Sintang, kriminalisasi oleh pihak pemodal (PT. Finnantara Intiga yang saat ini dimiliki Sinar Mas Groups dan Inhutani III) juga dialami 15 orang warga Sejirak (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten. Bila memang harus melapor, maka sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. Atau bahkan dihentikan proses hukum ini! Pihak pelapor juga hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini.
Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ”nekad” tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti. Pihak eksekutif juga harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga.
Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor. Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Masyarakat Adat selayaknya dihargai sebagai bagian dari anak negeri yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Jangan ada perlakuan yang tidak adil bagi rakyat. Upaya untuk menghentikan kriminalisasi terhadap warga negeri ini hendaknya massif dilakukan ketika negara dianggap tidak lagi menjadi pelindung bagi rakyat. Perjuangan harus dimulai dengan kesadaran bahwa ketika rakyat bersatu, tak bisa di kalahkan!
*) Aktifis di lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat
Keberadaan masyarakat di daerah pedalaman khususnya Masyarakat Adat (MA) adalah bagian dari warga di republik ini yang memiliki hak yang sama untuk diperlakukan sebagaimana mestinya secara beradab. Hal ini didasarkan pada pemahaman universal yang harusnya mengakar dalam pemahaman yang sama bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai makhluk ciptaanNya. Sehingga dengan demikian selayaknya dihargai.
Keberadaan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari segala potensi sumber daya alam yang ada di perut bumi adalah sebuah realitas dari kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Bagi masyarakat Dayak khususnya, berbagai aspek kehidupan seperti hutan; tanah dan air merupakan tiga komponen sumber hidup dan kehidupan yang sangat vital sebagaI penunjang keberlangsungan hidup. Hutan, tanah dan air merupakan ”apotik” dan ”supermarket” bagi masyarakat adat. Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antar satu sama lain.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan iklim investasi atas nama pembangunan dengan dalih kesejahteraan dalam berbagai bidang kehidupan yang disertai dengan ”nafsu serakah” dari segelintir oknum tertentu saja, kekayaan sumber daya alam disekitar lingkungan tempat tinggal yang merupakan wilayah kelola masyarakat adat kini terancam. Masyarakat adat ”dipaksa” dan terpisah dari sumber hidup dan kehidupanya (hutan-tanah-air). Aset sumber daya alam rakyat berangsur-angsur mengalami kepunahan.
Masuknya investasi perkebunan skala besar dalam bentuk apapun (perkebunan sawit, HTI dan lainnya) diwilayah kelola masyarakat adat yang sejak belasan bahkan puluhan tahun silam dan hingga kini, marak dilakukan sebagai buah dari kebijakan penguasa karena telah memberikan perizinan tanpa memberikan informasi yang utuh bagi masyarakat akhirnya melahirkan sejumlah konsekuensi logis. Juga bahkan berakhir tragis dan memprihatinkan. Pasti dapat dibayangkan ketika akses sumber daya alam di wilayah kelola warga dikuras untuk kepentingan pemodal, maka yang terjadi masyarakat setempat kehilangan sumber hidup dan kehidupannya. Hutan, tanah dan air yang awalnya utuh harus berubah menjadi hamparan tanaman yang sesungguhnya tidak biasa dengan kondisi masyarakat lokal. Bahkan sumber air menjadi rusak dan tanah tidak lagi menjadi hak milik karena ”diambil” para spekulan yang mengaku menanamkan investasi. Celakanya, masyarakat adat yang kemudian sadar melakukan perlawanan menolak masuknya investasi namun disadari akan mengancam keberadaan wilayah kelola mereka seringkali dianggap sebagai pihak yang kolot, bodoh dan tidak tahu diuntung. Bahkan dianggap menolak pembangunan. Adalah benar bahwa masyarakat adat menolak pembangunan yakni pembangunan yang menindas dan mengancam kehidupan dan masa depan mereka.
Sejumlah istilah-istilah yang kemudian berpotensi ”membodohi” seringkali digunakan untuk menjebak dan membuat warga sebagai pemilik lahan kelola terbuai dan bahkan tidak berdaya, seringkali disuguhkan seperti; lahan tidur, tanah negara, orang gajian, karyawan, kantor, upah dan istilah lainnnya. Istilah-istilah ini harusnya disadari oleh warga kita saat ini. Terasa sangat aneh misalnya ketika ada pihak lain yang seakan ”risih” dan kemudian mengatakan bahwa lahan kelola disekitar masyarakat dianggap sebagai ”lahan tidur” dan juga seringkali mengklaim bahwa tanah yang dipertahankan rakyat adalah tanah negara. Tanah memang organ vital sebagai sumber produksi penting bagi kelangsungan hidup warga. Namun demikian, harusnya tidak perlu ada”oknum para spekulan” yang merasa risih ketika hutan-tanah-air yang ada disekitar perkampungan masyarakat tetap alami dan apa adanya disaat masyarakat setempat masih mengandalkan sumber kehidupan dengan cara yang dilakukan selama ini seperti menoreh, bertani, berburu dan lainnya. Karena tanah yang dianggap ”lahan tidur” itu juga pada akhirnya akan dikelola oleh karena keluarga mereka akan terus bertambah dari waktu kewaktu. Sikap menjaga hutan-tanah-air dengan tidak menghabiskan/menghabiskan segala potensi sumber daya alam yang ada seperti ini harusnya diapresiasi oleh berbagai pihak (termasuk penguasa) sebagai bentuk dari kebijakan dan ketidakserakahan masyarakat adat, namun tetap berorientasi pada masa depan.
Demikian pula dengan istilah-istilah seperti; orang gajian, karyawan, kantor, upah dan istilah lainnnya yang harus diakui sebagai bagian dari ”jurus” para spekulan untuk membuai rakyat pemilik lahan kelola, namun seringkali tidak pernah disadari. Dengan sebutan dari istilah seperti ini seringkali membuat warga merasa sebagai orang yang memiliki ”kelas sosial” yang tinggi, sekalipun hasil keringat yang diterima masih jauh dari harapan. Namun demikian, perlu disadari bahwa apapun istilah yang digunakan dalam dunia investasi skala besar yang menyertakan sekelompok orang menjadi tenaga kerja bahwa posisi mereka sesungguhnya adalah sebagai buruh. Tentu kondisi ini sangat berbeda dengan keberadaan seseorang atau sejumlah orang-orang yang berpropesi sebagai petani karet yang juga biasanya melakukan aktifitas berladang, mereka bukan hanya sebagai pemilik namun juga sebagai tuan atas usahanya sendiri. Ini berarti bahwa setiap orang yang bekerja sebagai petani karet tidak perlu merasa rendah diri, sebaliknya tetap banggalah dengan predikat ini.
Atas berbagai dinamika dan sejumlah motif yang dilakukan para spekulan, rakyat dituntut untuk mawas diri dan berhati-hati. Dengan demikian layak kiranya kita ragukan niat baiknya bila ada para spekulan maupun pihak asing yang merasa ”risih” dengan hutan-tanah-air yang dimiliki masyarakat adat saat ini. Sebuah refleksi berikut kiranya pantas menjadi catatan penting: Salahkah bila kondisi HUTAN yang ada disekitar lingkungan masyarakat adat tetap utuh?; Salahkah bila TANAH yang ada tetap dimiliki oleh rakyat tanpa harus diserahkan pada para spekulan?; Salahkah bila kondisi AIR (sungai dan berbagai sumber air) yang ada tetap bening dengan kesejukan alaminya? Tentu, ketiga sumber hidup dan kehidupan ini diharapkan tetap menjadi kebanggaan kita bukan? Dan hanya orang serakah yang akan menyangkal dan mengatakan tidak setuju dengan sejumlah pertanyaan refleksi tersebut.
Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Kasus Penangkapan dua warga Semunying Jaya (Momonus-Jamaludin) tahun 2006 silam di Bengkayang, penahanan tiga warga Keruap Pelaik di Melawi, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) di Ketapang yang berjuang mempertahankan tanahnya adalah sejumlah persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa peran negara masih sangat rapuh dalam melindungi hak-hak warganya. Demikian halnya dengan kriminalisasi terhadap dua orang ibu rumah tangga di Sanggau yang mengambil ”sisa” brondolan sawit yang tidak lagi terpakai adalah sisi lain dari sebuah realitas yang terjadi akhir-akhir ini, betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit. Pendekatan keamanan dengan menempuh jalur hukum negara (positif) dengan perlindungan sejumlah oknum ”aparat” seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh bagi investor guna melindungi usahanya.
Di Sintang, kriminalisasi oleh pihak pemodal (PT. Finnantara Intiga yang saat ini dimiliki Sinar Mas Groups dan Inhutani III) juga dialami 15 orang warga Sejirak (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka. Selama 15 hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten. Bila memang harus melapor, maka sedianya pihak terkait dapat lebih bijak memberikan keringanan masa wajib lapor sekali dalam sebulan misalnya. Atau bahkan dihentikan proses hukum ini! Pihak pelapor juga hendaknya tidak memaksakan kehendak tanpa melakukan koreksi atas kinerja manajemen yang dilakukan selama ini.
Latar belakang yang menjadikan warga melakukan tindakan ”nekad” tersebut harusnya dilihat secara jernih dan hendaknya menjadi dasar dari proses penyelesaian persoalan yang terjadi. Keterbatasan lahan pertanian untuk bercocok tanam, sikap tertutup pihak perusahaan, kinerja perusahaan yang justeru dirasakan warga tidak memberikan kontribusi dan ketidakkonsistenan terhadap kesepakatan bersama adalah sejumlah realitas yang mesti menjadi catatan krusial dan harus tetap dilihat untuk diselesaikan meskipun proses hukum suatu ketika akhirnya terhenti. Pihak eksekutif juga harus sigap menyikapi persoalan betapa perihnya kondisi yang dialami warga.
Persoalan yang menimpa warga Sejirak di Kecamatan Ketungau Hilir ini kiranya dapat menggugah semua pihak untuk dapat melakukan refleksi dan kajian yang utuh atas keberadaan masyarakat adat yang begitu rentan terhadap perlakuan yang jauh dari rasa keadilan, disaat hutan-tanah-air yang dimiliki telah dominan dikuasai oleh para spekulan/investor. Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Masyarakat Adat selayaknya dihargai sebagai bagian dari anak negeri yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Jangan ada perlakuan yang tidak adil bagi rakyat. Upaya untuk menghentikan kriminalisasi terhadap warga negeri ini hendaknya massif dilakukan ketika negara dianggap tidak lagi menjadi pelindung bagi rakyat. Perjuangan harus dimulai dengan kesadaran bahwa ketika rakyat bersatu, tak bisa di kalahkan!
*) Aktifis di lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat
Langganan:
Postingan (Atom)