Rabu, 19 Januari 2011

Outlook Lingkungan Kalbar 2010

Rabu, 05 Januari 2011 , 07:05:00

Oleh : Hendi Candra

Pulau Borneo memiliki dioversity paling lengkap di dunia yang salah satu ciri khas utamanya adalah hutan hujan tropis, dan Kalimantan Barat terletak tepat di garis equator. Sehingga mata dunia internasional tertuju ke pulau yang indah dan kaya ini. Kalbar dengan luas 14 juta hektar memiliki luas hamparan gambut 1,7 juta hektar dengan luas kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah 9 juta hektar dan memiliki 27 wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan luas 14, 86 juta hektar. Maka tidak heran Kalbar disebut-sebut sebagai kota seribu sungai. Namun sangat disayangkan, kawasan hutan yang dimaksud sebagian besar bukan merupakan tegakan hutan lagi karena sudah beralih fungsi.

Masalah Lingkungan Kalbar
Sebagian besar kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik Nasional maupun Kalimantan Barat khususnya, selalu bersentuhan langsung dengan lingkungan hidup karena untuk meningkatkan pendapatan Negara masih mengambil sebesar-besarnya isi alam. Baik itu eksploitasi kayu legal dan illegal, kegiatan tambang legal dan illegal maupun aktivitas kebun monokultur skala besar yang mengkonversi tegakan hutan alam dan gambut. Kenapa dikatakan eksploitatif ? Karena sebagian besar belum ada bentuk pemulihan lingkungan, dan yang ada hanyalah meninggalkan bekas-bekas kerusakan, mewariskan bencana dan konflik sosial di masyarakat. Masyarakat di kampung semakin takut untuk berusaha dan mempertahankan haknya karena terancam kriminalisasi.

Konversi hutan untuk perkebunan sawit skala besar di Kalimantan Barat masih menjadi menu utama di tahun 2010 dan merupakan tersangka utama penyebab hilangnya tegakan hutan dan konflik lahan dengan masyarakat. Isu tambang juga menjadi masalah yang selalu dibahas pada tahun 2010, karena menyangkut kualitas dan kuantitas air di sungai utama yaitu sungai Kapuas yang memiliki panjang 1.086 km dan melintasi 5 Kabupaten dan Kota. Namun aktivitas tambang yang kurang bersahabat dengan lingkungan ini hampir terdapat di semua Kabupaten dan Kota di Kalimantan Barat. Merkuri yang digunakan untuk memisahkan emas dengan material lainnya sudah mencemari sungai-sungai utama Kalimantan Barat sehingga dari 27 DAS di Kalimantan Barat, aktivitas ini berkontribusi terhadap 26 DAS dalam kondisi kritis dan sangat kritis.

Untuk masalah kebakaran hutan dan lahan hampir tidak ditemui di tahun 2010 karena dengan perubahan pola iklim sehingga musim kemarau tidak ada di tahun 2010. Dengan perubahan pola iklim ini tentunya berdampak buruk pada masyarakat pedalaman yang menggantungkan hidup dari pertanian, sehingga diperkirakan mereka akan mengalami gagal panen. Khusus bagi masyarakat di sekitar Danau Sentarum Kapuas Hulu juga mengalami gagal panen untuk madu hutan mereka.

Kerusakan Ekologis
Kerusakan lingkungan di Kalimantan Barat seharusnya menjadi perhatian serius semua stakeholder terutama pemerintah. Masifnya konversi hutan dan gambut untuk kebun sawit skala besar terutama di wilayah perhuluan DAS merupakan penyebab utama hilangnya tegakan hutan yang seharusnya merupakan tempat untuk menahan dan menyerap air hujan, sehingga tidak heran banjir besar melanda beberapa Kabupaten yang rawan bencana terjadi. Heart of Borneo merilis dari tahun 2003 sampai 2008 deforestasi hutan di Kalimantan Barat mencapai 916.492 hektar. Selain itu juga terdapat 267 titik PETI di Kalimantan Barat yang menghabiskan lahan 6.613 hektar (Sumber : Distamben Kalbar 2009), aktivitas ini berada di sepadan sungai dan wilayah daratan yang masih mencakup Daerah Aliran Sungai.

Bencana Ekologis
Curah hujan yang tinggi, hilangnya hutan sebagai daerah resapan serta pendangkalan sungai yang terjadi akibat erosi tanah dari limbah penambangan yang menumpuk di muara sungai menyebabkan terjadinya banjir besar yang menenggelamkan hampir seluruh kota-kota yang berada di muara sungai. Pada pertengahan bulan Oktober 2010 banjir dahsyat terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu. Banjir ini melanda 20 Kecamatan dari 24 Kecamatan, menenggelamkan 2.000 ha sawah, ada 8 .000 rumah tidak bisa ditinggali, ada sekitar 32.000 warga diungsikan, menghayutkan 3 rumah, lima jembatan gantung, dan 3 jembatan tidak gantung (Sumber : Pontianak Post, Senin 11 Oktober 2010). Harian Borneo Tribune, di hari yang sama, juga merilis kerugian akibat banjir di Kabupaten Kapuas Hulu ini ditafsir mencapai 21 Milyar.

Melihat berbagai persoalan lingkungan yang terjadi di Kalimantan Barat, tentunya kita tidak boleh tinggal diam dan tidak melakukan apa-apa. Pemerintah sebagai fasilitator harus arif dan visioner, karena hutan - tanah dan air merupakan warisan untuk anak cucu. Oleh karenanya tindakan untuk pemulihan ekologi harus terus dilakukan. Pemerintah dengan otoritas kebijakannya harus mau dan mampu untuk menanggulangi persoalan ini. Langkah yang paling tepat sekarang adalah melalui pembuatan RTRW yang parsisipatif di Kalimantan Barat. Dan tentu bukan hanya pemerintah saja, namun semua stakeholder yang lain sebagai pemilik kepentingan harus turut serta. Jangan sampai kita mewariskan bencana kepada generasi mendatang. **

* Penulis, Direktur Eksekutif WALHI Kalbar.

Sumber:
http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=85189

Tidak ada komentar:

Posting Komentar