Senin, 17 Januari 2011

KASUS SEJIRAK HARUS MENUNTASKAN AKAR PERSOALAN;

Bicara Hak Hidup Warga merupakan bagian dari persoalan Hak Asasi Manusia

Kegiatan berladang yang dilakukan warga Sejirak di kawasan HTI Finnantara Intiga namun berbuah kriminalisasi oleh pihak perusahaan hingga pada ranah hukum patut disayangkan, terlebih kasus ini masih saja tetap berlarut hingga kini. Seperti diketahui, kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat di Sejirak ini berawal dari surat panggilan pihak Kepolisian yang disampaikan tanggal 10 Agustus 2010 atas aduan pihak perusahaan HTI (tanggal 17 Juli 2010) di daerah mereka untuk datang ke Polres Sintang tanggal 12 Agustus 2010, dan setelah di BAP warga kemudian ditahan tanggal 13 Agustus 2010. Namun demikian, dalam perkembangannya usai pemeriksaan, dari 15 warga yang dipanggil pihak Kepolisian menetapkan 13 orang sebagai tersangka dan kemudian dikriminalisasi hingga menghuni wisma prodeo Polres Sintang.

Kegiatan berladang di kawasan yang secara de jure merupakan wilayah konsesi PT. Finnantara yang dilakukan warga adalah puncak dari kekesalan warga atas tindakan pihak perusahaan selama ini. Penangkapan warga Sejirak yang kini mereka masih tetap wajib lapor hanyalah fenomena gunung es yang hendaknya tidak hanya dilihat dari puncaknya bahwa warga telah melakukan perladangan di kawasan konsesi perusahan semata. Tetapi harus dilihat persoalan mendasar yang melatarbelakangi warga melakukan tindakan tersebut. untuk diketahui bahwa secara de facto kawasan konsesi perusahaan tersebut sesungguhnya dikuasai oleh masyarakat, dalam bentuk tanah adat maupun milik perorangan.

Persoalan mendasar yang dihadapi warga Sejirak adalah terkait dengan Hak atas Hidup yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Disamping itu saat ini warga Sejirak mengalami persoalan keterbatasan atas lahan untuk bercocok tanam (berladang). Warga juga menilai bahwa pihak perusahaan tidak memiliki itikad baik selama ini. Temuan lapangan Walhi Kalbar beberapa waktu lalu melihat adanya sejumlah pelanggaran hak warga. Atas hasil temuan ini kami akan ditindaklanjuti dengan menyampaikannya kepada berbagai pihak.

Karena adanya indikasi persoalan HAM, maka kasus kriminalisasi yang dialami warga Sejirak ini juga akan disampaikan ke lembaga yang mengurusi bidang itu (Komnas HAM). Dalam waktu dekat, hasil temuan yang sebagai bahan laporan akan disampaikan.

Seperti diketahui PT. Finnantara Intiga memperoleh konsesi berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 750/Kpts-II/96 tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri di Propinsi Kalimantan Barat kepada PT Finnantara Intiga, luas areal konsesi yang diberikan kepada PT Finnantara Intiga adalah seluas 299,700 Ha.

PT Finnantara Intiga adalah perusahaan patungan hutan tanaman industri yang didirikan tanggal 6 Juni 1996, pada saat itu kepemilikan awal perusahaan dipegang oleh PT. Inhutani III/ BUMN Kehutanan yang mewakili Pemerintah Indonesia (40%), PT Gudang Garam (30%) dan Nordic Forest Development Holdings Pte Ltd (30%)/anak perusahaan STORA ENSO yang berbadan hukum Singapura. Namun sejak tanggal 7 Oktober 2004, Global Forest Limited (Perusahaan Sinar Mas) mengambil alih saham NFDH sehingga saat ini saham mayoritas PT. Finnantara Intiga dimiliki oleh Sinar Mas Group sebesar 67% dan PT. Inhutani III 33%. Artinya bahwa pemilik perusahaan ini adalah Sinar Mas Group dan PT. Inhutani III.

Kriminalisasi Masyarakat Adat Sejirak hingga penahanan di wisma Prodeo Polres Sintang dilakukan setelah polisi melakukan olah BAP berdasarkan laporan pihak perusahaan tanggal 17 Juli 2010 terhadap 15 orang dengan laporan polisi nomor; LP/338/VII/2010/Kalbar/Reg Stg merujukan pasal 170 KUHP Jo pasal 406 KUHP dengan tuduhan melakukan tindakan pidana kekerasan terhadap barang atau pengrusakan. Warga diminta untuk menghadap pihak Kepolisian tanggal 12 Agustus 2010. Dari aduan pihak perusahaan dan hasil BAP kemudian merujuk pada 13 orang warga yang dinyatakan bersalah oleh pihak kepolisian selanjutnya mengurung warga. Baru tanggal 25 Agustus 2010 ke-13 warga ditangguhkan penahanannya secara resmi melalui Surat Perintah Penangguhan Tahanan bernomor; SP.Han/85/VIII/2010/Reskrim.

Berangkat dari catatan ini maka upaya kriminalisasi yang dialami masyarakat adat Sejirak adalah sebuah gambaran betapa lemahnya peran negara dalam memberikan perlindungan bagi rakyatnya atas akses dan kontrol terhadap lingkungannya. Pembukaan investasi skala besar telah menjadi ancaman bagi ruang akses maupun kontrol warga atas lingkungannya, lebih khusus karena membatasi peluang warga untuk mengembangkan pertanian/bercocok tanam.

Pihak eksekutif maupun legislatif mesti dapat memberikan solusi segera bagi warga, tidak hanya sampai pada penyelesaian proses hukum semata, namun juga harus menyelesaikan akar persoalan yang dihadapi warga terkait dengan keberadaan PT. Finnantara Intiga di daerah mereka.

Pihak eksekutif diharapkan dapat memastikan bahwa adanya jaminan perlindungan atas hak-hak masyarakat (adat) di wilayah kawasan konsesi PT. Finnantara Intiga khususnya dan di Kabupaten Sintang umumnya.

Disamping itu diharapkan agar pemerintah pusat (cq. Dinas Kehutanan dan instansi terkait lainnya) untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja PT. Finnantara Intiga dan melakukan tindakan serius sesuai kewenangannya.

Kita juga berharap agar lembaga komisioner yang ada di Indonesia (Komnas HAM RI dan Komnas HAM Kalbar khususnya) dapat melakukan langkah-langkah terkait dengan kondisi masyarakat untuk melakukan penanganan serius maupun pendokumentasian mengenai potensi pelanggaran HAM yang dialami warga atas hadirnya konsesi PT. Finnantara Intiga.

Diposting oleh
Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar