Pembangunan investasi perkebunan monokultur dengan dalih untuk memberikan kesejahteraan namun berbuah “petaka” karena justeru merugikan bagi rakyat seperti konflik penyerobotan lahan maupun tanah warga dan pencemaran sumber air adalah fenomena yang tidak asing di republik ini. Warga Desa Noyan dan sekitarnya di Kabupaten Sanggau adalah suatu komunitas masyarakat Dayak Bisonu’-Bemate’ yang juga bagian dari anak negeri, namun harus menelan pil pahit sebagai akibat dari pembukaan investasi yang hanya menguntungkan pihak tertentu semata.
Desa Noyan sendiri terdiri dari tiga dusun yakni; Dusun Noyan yang meliputi Kampung Kojup dan Plaman Noyan, Entubu dan Krosik. Sumber pencaharian warga Noyan pada umumnya sebagai peladang, petani karet, pedagang, dan ada juga yang bekerja di perkebunan sawit.
Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) anak perusahaan Surya Dumai Gropus. Berdasarkan hasil penelusuran lapangan dan laporan warga setempat, sejumlah fakta lapangan sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa diantaranya; 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan bahkan kini rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 2) tanah warga di serobot tanpa pemisi yang pada akhirnya hanya dihargai seadanya. Bahkan masih ada tanah warga yang diserobot namun belum di GRTT (Ganti Rugi Tanam Tumbuh), 3) telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 4) terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan konflik antar keluarga, 5) masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan.
Dalam prakteknya, pihak perusahaan malah menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.
Berbagai persoalan di Desa Noyan terkait dengan keberadaan perkebunan sawit di daerah tersebut tidak dapat terhindari. Salah satu perusahaan perkebunan Sawit yang ada di daerah ini adalah PT. Mitra Karya Sentosa (MKS). Berdasarkan hasil FGD bersama warga, sejumlah fakta yang didapati sebagai akibat dari pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di daerah tersebut bahwa; 1) Air Sungai Noyan sejak tahun 2009 mulai keruh dan rawan banjir karena kawasan hutan sebagai penyangga sudah dibabat, 2) tanah warga di gusur tanpa pemisi dan pada akhir nya di hargai seadanya (bahkan ada yang belum di GRTT), 3) telah terjadi tumpang tindih lahan perkebunan, 4) terjadi gejolak dan kerawanan sosial di tingkatan masyarakat dan bahkan permusuhan antar keluarga, 5) masyarakat resah dengan kehadiran aparat keamanan (brimob) yang menjadi alat perusahaan untuk mengamankan proses penggarapan dan pembebasan lahan, 6) pihak perusahaan menggunakan masyarakat lokal yang pro perkebunan untuk mendukung pembebasan lahan masyarakat.
Dibalik berbagai persoalan tersebut, masyarakat di Desa Noyan masih berada dalam posisi yang lemah. Mereka disatu sisi tidak pernah mendapatkan informasi yang utuh mengenai sejumlah dampak investasi di daerahnya. Bahkan masyarakat setempat tidak mengetahui banyak soal keberadaan PT. MKS yang beroperasi di daerah mereka. Mereka juga tidak berdaya disaat perusahaan menggusur tanah mereka tanpa permisi.
Kondisi kebun juga tampak kurang terawat, dan hal demikian di akui warga. Disamping itu, masyarakat setempat merasa tidak pernah dilibatkan atas hadirnya perusahaan ini. Tidak melibatkan semua unsur. Berdasarkan informasi dilapangan bahwa izin PT. MKS dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di Sei Daun tumpang tindih. Masyarakat juga menilai bahwa hadirnya PT. MKS tidak memberi kontribusi bagi masyarakat setempat. Yang ada justeru merugikan. Hutan masyarakat dibabat dan tanah di serobot tanpa permisi.
Disamping PT. MKS yang baru hadir di daerah Noyan dan sekitarnyasekitar tahun 2008/2009, juga terdapat PT. Global yang masuk sejak tahun 2005, PT. SISU (Sepanjang Inti Surya Utama) masuk tahun 2006/2007, PT. Semai Lestari (SL) dan PT. Bumi Tata Lestari (BTL) di tahun 2009. Persoalan tumpang tindih pengelolaan kawasan semakin di perparah dengan upaya eksplorasi yang dilakukan PT. Kendawangan Putra Abadi (sebuah perusahaan pertambangan) yang akan menggunakan areal kawasan PT. Mitra Karya Sentosa (MKS) sebagai kawasan konsesi.
Pemerintah daerah dan semua pihak terkait yang berniat baik dan memiliki tanggungjawab hendaknya memperhatikan persoalan yang dihadapi warga Noyan. Tercemarnya Sungai Noyan dan Sungai di Dusun Mayan mengancam kehidupan warga atas akses sumber air bersih bagi warga. Aparat kepolisian (brimob) yang hadir untuk perusahaan telah meresahkan warga. Pihak keamanan dan pihak terkait lainnya, khususnya Kapolda Kalimantan Barat hendaknya menarik aparat yang dianggap telah meresahkan dan membuat warga merasa trauma.
Disampaikan oleh Hendrikus Adam,
Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat.
Kamis, 26 Agustus 2010
Masyarakat Indonesia Tolak Nuklir
AKSI (Keterangan Poto) - Penulis di sela-sela aksi di Jakarta, Sabtu (12/6).
Rencana pemerintah melakukan pengembangan energi listrik melalui program alternatif Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dikecam berbagai kalangan. Mereka mengkhawatirkan bahaya dari energi yang dianggap ancaman terhadap manusia dan lingkungan tersebut.
Bertempat di Tugu Proklamasi Jakarta, Sabtu (12/6) pagi, yang dilangsungkan berawal dari aksi teatrikal, masyarakat antinuklir yang dihadiri perwakilan dari tujuh provinsi juga melakukan orasi yang diakhiri dengan deklarasi bersama menolak PLTN.
Dalam orasinya pada acara yang diinisiasi Greenpeace Indonesia ini, masyarakat antinuklir yang berasal dari tujuh provinsi yang terdiri dari perwakilan: Kalbar, Kaltim, Bangka Belitung, Jawa Timur-Madura, Jateng-Jepara, Banten, Gorontalo menyatakan penolakannya terhadap kebijakan pemerintah yang mengagendakan wacana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Juga hadir dalam kesempatan tersebut para aktivis lingkungan seperti Walhi, Masyarakat Anti Nuklir Indonesia (Manusia) dan sejumlah undangan lainnya. Sebagaimana di Kalimantan Barat, pemerintah di daerah ini juga sedang mengagendakan pembangunan PLTN. Dalam kesempatan ini, perwakilan Kalimantan Barat juga dalam orasinya dengan tegas menyerukan agar pemerintah menghentikan niatnya untuk membangun PLTN. Dalam pernyataannya deklarasi, para pihak yang terlibat dalam kegiatan ini menilai bahwa PLTN bukanlah solusi dalam memenuhi energi listrik saat ini.
Arif Fiyanto, juru kampanye energi dan iklim Green Peace Indonesia menyatakan pihaknya hari ini mendeklarasikan penolakan terhadap rencana pembangunan PLTN di seluruh Indonesia.
"Menurut kami, rencana pembangunan PLTN adalah cermin dari sesat pikir pemerintah dalam memecahkan masalah energi di Indonesia. PLTN dianggap solusi untuk memecahkan masalah energi di Indonesia, padahal begitu banyak sumber energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Jadi dari pada membangun PLTN, pemerintah seharusnya fokus mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan di negeri ini," jelasnya.
Bertepatan dengan aksi ini, Greenpeace juga meluncurkan kalander antinuklir yang dilanjutkan dengan diskusi terbuka bertema PLTN, Mitos dan Realitas di Tugu Proklamasi yang dihadiri sejumlah narasumber seperti Sonny Keraf (Mantan KLH dan penulis buku Etika Lingkungan), Kahar Albahri (aktivis Jatam Kaltim), DR Iwan Kurniawan (Pakar Nuklir) dan Hendro Sangkoyo (Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik).
Momentum ini selanjutnya diteruskan pertemuan bersama yang sekaligus sebagai pertemuan nasional masyarakat antinuklir Indonesia yang dilangsungkan di Kantor Greenpeace. Sony Keraf dalam pemaparannya menyatakan Indonesia masih belum untuk menjalankan teknologi PLTN. Menurutnya, PLTN merupakan proyek yang cenderung ambisius. Hal sama juga disampaikan pakar nuklir Indonesia, DR Iwan Kurniawan.
"PLTN bagi Indonesi masih berat. Tidak ada teknologi yang 100 persen sempurna terhadap radiasi. PLTN sangat berbahaya dan teknologi ini tidak mungkin dianggap main-main. PLTN bukan alih teknologi, namun berorientasi proyek," Iwan Kurniawan.*
*Penulis adalah Aktivis Walhi Kalbar
Sumber: http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/12406, lihat juga di; http://www.tribunnews.com/2010/06/14/masyarakat-anti-nuklir-tolak-pltn
Rencana pemerintah melakukan pengembangan energi listrik melalui program alternatif Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dikecam berbagai kalangan. Mereka mengkhawatirkan bahaya dari energi yang dianggap ancaman terhadap manusia dan lingkungan tersebut.
Bertempat di Tugu Proklamasi Jakarta, Sabtu (12/6) pagi, yang dilangsungkan berawal dari aksi teatrikal, masyarakat antinuklir yang dihadiri perwakilan dari tujuh provinsi juga melakukan orasi yang diakhiri dengan deklarasi bersama menolak PLTN.
Dalam orasinya pada acara yang diinisiasi Greenpeace Indonesia ini, masyarakat antinuklir yang berasal dari tujuh provinsi yang terdiri dari perwakilan: Kalbar, Kaltim, Bangka Belitung, Jawa Timur-Madura, Jateng-Jepara, Banten, Gorontalo menyatakan penolakannya terhadap kebijakan pemerintah yang mengagendakan wacana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Juga hadir dalam kesempatan tersebut para aktivis lingkungan seperti Walhi, Masyarakat Anti Nuklir Indonesia (Manusia) dan sejumlah undangan lainnya. Sebagaimana di Kalimantan Barat, pemerintah di daerah ini juga sedang mengagendakan pembangunan PLTN. Dalam kesempatan ini, perwakilan Kalimantan Barat juga dalam orasinya dengan tegas menyerukan agar pemerintah menghentikan niatnya untuk membangun PLTN. Dalam pernyataannya deklarasi, para pihak yang terlibat dalam kegiatan ini menilai bahwa PLTN bukanlah solusi dalam memenuhi energi listrik saat ini.
Arif Fiyanto, juru kampanye energi dan iklim Green Peace Indonesia menyatakan pihaknya hari ini mendeklarasikan penolakan terhadap rencana pembangunan PLTN di seluruh Indonesia.
"Menurut kami, rencana pembangunan PLTN adalah cermin dari sesat pikir pemerintah dalam memecahkan masalah energi di Indonesia. PLTN dianggap solusi untuk memecahkan masalah energi di Indonesia, padahal begitu banyak sumber energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Jadi dari pada membangun PLTN, pemerintah seharusnya fokus mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan di negeri ini," jelasnya.
Bertepatan dengan aksi ini, Greenpeace juga meluncurkan kalander antinuklir yang dilanjutkan dengan diskusi terbuka bertema PLTN, Mitos dan Realitas di Tugu Proklamasi yang dihadiri sejumlah narasumber seperti Sonny Keraf (Mantan KLH dan penulis buku Etika Lingkungan), Kahar Albahri (aktivis Jatam Kaltim), DR Iwan Kurniawan (Pakar Nuklir) dan Hendro Sangkoyo (Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik).
Momentum ini selanjutnya diteruskan pertemuan bersama yang sekaligus sebagai pertemuan nasional masyarakat antinuklir Indonesia yang dilangsungkan di Kantor Greenpeace. Sony Keraf dalam pemaparannya menyatakan Indonesia masih belum untuk menjalankan teknologi PLTN. Menurutnya, PLTN merupakan proyek yang cenderung ambisius. Hal sama juga disampaikan pakar nuklir Indonesia, DR Iwan Kurniawan.
"PLTN bagi Indonesi masih berat. Tidak ada teknologi yang 100 persen sempurna terhadap radiasi. PLTN sangat berbahaya dan teknologi ini tidak mungkin dianggap main-main. PLTN bukan alih teknologi, namun berorientasi proyek," Iwan Kurniawan.*
*Penulis adalah Aktivis Walhi Kalbar
Sumber: http://www.tribunpontianak.co.id/read/artikel/12406, lihat juga di; http://www.tribunnews.com/2010/06/14/masyarakat-anti-nuklir-tolak-pltn
Nuklir Energi Berbahaya; Tolak PLTN
Menolak Mega Proyek PLTN di Tanah Air
Kalbar menjadi salah satu lokasi yang sedang di timang-timang untuk didirikan PLTN dengan alasan daerah aman bencana dan memiliki bahan mentah uranium di Melawi. Namun dalam aksinya para aktifis lingkungan mendesak agar niat membangun PLTN dihentikan.
By. Hendrikus Adam*
Sabtu (12/6) pagi kala sang mentari mulai bangkit sekiar pukul 09.00 wiba, di kawasan Tugu Proklamasi tampak semarak. Spanduk warna hitam berukuran lebar memanjang terbentang di sebelah kiri dan kanan masuk kawasan tersebut yang menyiratkan sejumlah pesan lingkungan; “Stop Nuklir, No Nuke No More Chernobyl, Revolusi Energi Sekarang, Kami Dukung Energi Bersih, Energi Nuklir=Energi Berbahaya, Bumi Pertiwi Zona Bebas Nuklir”. Di bagian tengah persis di depan Tugu patung kedua tokoh Proklamator telah berdiri baliho besar menjadi latar dari rangkaian kegiatan kala itu. Persis di depan baliho, berdiri tenda dan pajangan gambar-kalender yang mengisahkan ancaman bahaya nuklir. Seruan bahaya nuklir juga terpajang di dinding tenda dan sejumlah spanduk besar.
Sementara disaat akan dimulainya kegiatan, para tamu dan undangan berangsur datang memadati kawasan Tugu Proklamasi hingga “ritual” aksi yang diinisiasi oleh Greenpeace yang dihadiri sejumlah perwakilan masyarakat dari tujuh provinsi, kalangan NGOs (Walhi, Masyarakat Anti-NUklir Indonesia/Manusia, perwakilan lembaga lainnya) dan sejumlah wartawan media yang ada di jantung Ibu Kota negara. Satu persatu perwakilan masyarakat dari tujuh provinsi menyampaikan keprihatinannya dalam bentuk orasi mengkritisi niat pemerintah mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di daerahnya masing-masing. Adapun ketujuh perwakilan masyarakat tersebut diantaranya berasal dari Kalbar, Kaltim, Bangka Belitung, Jawa Timur-Madura, Jateng-Jepara, Banten, Gorontalo menyatakan penolakannya terhadap kebijakan pemerintah yang mengagendakan wacana membangun PLTN. ”Pembangunan PLTN di Kalimantan Barat hendaknya tidak dipaksakan oleh pemerintah, namun mengantisipasi kemungkinan bahaya dari resiko penggunaan energi nuklir penting diperhitungkan sejak dari sekarang untuk kepentingan masyarakat luas. Energi listrik memang dibutuhkan, namun energi yang justeru rawan dan berpotensi mengancam masa depan harus dihentikan. Masih banyak sumber energi lainnya yang harusnya bisa digunakan,” jelas perwakilan dari Kalimantan Barat. Nada yang tidak jauh berbeda juga disampaikan perwakilan dari provinsi lainnya.
"NU Jepara telah mengeluarkan fatwa haram terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, tetapi sampai sekarang pemerintah dan pendukungnya masih terus melakukan berbagai aktivitas terkait rencana pembangunan tenaga nuklir di Jepara," urai Said Sumedi dari Perhimpunan Masyarakat Balong (PMB) Jepara.
Pada saat bersamaan gita karya Iwan Fals bertajuk Proyek 13 yang menyiratkan pesan penolakan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) menggema diiringin aksi teatrikal yang diperankan tiga orang mengenakan pakaian masing-masing berwarna merah, hitam dan putih. Satu orang diantaranya mengenakan kapak layaknya “malaikat” pencabut nyawa. Teatrikal ini mengisahkan ancaman bahaya nuklir (PLTN) terhadap kehidupan yang siap mencabut nyawa kapan saja. Akhir dari teatrikal, ”sang pencabut nyawa” ditaklukkan dengan dibalut kain putih. Begitulah suguhan “drama” aksi damai bersama yang menginginkan agar pemerintah tidak merealisasikan proyek yang dianggap berbahaya dan memiliki potensi ancaman dasyat itu. Pemerintah diharapkan tidak memaksakan pembangunan yang dinilai cenderung ambisius dan hanya berorientasi kepentingan sesaat.
Arif Fiyanto, juru kampanye energi dan iklim Greenpeace Indonesia menyatakan pihaknya pada hari tersebut mendeklarasikan penolakan terhadap rencana pembangunan PLTN di seluruh Indonesia . "Menurut kami, rencana pembangunan PLTN adalah cermin dari sesat pikir pemerintah dalam memecahkan masalah energi di Indonesia . PLTN dianggap solusi untuk memecahkan masalah energi di Indonesia , padahal begitu banyak sumber energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Jadi dari pada membangun PLTN, pemerintah seharusnya fokus mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan di negeri ini," jelas Arif.
PLTN, Proyek Ambisius.
Bersamaan dengan aksi ini, Greenpeace juga meluncurkan kalander “365 alasan penolakan kekuatan nuklir” yang memuat sejumlah fakta soal bahaya nuklir bagi kehidupan yang melanda sejumlah tempat di dunia. Selanjutnya, kegiatan dilakukan dengan menyelenggarakan diskusi terbuka bertema “PLTN, Mitos dan Realitas” bertempat di Tugu Proklamasi yang dihadiri sejumlah narasumber diantaranya; A. Sonny Keraf (Mantan Menteri LH dan penulis buku Etika Lingkungan), Kahar Al Bahri (aktivis Jatam Kaltim), DR. Iwan Kurniawan (Pakar Nuklir) dan Hendro Sangkoyo (Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik). Sony Keraf dalam pemaparannya menyatakan Indonesia masih belum untuk menjalankan teknologi PLTN. Menurutnya, PLTN merupakan proyek yang cenderung ambisius.
“Bahwa soal krisis energi listrik memang tidak bisa dibantah, dan memang betul ada realitas kelangkaan. Namun bagi yang mendukung PLTN seakan hal tersebut menjadi jawaban atas krisis energi listrik yang dialami, masih banyak alternatif energi lain. Saya tidak meragukan penguasaan nuklir oleh anak bangsa ini, namun ketidakmampuan dalam hal safety cultur teknologi sangat lemah” jelas Sony Keraf.
Dikatakan Sony Keraf, teknologi PLTN belum siap kita jalankan di Indonesia . Ia juga mengkritisi upaya sosialisasi soal PLTN yang dilakukan bila cenderung hanya menyampaikan sisi positifnya semata agar dapat diterima masyarakat. “Salah besar bila sosialisasi PLTN dilakukan untuk menggiring masyarakat meneirma PLTN. PLTN, proyek yang cenderung ambisius,” jelasnya.
Senada dengan Sony Keraf, juga disampaikan pakar nuklir Indonesia , DR Iwan Kurniawan. Ia mengatakan PLTN di negeri ini masih tidak bisa dipaksakan, namun demikian mempelajari soal energi Iptek soal nuklir itu tidak masalah. "PLTN bagi Indonesi masih berat. Tidak ada teknologi yang 100 persen sempurna terhadap radiasi. Elemen radio isotop dari radiasi sangat berbahaya. PLTN sangat berbahaya dan teknologi ini tidak mungkin dianggap main-main. PLTN bukan alih teknologi, namun berorientasi proyek," ungkap Iwan Kurniawan, doktor nuklir yang pernah mengenyam pendidikan di negeri Sakura ini. ”Kita belum tentu menerima energi, namun radiasinya sudah pasti,” sambung Hendro Sangkoyo, kepala Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik.
Menolak PLTN
Usai berdialektika dalam sebuah forum diskusi, kegiatan selanjutnya diteruskan dengan pertemuan bersama yang sekaligus sebagai pertemuan nasional masyarakat antinuklir Indonesia , dilangsungkan bertempat di Kantor Greenpeace sekitar kawasan Jakarta Selatan. Pertemuan ini melahirkan forum bersama Koalisi Anti-Nuklir yang merupakan pertemuan sharing informasi dan perumusan agenda bersama guna menyikapi berbagai problem dan kemungkinan dampak dari PLTN yang akan diterima masyarakat. Bagi forum ini, PLTN bukanlah alternatif solusi yang tepat untuk mengatasi krisis energi yang dialami, karena dampak buruk energi nuklir diyakini jauh lebih dasyat dari pada sekedar sebagai pengganti energi. Masih banyak sumber energi yang dapat dijajaki dari pada sekedar memaksakan energi nuklir (PLTN) seperti sumber dari air, panas bumi, matahari, angin dan lainnya.
Kekhawatiran multipihak (kalangan masyarakat anti nuklir) terhadap potensi dan bahaya nuklir agaknya tidak berlebihan bila melihat berbagai kejadian bencana yang terjadi. Kejadian tanggal 26 April 1986 yang dikenal dengan bencana Chernobyl di Urkania yang mengakibatkan sedikitnya sebanyak tujuh (7) juta orang harus menderita setiap hari menjalani dampak dari bencana ini. Selanjutnya bencana nuklir di Mayak, Rusia 29 September 1957 yang menyebabkan 272 ribu orang terkena radiasi tingkat tinggi. Akibatnya banyak orang yang menderita penyakit kronis, hipertensi, masalah jantung, arthritis dan asma. Setiap detik orang dewasa menderita kemandulan, 1 dari 3 bayi yang baru lahir menderita cacat, dan 1 dari 10 anak lahir secara prematur serta jumlah orang yang menderita kanker meningkat pesat. Kejadian lainnya di Seversk (dulu Tomsk-7) di Siberia pada 6 April 1993 yang menunjukkan dampak gejala serupa berupa kelainan darah dan kerusakan genetik. Hal yang sama pernah terjadi di Semipalatinsk, Astana pada tahun 1949 hingga tahun 1962. Akibatnya, hampir setengah dari populasi menderita disfungsi sistem syaraf motorik. Di Jepang, juga pernah terjadi ketika kota Herosima dan Nagasaki diserang tentara sekutu Amerika dengan Bom Atom yang menggunakan energi nuklir. Serta di Three Mile Island Amerika pada 1979 yang juga memakan banyak korban.
Gelombang penolakan terhadap energi nuklir mengalir di berbagai penjuru nusantara. Pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah misalnya sejak awal di tolak oleh berbagai lapisan masyarakat seperti; Walhi, Greenpeace, Yayasan Pelangi Jakarta, Gerakan Anti Nuklir (Geton) Salatiga, BEM Jateng, Sampak GusUran, LBH ATMA Pati, Koaliasi Rakyat Tolak Nuklir (Kraton), Persatuan Masyarakat Balong (PMB), Kelompok Petani Nelayan Andalan (KTNA) Jepara, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jepara, Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kudus dan Jepara, serta Lakpesdam NU. Bahkan di tahun 2007, NU Jepara mengeluarkan fatwa haram soal PLTN.
Di Madura, Jawa Timur elemen masyarakat sipil juga menyampaikan penolakan keras terhadap rencana pendirian PLTN di Madura dan Bangkalan khususnya, seperti di Kecamatan Socah, Kamal, dan Labang. Tahun 2009 lalu organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU) didaerah setempat juga telah mengeluarkan fatwa bahwa pembangunan PLTN di Madura adalah haram. Di Kalimantan Barat penolakan PLTN pernah di gelorakan Front Mahasiswa Kalbar terdiri dari PMKRI, IMKB dan GMNI pada April 2008 yang menilai rencana pembangunan melalui kebijakan tersebut tidak populis. Dalam pernyataan Gubernur Kalbar di media lokal pernah menyatakan bahwa Kabupaten Landak dan Melawi dapat dijadikan lokasi pendirian PLTN. Kalbar menurut Gubernur memenuhi syarat untuk dibangun PLTN, karena salah satu wilayah yang mempunyai uranium, yakni di Kabupaten Melawi. Pemda Kalbar sendiri telah mengajukan usulan pembangunan PLTN kepada Dewan Energi Nasional.
Gelombang penolakan juga terjadi di Bangka Belitung, Banten dan Gorontalo. Berbagai lembaga masyarakat sipil lainnya seperti Walhi, Kiara, Jatam, Manusia, IESR, SHI, Satu Dunia, CSF yang juga menggelorakan penolakan rancana pembangunan PLTN di Indonesia.
Bagi masyarakat sipil yang menolak, nuklir bukanlah pilihan guna menjawab kebutuhan listrik di Indonesia. Pernyataan yang dikeluarkan otoritas nuklir dengan menyatakan bahwa energi nuklir adalah energi paling aman dan murah kepada publik, perlu dikritisi lebih lanjut. Masyarakat atau publik tidak diberikan informasi secara detil tentang dampak serta resiko-resiko yang harus mereka hadapi ketika ada pencemaran dan kecelakaan nuklir terjadi. Kondisi ini menuntut peran maksimal pemerintah untuk menggali sumber-sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan dan tidak memiliki risiko besar di Indonesia. Pemerintah diharapkan juga dapat meningkatkan dan mengidentifikasi sumber potensi sumber energi terbarukan dapat dikembangkan. Pengembangan energi alternatif saatnya mengedepankan energi bersih dan masa depan kehidupan serta lingkungan yang berkelanjutan, tanpa harus memaksakan proyek PLTN yang berbahaya.
*) Aktifis Walhi Kalimantan Barat
Kalbar menjadi salah satu lokasi yang sedang di timang-timang untuk didirikan PLTN dengan alasan daerah aman bencana dan memiliki bahan mentah uranium di Melawi. Namun dalam aksinya para aktifis lingkungan mendesak agar niat membangun PLTN dihentikan.
By. Hendrikus Adam*
Sabtu (12/6) pagi kala sang mentari mulai bangkit sekiar pukul 09.00 wiba, di kawasan Tugu Proklamasi tampak semarak. Spanduk warna hitam berukuran lebar memanjang terbentang di sebelah kiri dan kanan masuk kawasan tersebut yang menyiratkan sejumlah pesan lingkungan; “Stop Nuklir, No Nuke No More Chernobyl, Revolusi Energi Sekarang, Kami Dukung Energi Bersih, Energi Nuklir=Energi Berbahaya, Bumi Pertiwi Zona Bebas Nuklir”. Di bagian tengah persis di depan Tugu patung kedua tokoh Proklamator telah berdiri baliho besar menjadi latar dari rangkaian kegiatan kala itu. Persis di depan baliho, berdiri tenda dan pajangan gambar-kalender yang mengisahkan ancaman bahaya nuklir. Seruan bahaya nuklir juga terpajang di dinding tenda dan sejumlah spanduk besar.
Sementara disaat akan dimulainya kegiatan, para tamu dan undangan berangsur datang memadati kawasan Tugu Proklamasi hingga “ritual” aksi yang diinisiasi oleh Greenpeace yang dihadiri sejumlah perwakilan masyarakat dari tujuh provinsi, kalangan NGOs (Walhi, Masyarakat Anti-NUklir Indonesia/Manusia, perwakilan lembaga lainnya) dan sejumlah wartawan media yang ada di jantung Ibu Kota negara. Satu persatu perwakilan masyarakat dari tujuh provinsi menyampaikan keprihatinannya dalam bentuk orasi mengkritisi niat pemerintah mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di daerahnya masing-masing. Adapun ketujuh perwakilan masyarakat tersebut diantaranya berasal dari Kalbar, Kaltim, Bangka Belitung, Jawa Timur-Madura, Jateng-Jepara, Banten, Gorontalo menyatakan penolakannya terhadap kebijakan pemerintah yang mengagendakan wacana membangun PLTN. ”Pembangunan PLTN di Kalimantan Barat hendaknya tidak dipaksakan oleh pemerintah, namun mengantisipasi kemungkinan bahaya dari resiko penggunaan energi nuklir penting diperhitungkan sejak dari sekarang untuk kepentingan masyarakat luas. Energi listrik memang dibutuhkan, namun energi yang justeru rawan dan berpotensi mengancam masa depan harus dihentikan. Masih banyak sumber energi lainnya yang harusnya bisa digunakan,” jelas perwakilan dari Kalimantan Barat. Nada yang tidak jauh berbeda juga disampaikan perwakilan dari provinsi lainnya.
"NU Jepara telah mengeluarkan fatwa haram terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, tetapi sampai sekarang pemerintah dan pendukungnya masih terus melakukan berbagai aktivitas terkait rencana pembangunan tenaga nuklir di Jepara," urai Said Sumedi dari Perhimpunan Masyarakat Balong (PMB) Jepara.
Pada saat bersamaan gita karya Iwan Fals bertajuk Proyek 13 yang menyiratkan pesan penolakan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) menggema diiringin aksi teatrikal yang diperankan tiga orang mengenakan pakaian masing-masing berwarna merah, hitam dan putih. Satu orang diantaranya mengenakan kapak layaknya “malaikat” pencabut nyawa. Teatrikal ini mengisahkan ancaman bahaya nuklir (PLTN) terhadap kehidupan yang siap mencabut nyawa kapan saja. Akhir dari teatrikal, ”sang pencabut nyawa” ditaklukkan dengan dibalut kain putih. Begitulah suguhan “drama” aksi damai bersama yang menginginkan agar pemerintah tidak merealisasikan proyek yang dianggap berbahaya dan memiliki potensi ancaman dasyat itu. Pemerintah diharapkan tidak memaksakan pembangunan yang dinilai cenderung ambisius dan hanya berorientasi kepentingan sesaat.
Arif Fiyanto, juru kampanye energi dan iklim Greenpeace Indonesia menyatakan pihaknya pada hari tersebut mendeklarasikan penolakan terhadap rencana pembangunan PLTN di seluruh Indonesia . "Menurut kami, rencana pembangunan PLTN adalah cermin dari sesat pikir pemerintah dalam memecahkan masalah energi di Indonesia . PLTN dianggap solusi untuk memecahkan masalah energi di Indonesia , padahal begitu banyak sumber energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Jadi dari pada membangun PLTN, pemerintah seharusnya fokus mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan di negeri ini," jelas Arif.
PLTN, Proyek Ambisius.
Bersamaan dengan aksi ini, Greenpeace juga meluncurkan kalander “365 alasan penolakan kekuatan nuklir” yang memuat sejumlah fakta soal bahaya nuklir bagi kehidupan yang melanda sejumlah tempat di dunia. Selanjutnya, kegiatan dilakukan dengan menyelenggarakan diskusi terbuka bertema “PLTN, Mitos dan Realitas” bertempat di Tugu Proklamasi yang dihadiri sejumlah narasumber diantaranya; A. Sonny Keraf (Mantan Menteri LH dan penulis buku Etika Lingkungan), Kahar Al Bahri (aktivis Jatam Kaltim), DR. Iwan Kurniawan (Pakar Nuklir) dan Hendro Sangkoyo (Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik). Sony Keraf dalam pemaparannya menyatakan Indonesia masih belum untuk menjalankan teknologi PLTN. Menurutnya, PLTN merupakan proyek yang cenderung ambisius.
“Bahwa soal krisis energi listrik memang tidak bisa dibantah, dan memang betul ada realitas kelangkaan. Namun bagi yang mendukung PLTN seakan hal tersebut menjadi jawaban atas krisis energi listrik yang dialami, masih banyak alternatif energi lain. Saya tidak meragukan penguasaan nuklir oleh anak bangsa ini, namun ketidakmampuan dalam hal safety cultur teknologi sangat lemah” jelas Sony Keraf.
Dikatakan Sony Keraf, teknologi PLTN belum siap kita jalankan di Indonesia . Ia juga mengkritisi upaya sosialisasi soal PLTN yang dilakukan bila cenderung hanya menyampaikan sisi positifnya semata agar dapat diterima masyarakat. “Salah besar bila sosialisasi PLTN dilakukan untuk menggiring masyarakat meneirma PLTN. PLTN, proyek yang cenderung ambisius,” jelasnya.
Senada dengan Sony Keraf, juga disampaikan pakar nuklir Indonesia , DR Iwan Kurniawan. Ia mengatakan PLTN di negeri ini masih tidak bisa dipaksakan, namun demikian mempelajari soal energi Iptek soal nuklir itu tidak masalah. "PLTN bagi Indonesi masih berat. Tidak ada teknologi yang 100 persen sempurna terhadap radiasi. Elemen radio isotop dari radiasi sangat berbahaya. PLTN sangat berbahaya dan teknologi ini tidak mungkin dianggap main-main. PLTN bukan alih teknologi, namun berorientasi proyek," ungkap Iwan Kurniawan, doktor nuklir yang pernah mengenyam pendidikan di negeri Sakura ini. ”Kita belum tentu menerima energi, namun radiasinya sudah pasti,” sambung Hendro Sangkoyo, kepala Kepala Sekolah Ekonomika Demokratik.
Menolak PLTN
Usai berdialektika dalam sebuah forum diskusi, kegiatan selanjutnya diteruskan dengan pertemuan bersama yang sekaligus sebagai pertemuan nasional masyarakat antinuklir Indonesia , dilangsungkan bertempat di Kantor Greenpeace sekitar kawasan Jakarta Selatan. Pertemuan ini melahirkan forum bersama Koalisi Anti-Nuklir yang merupakan pertemuan sharing informasi dan perumusan agenda bersama guna menyikapi berbagai problem dan kemungkinan dampak dari PLTN yang akan diterima masyarakat. Bagi forum ini, PLTN bukanlah alternatif solusi yang tepat untuk mengatasi krisis energi yang dialami, karena dampak buruk energi nuklir diyakini jauh lebih dasyat dari pada sekedar sebagai pengganti energi. Masih banyak sumber energi yang dapat dijajaki dari pada sekedar memaksakan energi nuklir (PLTN) seperti sumber dari air, panas bumi, matahari, angin dan lainnya.
Kekhawatiran multipihak (kalangan masyarakat anti nuklir) terhadap potensi dan bahaya nuklir agaknya tidak berlebihan bila melihat berbagai kejadian bencana yang terjadi. Kejadian tanggal 26 April 1986 yang dikenal dengan bencana Chernobyl di Urkania yang mengakibatkan sedikitnya sebanyak tujuh (7) juta orang harus menderita setiap hari menjalani dampak dari bencana ini. Selanjutnya bencana nuklir di Mayak, Rusia 29 September 1957 yang menyebabkan 272 ribu orang terkena radiasi tingkat tinggi. Akibatnya banyak orang yang menderita penyakit kronis, hipertensi, masalah jantung, arthritis dan asma. Setiap detik orang dewasa menderita kemandulan, 1 dari 3 bayi yang baru lahir menderita cacat, dan 1 dari 10 anak lahir secara prematur serta jumlah orang yang menderita kanker meningkat pesat. Kejadian lainnya di Seversk (dulu Tomsk-7) di Siberia pada 6 April 1993 yang menunjukkan dampak gejala serupa berupa kelainan darah dan kerusakan genetik. Hal yang sama pernah terjadi di Semipalatinsk, Astana pada tahun 1949 hingga tahun 1962. Akibatnya, hampir setengah dari populasi menderita disfungsi sistem syaraf motorik. Di Jepang, juga pernah terjadi ketika kota Herosima dan Nagasaki diserang tentara sekutu Amerika dengan Bom Atom yang menggunakan energi nuklir. Serta di Three Mile Island Amerika pada 1979 yang juga memakan banyak korban.
Gelombang penolakan terhadap energi nuklir mengalir di berbagai penjuru nusantara. Pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah misalnya sejak awal di tolak oleh berbagai lapisan masyarakat seperti; Walhi, Greenpeace, Yayasan Pelangi Jakarta, Gerakan Anti Nuklir (Geton) Salatiga, BEM Jateng, Sampak GusUran, LBH ATMA Pati, Koaliasi Rakyat Tolak Nuklir (Kraton), Persatuan Masyarakat Balong (PMB), Kelompok Petani Nelayan Andalan (KTNA) Jepara, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jepara, Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kudus dan Jepara, serta Lakpesdam NU. Bahkan di tahun 2007, NU Jepara mengeluarkan fatwa haram soal PLTN.
Di Madura, Jawa Timur elemen masyarakat sipil juga menyampaikan penolakan keras terhadap rencana pendirian PLTN di Madura dan Bangkalan khususnya, seperti di Kecamatan Socah, Kamal, dan Labang. Tahun 2009 lalu organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU) didaerah setempat juga telah mengeluarkan fatwa bahwa pembangunan PLTN di Madura adalah haram. Di Kalimantan Barat penolakan PLTN pernah di gelorakan Front Mahasiswa Kalbar terdiri dari PMKRI, IMKB dan GMNI pada April 2008 yang menilai rencana pembangunan melalui kebijakan tersebut tidak populis. Dalam pernyataan Gubernur Kalbar di media lokal pernah menyatakan bahwa Kabupaten Landak dan Melawi dapat dijadikan lokasi pendirian PLTN. Kalbar menurut Gubernur memenuhi syarat untuk dibangun PLTN, karena salah satu wilayah yang mempunyai uranium, yakni di Kabupaten Melawi. Pemda Kalbar sendiri telah mengajukan usulan pembangunan PLTN kepada Dewan Energi Nasional.
Gelombang penolakan juga terjadi di Bangka Belitung, Banten dan Gorontalo. Berbagai lembaga masyarakat sipil lainnya seperti Walhi, Kiara, Jatam, Manusia, IESR, SHI, Satu Dunia, CSF yang juga menggelorakan penolakan rancana pembangunan PLTN di Indonesia.
Bagi masyarakat sipil yang menolak, nuklir bukanlah pilihan guna menjawab kebutuhan listrik di Indonesia. Pernyataan yang dikeluarkan otoritas nuklir dengan menyatakan bahwa energi nuklir adalah energi paling aman dan murah kepada publik, perlu dikritisi lebih lanjut. Masyarakat atau publik tidak diberikan informasi secara detil tentang dampak serta resiko-resiko yang harus mereka hadapi ketika ada pencemaran dan kecelakaan nuklir terjadi. Kondisi ini menuntut peran maksimal pemerintah untuk menggali sumber-sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan dan tidak memiliki risiko besar di Indonesia. Pemerintah diharapkan juga dapat meningkatkan dan mengidentifikasi sumber potensi sumber energi terbarukan dapat dikembangkan. Pengembangan energi alternatif saatnya mengedepankan energi bersih dan masa depan kehidupan serta lingkungan yang berkelanjutan, tanpa harus memaksakan proyek PLTN yang berbahaya.
*) Aktifis Walhi Kalimantan Barat
Ancaman Pembukaan Hutan Gambut untuk Perkebunan Sawit
Pembangunan hakekatnya merupakan upaya sadar dan terencana yang diarahkan dengan tujuan ’mulia” yakni meningkatkan kapasitas dan kualitas tatanan kehidupan sosial yang lebih baik dengan sasaran akhirnya untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Wilayah yang memiliki potensi untuk memberikan kesejahteraan tersebut meliputi segala kekayaan yang ada diperut bumi ini, yakni berupa hutan-tanah-air-beserta isinya. Namun demikian, sadarkah kita kalau ”rayuan” kesejahteraan atas nama pembangunan itu seringkali malah jauh dari harapan? Kebijakan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur (sawit) boleh menjadi bukti betapa kebijakan pembangunan disektor ini telah memberikan sejumlah dampak yang tidak menguntungkan bagi masa depan lingkungan, maupun terhadap kondisi sosial dan budaya masyarakat kita yang sebagian besar mengandalkan hidup dan kehidupannya dari hasil sumber daya alam selama ini.
Atas nama pembangunan, hutan-tanah-air sebagai sumber hidup dan kehidupan diambang kehancuran. Hutan sebagai ”apotik dan supermarket” masyarakat selama ini secara pasti hilang, karena pembukaan kawasan hutan skala besar tanpa menyisakan sebatang pohon pun seperti perkebunan sawit sama artinya dengan menghilangkan fungsi hutan. Kebijakan perluasan perkebunan sawit melalui program pembangunan dalam kenyataannya lebih mengedepankan aspek keuntungan ekonomi semata, sementara aspek sosial, adat-budaya dan ekologi yang harusnya mendapatkan tempat teratas yang turut menjadi pertimbangan justeru seringkali ”diabaikan”. Akibatnya, cita-cita pembangunan itu malah kandas dan menyisakan masalah bagi warga. Bila demikian, pantaskah kebijakan dengan ”rayuan” kesejahteraan tersebut dikatakan sebagai sebuah pembangunan bila hasilnya bukan malah memberikan kemakmuran, tetapi malah merugikan masyarakat dan lingkungannya yang harusnya dilindungi oleh Negara (Pemerintah)?
Dengan demikian, upaya menumbuhkan kesadaran rakyat dengan memahami sejumlah dampak sebagai akibat dari kebijakan perluasan perkebunan monokultur yang juga sekaligus sebagai potensi ancaman bagi kehidupan sosial dan ekologi menjadi penting. Ketika rakyat kian kritis berjuang secara sadar dan berdaulat atas sumber daya alam, maka sesungguhnya negara berhasil ”mencerdaskan” warganya. Sebaliknya, bila warganya hanya menjadi penonton dan bukan tuan serta hanya bersifat acuh (tidak peduli) terhadap kebijakan pembangunan (tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi) pengelolaan sumber daya alam misalnya, maka patut dipertanyakan serta dapat menjadi sebuah refleksi bahwa sesungguhnya negara (pemerintah) gagal “mencerdaskan” warganya. Sedikitnya ada sejumlah persoalan yang MENJADI potensi ANCAMAN (Tulah) yang dihadapi terkait dengan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur diantaranya; 1) Tanah masyarakat diambil perusahaan, 2) Konflik terjadi di masyarakat, 3) Kriminalisasi terhadap masyarakat, 4) Budaya di masyarakat hilang, 5) Krisis pangan di kampung, 6) Hutan menjadi hilang, 7) Binatang dihutan Musnah, 8) Tumbuhan obat-obatan di hutan hilang, 9) Terjadi bencana banjir, 10) Terjadi bencana kekeringan, 11) Terjadi bencana asap, 12) Terjadi krisis air bersih, 13) Tanam tumbuh dan Tembawang masyarakat menjadi lenyap, 14) Sungai-sungai menjadi rusak, 15) Penyumbang emisi karbondioksida diatmosfir, 16, Penyumbang terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, dan 17) Lahan Gambut Rusak.
Komitmen Pemerintah untuk melakukan ”moratorium” dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan seiring dengan upaya mengurangi dampak dari pemanasan global yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim sejatinya baik adanya. Karena dalam dalam tataran realita dilapangan akumulasi emisi akibat aktifitas manusia telah memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para nelayan. Namun demikian, dengan lahirnya Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2009 yang memberikan ruang untuk pemanfaatan Lahan Gambut untuk dapat di konversi Budidaya Perkebunan Sawit. Padahal sebagaimana diketahui kawasan Gambut merupakan areal penting yang perlu diselamatkan. Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi (emisi).
Ekosistem lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air, juga sebagai kawasan sumber flora dan fauna (sumber daya alam hayati). Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 ini jelas menjadi ancaman bagi ekosistem gambut dan masa depan bumi. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut juga telah diatur dalam Keppres Nomor 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Lahan gambut Kalbar seluas 1,72 juta Ha perlu diselamatkan dari kebijakan yang hanya mengutamakan keuntungan ekonomi semata, karena kita tidak punya cadangan bumi baru. Peran serta semua pihak menjadi urgen untuk melakukan antisipasi bersama dengan menekan laju dampak perubahan iklim yang telah mempengaruhi iklim kehidupan ekonomi, sosial, budaya, adat istiadat masyarakat. [div riset dan kampanye]
Atas nama pembangunan, hutan-tanah-air sebagai sumber hidup dan kehidupan diambang kehancuran. Hutan sebagai ”apotik dan supermarket” masyarakat selama ini secara pasti hilang, karena pembukaan kawasan hutan skala besar tanpa menyisakan sebatang pohon pun seperti perkebunan sawit sama artinya dengan menghilangkan fungsi hutan. Kebijakan perluasan perkebunan sawit melalui program pembangunan dalam kenyataannya lebih mengedepankan aspek keuntungan ekonomi semata, sementara aspek sosial, adat-budaya dan ekologi yang harusnya mendapatkan tempat teratas yang turut menjadi pertimbangan justeru seringkali ”diabaikan”. Akibatnya, cita-cita pembangunan itu malah kandas dan menyisakan masalah bagi warga. Bila demikian, pantaskah kebijakan dengan ”rayuan” kesejahteraan tersebut dikatakan sebagai sebuah pembangunan bila hasilnya bukan malah memberikan kemakmuran, tetapi malah merugikan masyarakat dan lingkungannya yang harusnya dilindungi oleh Negara (Pemerintah)?
Dengan demikian, upaya menumbuhkan kesadaran rakyat dengan memahami sejumlah dampak sebagai akibat dari kebijakan perluasan perkebunan monokultur yang juga sekaligus sebagai potensi ancaman bagi kehidupan sosial dan ekologi menjadi penting. Ketika rakyat kian kritis berjuang secara sadar dan berdaulat atas sumber daya alam, maka sesungguhnya negara berhasil ”mencerdaskan” warganya. Sebaliknya, bila warganya hanya menjadi penonton dan bukan tuan serta hanya bersifat acuh (tidak peduli) terhadap kebijakan pembangunan (tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi) pengelolaan sumber daya alam misalnya, maka patut dipertanyakan serta dapat menjadi sebuah refleksi bahwa sesungguhnya negara (pemerintah) gagal “mencerdaskan” warganya. Sedikitnya ada sejumlah persoalan yang MENJADI potensi ANCAMAN (Tulah) yang dihadapi terkait dengan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur diantaranya; 1) Tanah masyarakat diambil perusahaan, 2) Konflik terjadi di masyarakat, 3) Kriminalisasi terhadap masyarakat, 4) Budaya di masyarakat hilang, 5) Krisis pangan di kampung, 6) Hutan menjadi hilang, 7) Binatang dihutan Musnah, 8) Tumbuhan obat-obatan di hutan hilang, 9) Terjadi bencana banjir, 10) Terjadi bencana kekeringan, 11) Terjadi bencana asap, 12) Terjadi krisis air bersih, 13) Tanam tumbuh dan Tembawang masyarakat menjadi lenyap, 14) Sungai-sungai menjadi rusak, 15) Penyumbang emisi karbondioksida diatmosfir, 16, Penyumbang terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim, dan 17) Lahan Gambut Rusak.
Komitmen Pemerintah untuk melakukan ”moratorium” dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan seiring dengan upaya mengurangi dampak dari pemanasan global yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim sejatinya baik adanya. Karena dalam dalam tataran realita dilapangan akumulasi emisi akibat aktifitas manusia telah memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para nelayan. Namun demikian, dengan lahirnya Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2009 yang memberikan ruang untuk pemanfaatan Lahan Gambut untuk dapat di konversi Budidaya Perkebunan Sawit. Padahal sebagaimana diketahui kawasan Gambut merupakan areal penting yang perlu diselamatkan. Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi (emisi).
Ekosistem lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air, juga sebagai kawasan sumber flora dan fauna (sumber daya alam hayati). Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 ini jelas menjadi ancaman bagi ekosistem gambut dan masa depan bumi. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut juga telah diatur dalam Keppres Nomor 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Lahan gambut Kalbar seluas 1,72 juta Ha perlu diselamatkan dari kebijakan yang hanya mengutamakan keuntungan ekonomi semata, karena kita tidak punya cadangan bumi baru. Peran serta semua pihak menjadi urgen untuk melakukan antisipasi bersama dengan menekan laju dampak perubahan iklim yang telah mempengaruhi iklim kehidupan ekonomi, sosial, budaya, adat istiadat masyarakat. [div riset dan kampanye]
S E R U A N PANITIA BERSAMA PERINGATAN HARI LINGKUNGAN HIDUP 2010 ”PERAMPASAN TANAH MENYEBABKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DI KALIMANTAN BARAT ”
(FRONT MAHASISWA NASIONAL, GMNI, PMKRI, GMKI, GEMPA, HIBER, MATA UMP, UP-LINK, ENGANG GADING, MEPA, IPNU PONTIANAK, WALHI KALBAR LEMBAGA ANGGOTANYA (GEMAWAN, LBBT, ID, PPSHK, RIAK BUMI, PPSDAK-PK, YKSPK), AMAN-KalBar, LANTING BORNEO)
“Selamatkan Hak-hak Rakyat, agar Terciptanya Dunia Baru”
Tanah dan Kekayaan Alam menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat adat/lokal, petani, nelayan, dan masyarakat pekerja pedesaan lainnya. Sebab tanah dan kekayaan alam merupakan podasi dari keberadaan masyarakat itu sendiri. Misalnya di dalam Masyarakat Adat, Tanah dan Kekayaan Alam merupakan sarana untuk mendapatkan kebutuhan baik material maupun spiritual dalam melangsungkan hidup dan kehidupannya. Karya seni dan kebudayaan yang berkembang di dalam masyarakat adat merupakan gambaran hubungan antara manusia dengan Tanah dan Kekayaan Alam.
Petaka yang mengencam keberadaan kaum tani/masyarakat adat serta masyarakat pekerja lainya di desa Wilayah Kalimantan saat ini. Dimana, diakibatkan sejak penetrasi modal (investasi) masuk semakin dalam ke wilayah Kalimantan dengan melakukan eksploitasi kekayaan alam yang dimiliki. Hutan perawaan dihancurkan tanpa mempedulikan fungsi hutan yang menjadi penyeimbang bagi kehidupan melalui konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH/IUPHHK). Kandungan di dalam perut bumi yang kaya akan bahan tambang dikeruk melaui konsesi Kontrak Karya Pertambangan (KKP). Dan, untuk melanggengkan tanah-tanah kaum tani/masyarakat adat sebagai tanah jajahannya dengan mengambil alih tanah-tanah tersebut untuk dijadikan Perkebuan Kelapa Sawit melalui konsesi Hak Guna Usaha (HGU).
Praktek ini terlihat jelas dari luasnya perkebunan sawit 4,145 Juta , jumlah perusahaan kehutanan pemegang ijin IUPHHK-HA yang masih aktif sebanyak 18 (delapanbelas) unit dan 5 (lima) unit berstatus tidak aktif. IUPHHK/IUPHHK-HA dengan luas konsesi 1.125.785 Ha yang berada di Kabupaten Kubu Raya, Ketapang, Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu (draft Statistik Kehutanan Kalimantan Barat, 2008). Sementara itu pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Provinsi Kalimantan Barat sebanyak 9 (Sembilan ) perusahaan, dengan luas konsesi 781.415,17 Ha , dan tambah lagi 280 ijin kuasa pertambangan dengan luasan 1 juta hektar . Kesemua hal tersebut dilakukan dengan mengabaikan keberadaan masyarakat adat yang sudah turun temurun menguasai, menjaga, memanfaatkan dan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari tanah dan sumber daya alamnya.
Hancurnya hutan akibat penebangan dan hancurnya tanah akibat pertambangan serta berubahnya tanaman rakyat yang heterogen mejadi tananaman homogon (monokultur) berupa perkebunan sawit merupakan realitas yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Penyingkiran masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pekerja desa lainya dari realitas obyektifnya tersebut telah menyebabkan mereka kehilangan penopang bangunan sistem masyarakatnya yakni tanah dan alam dengan segala isinya. Alam dan segala isinya yang secara turun temurun penguasaan dan pengelolaan dilakukan secara komunal oleh masyarakat adat/lokal telah berpindah tangan dan terkonsentrasi (terpusat) pada segelintir orang pengusaha (dalam maupun luar negeri).
Oleh karna itu maka sebagai masyarakat yang merasa prihatin terhadap kondisi lingkungan yang tergabung dalam Panitia Bersama Hari Lingkungan Hidup 2010 menyatakan sebagai berikut :
• Hentikan perampasan tanah Rakyat
• Hentikan Penghancuran kekayaan alam Rakyat
• Hentikan penghancuran hutan
• Hentikan perluasan perkebunan sawit
• Usut tuntas kekerasan, teror dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, dan kaum pekerja lainnya
• Usir perusahaan yang merampas tanah dan menghisap kekayaan alam Rakyat
• Menolak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat lingkungan dan rakyat.
• Menolak sistem yang menghisap, menindas dan merusak tanah dan kekayaan alam rakyat
• Hentikan pemaksaan, penekanan, dan adu domba terhadap kaum tani/masyarakat adat yang mempertahan kan tanah dan kekayaan alam.
PONTIANAK, JUNI 2010
Panitia Bersama Peringatan Hari Lingkungan Hidup 2010
http://beritasore.com/2007/06/13/pemberian-izin-perkebunan-sawit-di-kalbar-capai-4145-juta-hektar/
Rekomendasi Transparansi Dalam Pengusahaan Hutan Bagi Iuphhk-Ha/Ht Menuju Pengelolaan Hutan Lestari Di Provinsi Kalimantan Barat, oleh EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT Project , pontianak february 2010
Data walhi-kalbar
“Selamatkan Hak-hak Rakyat, agar Terciptanya Dunia Baru”
Tanah dan Kekayaan Alam menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat adat/lokal, petani, nelayan, dan masyarakat pekerja pedesaan lainnya. Sebab tanah dan kekayaan alam merupakan podasi dari keberadaan masyarakat itu sendiri. Misalnya di dalam Masyarakat Adat, Tanah dan Kekayaan Alam merupakan sarana untuk mendapatkan kebutuhan baik material maupun spiritual dalam melangsungkan hidup dan kehidupannya. Karya seni dan kebudayaan yang berkembang di dalam masyarakat adat merupakan gambaran hubungan antara manusia dengan Tanah dan Kekayaan Alam.
Petaka yang mengencam keberadaan kaum tani/masyarakat adat serta masyarakat pekerja lainya di desa Wilayah Kalimantan saat ini. Dimana, diakibatkan sejak penetrasi modal (investasi) masuk semakin dalam ke wilayah Kalimantan dengan melakukan eksploitasi kekayaan alam yang dimiliki. Hutan perawaan dihancurkan tanpa mempedulikan fungsi hutan yang menjadi penyeimbang bagi kehidupan melalui konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH/IUPHHK). Kandungan di dalam perut bumi yang kaya akan bahan tambang dikeruk melaui konsesi Kontrak Karya Pertambangan (KKP). Dan, untuk melanggengkan tanah-tanah kaum tani/masyarakat adat sebagai tanah jajahannya dengan mengambil alih tanah-tanah tersebut untuk dijadikan Perkebuan Kelapa Sawit melalui konsesi Hak Guna Usaha (HGU).
Praktek ini terlihat jelas dari luasnya perkebunan sawit 4,145 Juta , jumlah perusahaan kehutanan pemegang ijin IUPHHK-HA yang masih aktif sebanyak 18 (delapanbelas) unit dan 5 (lima) unit berstatus tidak aktif. IUPHHK/IUPHHK-HA dengan luas konsesi 1.125.785 Ha yang berada di Kabupaten Kubu Raya, Ketapang, Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu (draft Statistik Kehutanan Kalimantan Barat, 2008). Sementara itu pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Provinsi Kalimantan Barat sebanyak 9 (Sembilan ) perusahaan, dengan luas konsesi 781.415,17 Ha , dan tambah lagi 280 ijin kuasa pertambangan dengan luasan 1 juta hektar . Kesemua hal tersebut dilakukan dengan mengabaikan keberadaan masyarakat adat yang sudah turun temurun menguasai, menjaga, memanfaatkan dan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari tanah dan sumber daya alamnya.
Hancurnya hutan akibat penebangan dan hancurnya tanah akibat pertambangan serta berubahnya tanaman rakyat yang heterogen mejadi tananaman homogon (monokultur) berupa perkebunan sawit merupakan realitas yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Penyingkiran masyarakat adat, kaum tani dan masyarakat pekerja desa lainya dari realitas obyektifnya tersebut telah menyebabkan mereka kehilangan penopang bangunan sistem masyarakatnya yakni tanah dan alam dengan segala isinya. Alam dan segala isinya yang secara turun temurun penguasaan dan pengelolaan dilakukan secara komunal oleh masyarakat adat/lokal telah berpindah tangan dan terkonsentrasi (terpusat) pada segelintir orang pengusaha (dalam maupun luar negeri).
Oleh karna itu maka sebagai masyarakat yang merasa prihatin terhadap kondisi lingkungan yang tergabung dalam Panitia Bersama Hari Lingkungan Hidup 2010 menyatakan sebagai berikut :
• Hentikan perampasan tanah Rakyat
• Hentikan Penghancuran kekayaan alam Rakyat
• Hentikan penghancuran hutan
• Hentikan perluasan perkebunan sawit
• Usut tuntas kekerasan, teror dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, dan kaum pekerja lainnya
• Usir perusahaan yang merampas tanah dan menghisap kekayaan alam Rakyat
• Menolak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat lingkungan dan rakyat.
• Menolak sistem yang menghisap, menindas dan merusak tanah dan kekayaan alam rakyat
• Hentikan pemaksaan, penekanan, dan adu domba terhadap kaum tani/masyarakat adat yang mempertahan kan tanah dan kekayaan alam.
PONTIANAK, JUNI 2010
Panitia Bersama Peringatan Hari Lingkungan Hidup 2010
http://beritasore.com/2007/06/13/pemberian-izin-perkebunan-sawit-di-kalbar-capai-4145-juta-hektar/
Rekomendasi Transparansi Dalam Pengusahaan Hutan Bagi Iuphhk-Ha/Ht Menuju Pengelolaan Hutan Lestari Di Provinsi Kalimantan Barat, oleh EC-INDONESIA FLEGT SUPPORT Project , pontianak february 2010
Data walhi-kalbar
STOP Rusak Lingkungan!
Upaya perusakan linkungan melalui kebijakan investasi skala besar menjadi keprihatinan. Pulau Kalimantan yang dikenal sebagai “Paru-paru Dunia” terancam keberadaannya, sehingga seruan untuk mencintai Bumi terus digelorakan.
Hal ini yang dilakukan oleh segenap elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Panitia Bersama Peringatan Hari Lingkungan Hidup pada tanggal 5 Juni lalu melalui aksi simpatiknya yang di pusatkan di Bundaran Untan Pontianak. Disamping melakukan orasi dan pembagian selebaran, puluhan aktifis lingkungan tersebut juga melakukan aksi teatrikal dengan membawa sejumlah poster dan dua buah globe buatan menggambarkan bumi yang kian rusak karena ulah manusia. Massa aksi juga melakukan “pemagaran” bundaran Untan dengan pesan-pesan himbauan seperti; “2020 Kalbar Tenggelam, Usir Perusak Lingkungan, 80% Tanah Kalbar Milik Pengusaha dan Di Cari Bumi Baru”.
Berbagai elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Panitia Bersama Peringatan Hari Lingkungan 5 Juni ini terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat bersama anggotanya (Gemawan, LBBT, ID, PPSHK, Riak Bumi, PPSDAK-PK, YKSPK), Front Mahasiswa Nasional, GMNI, PMKRI, GMKI, GEMPA, HIBER, MATA UMP, UP-LINK, ENGANG GADING, MEPA, IPNU PONTIANAK, AMAN-KalBar dan Lanting Borneo.
Sejumlah seruan yang disampaikan Panitia Bersama Hari Lingkungan Hidup 2010 menyatakan sebagai berikut; 1) Hentikan perampasan tanah Rakyat, 2) Hentikan Penghancuran kekayaan alam Rakyat, 3) Hentikan penghancuran hutan, 4) Hentikan perluasan perkebunan sawit, 5) Usut tuntas kekerasan, teror dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, dan kaum pekerja lainnya, 6) Usir perusahaan yang merampas tanah dan menghisap kekayaan alam Rakyat, 7) Menolak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat lingkungan dan rakyat, 8) Menolak sistem yang menghisap, menindas dan merusak tanah dan kekayaan alam rakyat dan 9) Hentikan pemaksaan, penekanan, dan adu domba terhadap kaum tani/masyarakat adat yang mempertahan kan tanah dan kekayaan alam.
Berbagai kegiatan yang telah dirumuskan akan segera di helat dalam rangka Peringatan Hari LH dengan tema ”Perampasan Tanah Menyebabkan Kerusakan Lingkungan Hidup Di Kalimantan Barat ” diantaranya; melakukan aksi Aksi Simpatik 5 Juni 2010 di Bundaran Untan, Seminar ”Deforestasi Akibat Peralihan untuk Perkebunan Skala Besar” tanggal 12 Juni 2010 oleh FMN, Kegiatan Aku Peduli digelar oleh HIBER pada Juni 2010, Seminar "Perempuan dan Lingkungan" oleh Walhi Kalbar Juni 2010, dan akan menggelar Panggung Budaya dan Malam Amal untuk Lingkungan pada Juli 2010 melalui kepanitiaan bersama.
Rangkaian kegiatan sebagaimana dilakukan merupakan bentuk respon berbagai elemen masyarakat sipil atas keprihatinannya terhadap kondisi lingkungan yang kian mengelami degradasi. Berdasarkan data Walhi Kalimantan Barat terkait dengan kebijakan investasi yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan hidup didominasi oleh bidang pembukaan perkebunan monokultur skala besar dan pemberian izin kuasa pertambangan yang saat ini mencapai 1 juta hektar dari luasan izin pertambangan sebanyak 280. sedangkan untuk perkebunan monokultur menguasai sebesar 5 juta hektar dari 15 Groups Perusahaan besar yang ada di Kalbar. Catatan Walhi di Kalbar telah terjadi 200 konflik terkait dengan lahan, pelanggaran HAM, konversi hutan dan gambut. Sedangkan di Indonesia berdasarkan catatan Sawit Watch hingga 2010 terjadi 630 konflik terkait perkebunan sawit. Berbagai bencana dan konflik tersebut terakumulasi menjadi kerawanan terhadap kondisi ekologis. Dalam kurun 13 tahun terakhir, misalnya Walhi mencatat telah terjadi 6.632 bencana terkait ekologi. Deforestasi Hutan, Hilangnya Kehati, Bencana Asap, Banjir, Krisis Air Bersih, Perampasan Tanah dan Kriminalisasi terhadap Masyarakat mendominasi dari ribuan kasus bencana tersebut.
Hal ini yang dilakukan oleh segenap elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Panitia Bersama Peringatan Hari Lingkungan Hidup pada tanggal 5 Juni lalu melalui aksi simpatiknya yang di pusatkan di Bundaran Untan Pontianak. Disamping melakukan orasi dan pembagian selebaran, puluhan aktifis lingkungan tersebut juga melakukan aksi teatrikal dengan membawa sejumlah poster dan dua buah globe buatan menggambarkan bumi yang kian rusak karena ulah manusia. Massa aksi juga melakukan “pemagaran” bundaran Untan dengan pesan-pesan himbauan seperti; “2020 Kalbar Tenggelam, Usir Perusak Lingkungan, 80% Tanah Kalbar Milik Pengusaha dan Di Cari Bumi Baru”.
Berbagai elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Panitia Bersama Peringatan Hari Lingkungan 5 Juni ini terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat bersama anggotanya (Gemawan, LBBT, ID, PPSHK, Riak Bumi, PPSDAK-PK, YKSPK), Front Mahasiswa Nasional, GMNI, PMKRI, GMKI, GEMPA, HIBER, MATA UMP, UP-LINK, ENGANG GADING, MEPA, IPNU PONTIANAK, AMAN-KalBar dan Lanting Borneo.
Sejumlah seruan yang disampaikan Panitia Bersama Hari Lingkungan Hidup 2010 menyatakan sebagai berikut; 1) Hentikan perampasan tanah Rakyat, 2) Hentikan Penghancuran kekayaan alam Rakyat, 3) Hentikan penghancuran hutan, 4) Hentikan perluasan perkebunan sawit, 5) Usut tuntas kekerasan, teror dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, dan kaum pekerja lainnya, 6) Usir perusahaan yang merampas tanah dan menghisap kekayaan alam Rakyat, 7) Menolak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat lingkungan dan rakyat, 8) Menolak sistem yang menghisap, menindas dan merusak tanah dan kekayaan alam rakyat dan 9) Hentikan pemaksaan, penekanan, dan adu domba terhadap kaum tani/masyarakat adat yang mempertahan kan tanah dan kekayaan alam.
Berbagai kegiatan yang telah dirumuskan akan segera di helat dalam rangka Peringatan Hari LH dengan tema ”Perampasan Tanah Menyebabkan Kerusakan Lingkungan Hidup Di Kalimantan Barat ” diantaranya; melakukan aksi Aksi Simpatik 5 Juni 2010 di Bundaran Untan, Seminar ”Deforestasi Akibat Peralihan untuk Perkebunan Skala Besar” tanggal 12 Juni 2010 oleh FMN, Kegiatan Aku Peduli digelar oleh HIBER pada Juni 2010, Seminar "Perempuan dan Lingkungan" oleh Walhi Kalbar Juni 2010, dan akan menggelar Panggung Budaya dan Malam Amal untuk Lingkungan pada Juli 2010 melalui kepanitiaan bersama.
Rangkaian kegiatan sebagaimana dilakukan merupakan bentuk respon berbagai elemen masyarakat sipil atas keprihatinannya terhadap kondisi lingkungan yang kian mengelami degradasi. Berdasarkan data Walhi Kalimantan Barat terkait dengan kebijakan investasi yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan hidup didominasi oleh bidang pembukaan perkebunan monokultur skala besar dan pemberian izin kuasa pertambangan yang saat ini mencapai 1 juta hektar dari luasan izin pertambangan sebanyak 280. sedangkan untuk perkebunan monokultur menguasai sebesar 5 juta hektar dari 15 Groups Perusahaan besar yang ada di Kalbar. Catatan Walhi di Kalbar telah terjadi 200 konflik terkait dengan lahan, pelanggaran HAM, konversi hutan dan gambut. Sedangkan di Indonesia berdasarkan catatan Sawit Watch hingga 2010 terjadi 630 konflik terkait perkebunan sawit. Berbagai bencana dan konflik tersebut terakumulasi menjadi kerawanan terhadap kondisi ekologis. Dalam kurun 13 tahun terakhir, misalnya Walhi mencatat telah terjadi 6.632 bencana terkait ekologi. Deforestasi Hutan, Hilangnya Kehati, Bencana Asap, Banjir, Krisis Air Bersih, Perampasan Tanah dan Kriminalisasi terhadap Masyarakat mendominasi dari ribuan kasus bencana tersebut.
Akomodir Kepentingan Rakyat untuk Lingkungan Lestari
Senin, 9 Agustus 2010 lalu bertemat di Sekretariat Walhi Kalbar dalam sebuah forum Jumpa Pers, perwakilan warga Seruat dan Mengkalang Guntung yang tergabung dalam Sarikat Tani Kubu Raya (STKR) menyatakan sikap meminta pemerintah terkait untuk mencabut izin usaha dan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sintang Raya yang dinilai telah menimbulkan konflik di masyarakat sekitar konsesi dan perusahaan dinilai telah melakukan penyerobotan areal pertanian serta lahan perkebunan milik warga.
Perusahaan juga menggarap hutan yang menjadi kawasan penyangga di Seruat. Lahan perusahaan dianggap telah tumpang tindih. Perusahaan yang bergerak dalam bidang pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit ini juga dianggap tidak memiliki dokumen AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) saat beroperasinya perusahaan tersebut sejak pertengahan tahun 2006. Selanjutnya dalam catatan warga Seruat, perusahaan ini juga telah menggarap kawasan berlahan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter. Warga meminta AMDAL yang dikeluarkan beberapa tahun setelah perusahaan melakukan sejumlah aktifitas untuk dikaji ulang. Warga meminta pihak Perusahaan dan Pemerintah bertanggungjawab atas bencana banjir di Seruat dan sekitarnya. Serta meminta agar upaya propokasi terhadap warga agar menyerahkan tanah kepada pihak perusahaan dihentikan!
Sejumlah point dari fenomena di masyarakat yang menjadi landasan keberatan warga tersebut adalah “dosa perusahaan” yang penting untuk dipertimbangkan oleh pemerintah daerah (Kubu Raya) dan sejumlah pihak terkait untuk melakukan langkah strategis menyikapi kasus PT. Sintang Raya yang memperoleh izin seluas 20.000 Ha sejak tahun 2004 itu dalam upaya mengakomodir kepentingan rakyat untuk lingkungan lestari.
Besarnya potensi konflik terkait pembukaan kawasan hutan dan wilayah kelola rakyat untuk kepentingan perkebunan monokultur tidak dapat terbantahkan ketika selama ini yang seringkali ditemui dalam prakteknya bahwa prinsip FPIC (Free, Prior, Informed and Concent) sering kali diabaikan. Prinsip FPIC merupakan sebuah sebuah instrument untuk mengakomodatif kepentingan warga dengan memberikan informasi secara utuh tentang dampak keberadaan sebuah proyek pembangunan dan kemudian memberikan ruang kebebasan bagi warga untuk menentukan pilihan pembangunan dengan sadar terkait dengan sikap menerima dan atau menolak! Dalam hal ini, pihak masyarakat mestinya menjadi penentu dari setiap kebijakan pembangunan yang akan dilakukan di daerahnya, dan masyarakatlah yang sungguh-sungguh memahami kebutuhan di daerahnya.
Orientasi untuk mengembangkan aspek ekonomi semata seringkali menjadi alasan priotitas diterimanya korporasi untuk membuka kawasan hutan, sementara aspek sosial-budaya-adat dan kepentingan untuk ekologi seakan tidak menjadi pertimbangan mendasar yang sangat penting dipertimbangkan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya sejumlah “dosa perusahaan” terkait dengan syarat sejumlah dokumen administrasi yang tidak dipenuhi. Dalam hal ini sebagaimana amanat Permentan Nomor 26 Tahun 2007 mengenai Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan pasal 15 poin (i) yang mensyaratkan perlu adanya hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Sisi lain dari kebijakan pemerintah yang kontradiktif dengan semangat “moratorium” untuk penyelamatan lingkungan yang didengungkan selama ini adalah ketika hadirnya Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budi Daya Kelapa Sawit. Kebijakan ini justeru memberikan celah bagi korporasi untuk dapat semakin leluasa menambah peliksnya persoalan lingkungan.
Betapa tidak? Komitmen Pemerintah untuk melakukan ”moratorium” dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan seiring dengan upaya mengurangi dampak dari pemanasan global yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim sejatinya baik adanya. Karena dalam dalam tataran realita dilapangan akumulasi emisi akibat aktifitas manusia telah memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para nelayan. Namun demikian, dengan lahirnya Permentan Nomor 14 Tahun 2009 yang memberikan ruang untuk pemanfaatan Lahan Gambut untuk dapat di konversi Budidaya Perkebunan Sawit, membuktikan bahwa keberpihakan pemangku kebijakan masih perlu dipertanyakan dalam semangat penyelamatan lingkungan. Padahal sebagaimana diketahui kawasan Gambut merupakan areal penting yang perlu diselamatkan. Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi (emisi).
Ekosistem lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air, juga sebagai kawasan sumber flora dan fauna (sumber daya alam hayati). Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 ini jelas menjadi ancaman bagi ekosistem (gambut khususnya) dan masa depan bumi umumnya. Apalagi batasan kedalaman gambut yang digarap oleh korporasi tersebut melebihi angka yang telah ditentukan dan secara otomatis bertentangan dengan konstitusi.
Apa yang disampaikan warga tentunya tidak berlebihan, terlebih dengan fenomena dan dampak dari kondisi buruknya lingkungan yang telah dipetik hasilnya melalui bencana banjir di Seruat dan sekitarnya. Kejadian ini kemudian memberikan sejumlah dampak seperti gagal panen yang dialami petani. Pemerintah Kubu Raya selayaknya mengakomodir kepentingan warganya. Upaya ”adu domba” yang selama ini dialami warga harus segera di hentikan. Jangan ada lagi perampasan tanah dan konflik oleh karena hadirnya kebijakan pembangunan perkebunan monokultur dengan dalih kesejahteraan. Pemerintah yang mengklaim diri pro terhadap rakyat mutlak melakukan langkah kongkrit melalui kebijakan yang tidak melukai hati rakyat. Bagaimanapun warga Seruat dan sekitarnya yang menjadi korban atas kebijakan Pembangunan harus mendapatkan perhatian yang sama dengan warga negeri lainnya, karena bila lingkungan rusak sudah pasti masa depan akan suram!!! Selayaknya Pemerintah Mengakomodir Kepentingan Rakyat yang menjadi korban pembangunan untuk kepentingan Lingkungan yang lestari.
Perusahaan juga menggarap hutan yang menjadi kawasan penyangga di Seruat. Lahan perusahaan dianggap telah tumpang tindih. Perusahaan yang bergerak dalam bidang pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit ini juga dianggap tidak memiliki dokumen AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) saat beroperasinya perusahaan tersebut sejak pertengahan tahun 2006. Selanjutnya dalam catatan warga Seruat, perusahaan ini juga telah menggarap kawasan berlahan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter. Warga meminta AMDAL yang dikeluarkan beberapa tahun setelah perusahaan melakukan sejumlah aktifitas untuk dikaji ulang. Warga meminta pihak Perusahaan dan Pemerintah bertanggungjawab atas bencana banjir di Seruat dan sekitarnya. Serta meminta agar upaya propokasi terhadap warga agar menyerahkan tanah kepada pihak perusahaan dihentikan!
Sejumlah point dari fenomena di masyarakat yang menjadi landasan keberatan warga tersebut adalah “dosa perusahaan” yang penting untuk dipertimbangkan oleh pemerintah daerah (Kubu Raya) dan sejumlah pihak terkait untuk melakukan langkah strategis menyikapi kasus PT. Sintang Raya yang memperoleh izin seluas 20.000 Ha sejak tahun 2004 itu dalam upaya mengakomodir kepentingan rakyat untuk lingkungan lestari.
Besarnya potensi konflik terkait pembukaan kawasan hutan dan wilayah kelola rakyat untuk kepentingan perkebunan monokultur tidak dapat terbantahkan ketika selama ini yang seringkali ditemui dalam prakteknya bahwa prinsip FPIC (Free, Prior, Informed and Concent) sering kali diabaikan. Prinsip FPIC merupakan sebuah sebuah instrument untuk mengakomodatif kepentingan warga dengan memberikan informasi secara utuh tentang dampak keberadaan sebuah proyek pembangunan dan kemudian memberikan ruang kebebasan bagi warga untuk menentukan pilihan pembangunan dengan sadar terkait dengan sikap menerima dan atau menolak! Dalam hal ini, pihak masyarakat mestinya menjadi penentu dari setiap kebijakan pembangunan yang akan dilakukan di daerahnya, dan masyarakatlah yang sungguh-sungguh memahami kebutuhan di daerahnya.
Orientasi untuk mengembangkan aspek ekonomi semata seringkali menjadi alasan priotitas diterimanya korporasi untuk membuka kawasan hutan, sementara aspek sosial-budaya-adat dan kepentingan untuk ekologi seakan tidak menjadi pertimbangan mendasar yang sangat penting dipertimbangkan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya sejumlah “dosa perusahaan” terkait dengan syarat sejumlah dokumen administrasi yang tidak dipenuhi. Dalam hal ini sebagaimana amanat Permentan Nomor 26 Tahun 2007 mengenai Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan pasal 15 poin (i) yang mensyaratkan perlu adanya hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Sisi lain dari kebijakan pemerintah yang kontradiktif dengan semangat “moratorium” untuk penyelamatan lingkungan yang didengungkan selama ini adalah ketika hadirnya Permentan Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budi Daya Kelapa Sawit. Kebijakan ini justeru memberikan celah bagi korporasi untuk dapat semakin leluasa menambah peliksnya persoalan lingkungan.
Betapa tidak? Komitmen Pemerintah untuk melakukan ”moratorium” dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya hutan seiring dengan upaya mengurangi dampak dari pemanasan global yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim sejatinya baik adanya. Karena dalam dalam tataran realita dilapangan akumulasi emisi akibat aktifitas manusia telah memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para nelayan. Namun demikian, dengan lahirnya Permentan Nomor 14 Tahun 2009 yang memberikan ruang untuk pemanfaatan Lahan Gambut untuk dapat di konversi Budidaya Perkebunan Sawit, membuktikan bahwa keberpihakan pemangku kebijakan masih perlu dipertanyakan dalam semangat penyelamatan lingkungan. Padahal sebagaimana diketahui kawasan Gambut merupakan areal penting yang perlu diselamatkan. Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi (emisi).
Ekosistem lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air, juga sebagai kawasan sumber flora dan fauna (sumber daya alam hayati). Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 ini jelas menjadi ancaman bagi ekosistem (gambut khususnya) dan masa depan bumi umumnya. Apalagi batasan kedalaman gambut yang digarap oleh korporasi tersebut melebihi angka yang telah ditentukan dan secara otomatis bertentangan dengan konstitusi.
Apa yang disampaikan warga tentunya tidak berlebihan, terlebih dengan fenomena dan dampak dari kondisi buruknya lingkungan yang telah dipetik hasilnya melalui bencana banjir di Seruat dan sekitarnya. Kejadian ini kemudian memberikan sejumlah dampak seperti gagal panen yang dialami petani. Pemerintah Kubu Raya selayaknya mengakomodir kepentingan warganya. Upaya ”adu domba” yang selama ini dialami warga harus segera di hentikan. Jangan ada lagi perampasan tanah dan konflik oleh karena hadirnya kebijakan pembangunan perkebunan monokultur dengan dalih kesejahteraan. Pemerintah yang mengklaim diri pro terhadap rakyat mutlak melakukan langkah kongkrit melalui kebijakan yang tidak melukai hati rakyat. Bagaimanapun warga Seruat dan sekitarnya yang menjadi korban atas kebijakan Pembangunan harus mendapatkan perhatian yang sama dengan warga negeri lainnya, karena bila lingkungan rusak sudah pasti masa depan akan suram!!! Selayaknya Pemerintah Mengakomodir Kepentingan Rakyat yang menjadi korban pembangunan untuk kepentingan Lingkungan yang lestari.
Langganan:
Postingan (Atom)