Pontianak, 20 Desember 2010. Luas perkebunan di Indonesia saat ini 9, 1 juta ha dan target yang mau di wujudkan oleh pemerintah melalui deptan hingga tahun 2020 adalah 15 juta ha dengan target produksi Crude Palm Oil hingga 40 juta Ton CPO/ tahun. Dengan luasan perkebunan saat ini, Indonesia memproduksi 21 juta ton CPO dan sekitar 17 % di antaranya adalah diperuntukkan export.
Posisi Indonesia saat ini adalah Negara produsen CPO nomor satu dan setelahnya adalah Malaysia. Dan karena itu Indonesia melalui pemerintah departemen pertanian terus melakukan kampanye putih terkait dengan perusahaan kebun yang beroperasi di Indonesia yang di tuduh melanggar Hak Asasi Manusia dan merusak hutan hingga penyebab pemanasan Global.
Dari apa yang di lakukan oleh pemerintah tersebut adalah bagian dari strategi global untuk pemenuhan target produksi untuk kepentingan pasar. Pemerintah sangat resisten melawan pihak-pihak civil society yang menyebutkan perusahaan kebun Indonesia banyak melanggar HAM. Sifat reaktif pemerintah kami menilai sangat “naïf” karena tidak di ikuti dengan praktek pembenahan baik kebijakan pemerintah maupun proses pengawasan dan pelayanan cepat penyelesaian pengaduan kasus masyarakat.
Di samping kami menyoroti soal kebijakan pemerintah sebagai momok awal munculnya pelanggaran HAM dan terkait dengan soal prilaku aparatur elit juga di tambah dengan prilaku perusahaan kebun yang dalam prakteknya jauh dari penghormatan terhadap HAM. Beberapa hal terkait dengan operasi perusahaan yang terkait dengan praktek pelanggaran HAM adalah :
1. Dalam hal operasi pembangunan perkebunan skala besar atau dalam hal perolehan tanah untuk pembangunan kebun skala besar yang di lakukan dengan cara paksa atau cara gusur yang di ikuti dengan praktek kriminalisasi. Masyarakat adat terus mendapatkan dampak buruh dalam situasi ini.
2. Pembangunan perkebunan yang berada di luar skema kontrak yang berdasarkan persetujuan masyarakat. Perusahaan kebun dalam kontek ini mengabaikan hak-hak petani kelapa sawit dan buruh kebun.
a. Beberapa realitas yang ada adalah, perusahaan kebun mengambil skema yang lebih menguntungkan perusahaan kebun dengan mengubah pola skema kemitraan dari proses persetujuan awal dengan petani.
b. Praktek pabrik yang tidak menghormati asas tanggungjawab dan keterbukaan kepada petani mitra baik itu dilakukan dengan penggelapan hasil produksi dengan sortasi buah yang melebihi ambang batas dan menentukan harga Tandan Buah Segar yang di tentukan secara sepihak.
c. Petani kelapa sawit yang selalu di rugikan oleh praktek buruk perusahaan kebun dengan pembangunan kebun setengah hati bagi petani plasma, konversi kebun yang tidak tepat waktu. Hal ini akibat dari praktek penggelapan kredit milik petani kelapa sawit.
d. Buruh kebun yang statusnya dalam kontrak dan nasib tak jelas menjadi bagian dari pelanggaran perusahaan kebun bagi komunitas. Penghormatan pekerja dan hak asasi hidupnya di lakukan dengan status kontrak yang bisa di bilang sebagai pengabaian terhadap hak hidup.
3. Beberapa masalah ini di dukung dengan tata pemerintahan yang buruk di mana proses pengawasan yang lemah serta proses melahirkan kebijakan politik perkebunan yang selalu di bumbui dengan isu korupsi di dalam perkebunan dan selalu bersifat politik.
SPKS mencatat; selama tahun 2010 sekitar 129 petani yang di kriminalisasi seluruh Indonesia dan sebanyak 20 korban jiwa di antaranya berada di 5 kabupaten di Kalimantan barat, yakni ketapang sebanyak 2 orang dengan perusahaan sinas mas, kabupaten singkawang sebanyak 10 orang dengan perusahaan patiware, kabupaten sintang sebanyak 6 orang dengan perusahaan sintang raya, dan di kabupaten sanggau sebanyak 1 orang dengan perusahaan borneo ketapang permai kabupaten Kapuas hulu sebanyak 1 orang dengan perusahaan sinar mas.
Terkait dengan hal ini kami mendesak kepada pemerintah untuk;
1. Menggunakan prinsip FPIC (persetujuan bebas masyarakat tanpa paksa) dalam pembangunan kebun untuk menghindari pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam pembangunan kebun. Menghormati hak komunitas adalah yang paling penting dalam mengambil keputusan yang benar baik dalam hal memunculkan kebijakan politik para aparatur pemerintah maupun dalam operasi pembukaan kebun oleh perusahaan.
2. Untuk mengurangi eskalasi konflik, sebaiknya polisi tidak di libatkan dalam proses-proses operasi perkebunan. Karena kami memiliki catatan bahwa keterlibatan polisi di dalam perkebunan justru memperuncing persoalan kecil menjadi masalah yang lebih besar.
3. Pemerintah sebaiknya menghormati hak-hak buruh karena kontribusi besar dalam peningkatan produski CPO Indonesia adalah peran para pekerja. Semestinya, pemerintah daerah menerapkan upah layak bagi buruh sesuai dan menaikan drajat buruh dari statuh harian lepas menjadi buruh tetap.
4. Sudah hampir satu abad perkebunan di Indonesia ( maret 1911), namun nasib petani kelapa sawit masih terbelakang. Karena itu penting memperhatikan posisi petani kelapa sawit dengan perkebunan sawit nasional dengan memposisikan petani kelapa sawit sebagai subyek penting. Kami menilai, saat ini segelintir orang (pengusaha kebun) yang menjadi subyek penting saat ini sehingga perkebunan kita masih bercirikan kolonialisme. Karena itu penting untuk melakukan transformasi struktur perkebunan untuk menghormati hak-hak petani kelapa sawit. Kami yakin dengan menjadikan petani sebagai subyek penting satu-satunya di dalam perkebunan, perkebunan sawit Indonesia akan jauh dari pelanggaran HAM dan perkebunan Indonesia akan bersih dan semakin kuat.
Kontak person :
Abed Nego Tarigan (direktur Exekutif Sawit Watch), Mansuetus Darto: kordinator forum Nasional SPKS, Arifin Panjaitan (SPKS SEKADAU), Nursianus (SPKS SANGGAU), Hendi Candra (direktur WALHI KALBAR), Agus Sutomo (gemawan)
Jumat, 04 Maret 2011
Langganan:
Postingan (Atom)