Minggu, 03 Oktober 2010

Kriminalisasi Masyarakat (Adat) atas Pemanfaatan SDA?

By. Hendrikus Adam*
(Aktifis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat)


Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara. Pernyataan yang dicetuskan oleh rakyat Indonesia (masyarakat adat/MA) dari berbagai penjuru nusantara dalam Kongres I Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta tahun 1999 ini boleh dibilang sebagai bentuk ”perlawanan” dan juga ”protes” atas sikap negara (pemerintah) yang cenderung mengabaikan eksistensi MA. Pernyataan ini tentunya sangat argumentatif, karena MA telah ada jauh sebelum negara Republik Indonesia ini dideklarasikan sebagai negara yang berdaulat pada 17 Agustus 1945 silam. Sisi lain dari keberadaan MA, juga sebagai bagian dari warga di negeri ini. Sebagain bagian dari makhluk di dunia, kehadiran setiap pribadi masyarakat memiliki harkat dna martabat yang sama.

Didefinisikan, Masyarakat Adat merupakan sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya, serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat. Demikian halnya istilah MA seringkali digunakan dalam istilah yang beragam.

Di beberapa negara lain, banyak istilah yang digunakan untuk menjelaskan masyarakat adat, misalnya first peoples di kalangan antropolog, first nation di Amerika Serikat dan Kanada, indigenous cultural communities di Filipina, bangsa asal dan atau orang asli untuk sebutan di Malaysia. Sedangkan di tingkat PBB penggunaan indigenous peoples tertuang dalam deklarasi PBB (draft on the UN declaration on the Rights of the Indigenous Peoples). Di Indonesia, berdasarkan versi pemerintah menyebutnya dengan Istilah “masyarakat hukum adat” atau “masyarakat tradisional”.

Istilah Masyarakat Adat mulai disosialisasikan di Indonesia pada tahun 1993 setelah sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, akademisi dan aktivis organisasi non pemerintah (Ornop) menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai suatu istilah umum pengganti sebutan yang sangat beragam. Pada saat itu, secara umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat pembangunan. Sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka masing-masing (Artikel utama dalam WACANA HAM, Media Pemajuan Hak Asasi Manusia, No. 10/Tahun II/12, Juni 2002, Jakarta). Pemahaman mengenai Masyarakat Adat tentunya tidak hanya merujuk pada etnis/kelompok tertentu, tetapi sangat luas meliputi segenap warga yang masih memelihara sistem nilai adat dan budayanya dengan keberadaan SDA yang masih tetap terjaga.

Lantas bagaimana dengan nasib MA saat ini? Masyarakat adat sebagai bagian dari komponen masyarakat sipil cenderung (senantiasa) berada pada posisi lemah, dan rentan terhadap perlakuan refresif manakala berhadapan dengan pemodal dan aparatur negara khususnya dalam upaya menuntut hak dan keadilan terhadap kondisi sosial-ekologi yang berkelanjutan. Perjuangan warga terhadap akses dan kontrol rakyat atas lingkungannya seringkali dikesampingkan. Dengan posisi yang lemah tersebut menjadikan masyarakat cenderung kurang ”berani” dan potensial untuk selalu mendapat dampak buruk.

Upaya dan tantangan atas perjuangan yang dialami masyarakat adat di Kalimantan Barat, mempunyai dinamika tersendiri. Sebagai bagian penduduk di bumi ini, warga Kalimantan Barat dengan latar belakang yang beragam dan tinggal (umumnya) di pedalaman dalam kesehariannya senantiasa berhubungan langsung dengan alam dan lingkungannya. Potensi sumber daya berupa hutan, tanah dan air adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dari hidup dan kehidupan masyarakat adat yang senantiasa menggantungkan hidupnya pada hasil bumi. Hutan, tanah dan air merupakan alat produksi bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan.

Massifnya kebijakan investasi skala besar dalam bentuk perkebunan sawit, pertambangan, HPH, HTI dan lainnya sebagai bentuk dari pemanfaatan sumber daya alam versi penguasa namun memberikan ruang yang sangat memungkinkan terjadinya perampasan atas hak kelola masyarakat (adat) atas potensi alam melahirkan sejumlah konsekuensi logis. Upaya pengelolaan sumber daya alam berbasis kepentingan ekonomi semata, namun cenderung mengesampingkan aspek lingkungan sosial-budaya, adat istiadat dan ekologi adalah jalan pasti menuju kehancuran.

Hal ini dapat dilihat dengan upaya-upaya yang dilakukan selama ini. Atas nama pembangunan dengan dalih kesejahteraan, pemodal yang sedari awal tidak memiliki sejengkal tanahpun memang sangat ”profesional” dalam mewujudkan impiannya dengan ”mengambil alih” kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki masyarakat dengan berbagai cara untuk membuka investasi melalui izin penguasa (Negara). Berbagai iming-iming dan citra positif untuk membuai masyarakat agar dapat diterima seringkali disampaikan secara sepihak yang berakibat pada pelepasan tanah dan sumber daya alam warga dan bahkan berujung pada konflik sosial bila kemudian warga akhirnya sadar dan melawan.

Sedikitnya ada empat mitos yang seringkali digunakan untuk membuai warga soal investasi yakni; memberikan pekerjaan, membuka daerah terisolir, meningkatkan pendapatan asli daerah/PAD dan menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat. Keempat mitos ini tentunya tidak harus ditelan mentah-mentah, bila dikaji lebih kritis maka sesungguhnya keempat dalih tersebut tidak lebih dari ”akal bulus” yang kurang mendasar.

Dampak dari pemberian ruang bertumbuh kembangnya investasi skala besar (perkebunan sawit, pertambangan, HTI) yang menguras sumber daya alam disekitar lahan kelola masyarakat dan bahkan mengabaikan hak-hak MA seringkali memiriskan hati dengan berbagai fakta dan realita yang terjadi selama ini. Sebaliknya, masyarakat yang sadar berjuang dan menolak investasi seringkali dipersalahkan. Kriminalisasi terhadap masyarakat yang menginginkan hutan, tanah dan air nya tetap utuh menjadi fenomena sebagai konsekeunsi sebuah perjuangan melawan kaum bermodal yang mendapat restu dari penguasa.

Berbagai kasus kriminalisasi masyarakat seringkali terjadi disejumlah daerah. Kasus Penangkapan dua warga Semunying Jaya (Momonus/Kades-Jamaludin/BPD) tahun 2006 silam di Bengkayang yang memperjuangkan kedaulatannya, penahanan tiga warga Pelaik Keruap di Kecamatan Menukung Melawi, penahanan dua masyarakat adat (Andi-Japin) di Ketapang yang berjuang mempertahankan hak mereka atas tanah dan SDA dari PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) adalah sejumlah persoalan yang penting menjadi catatan bersama betapa peran negara masih sangat rapuh dalam melindungi hak-hak warganya yang menginginkan kawasan dan alat produksi berupa hutan-tanah-air tetap lestari.

Demikian halnya dengan kriminalisasi terhadap dua orang ibu rumah tangga di Kampung Sanjan Emberas, Kabupaten Sanggau mengambil sisa brondolan sawit yang ”tidak lagi terpakai” oleh pihak perusahaan (PTPN XIII) adalah sisi lain dari sebuah realitas yang terjadi akhir-akhir ini, betapa keberadaan masyarakat adat yang awalnya sebagai pemilik wilayah kelola justeru seringkali harus menelan pil pahit, karena tidak lagi menjadi tuan atas tanah yang dimiliki. Juga terpisah dari lingkungannya. Pendekatan keamanan dengan menggunakan tangan aparat (polisi-brimob dll) dan menempuh jalur hukum negara melalui kriminalisasi masyarakat seringkali menjadi bagian dari cara yang seringkali ditempuh oleh managemen perusahaan investasi (investor) guna melindungi usahanya. Padahal dalam sisi yang lain, pihak aparat tidak semestinya ”ngepam” di areal kawasan perusahaan.

Di Sintang, kriminalisasi oleh pihak pemodal (PT. Finnantara Intiga yang saat ini dimiliki Sinar Mas Group sebagai pemilik saham dominan dan Inhutani III) juga dialami 15 orang warga Sejirak (dua diantaranya dibebaskan) yang membuka lahan untuk perladangan diatas tanah yang secara defakto dimiliki mereka (warga). Selama belasan hari mereka harus mendekam dalam jeruji besi Polres Sintang beberapa waktu lalu (baru ditangguhkan penahanannya sehari sebelum pelantikan Bupati Sintang, 25/8), dan kini masih tetap harus melapor sekali dalam setiap Minggu dengan biaya yang tentu saja tidak sedikit dikeluarkan karena harus menempuh berjam-jam perjalanan lamanya dari kampung menuju Kantor Polres di ibukota Kabupaten Sintang. Dalam setiap kali turun setidaknya seratus ribu harus dirogoh dari saku untuk keperluan turun ke kota Sintang.

Berbagai catatan tersebut adalah bagian dari sejumlah realita dari sekian banyak persoalan yang dihadapi masyarakat kita yang selama ini mengandalkan hidup dan kehidupannya dari kekayaan sumber daya alamnya.

Keberadaan masyarakat di daerah pedalaman khususnya Masyarakat Adat adalah bagian dari warga di republik ini yang memiliki hak sama untuk diperlakukan sebagaimana mestinya secara beradab. Hal ini didasarkan pada pemahaman universal yang harusnya mengakar dalam pemahaman yang sama bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai makhluk ciptaanNya. Sehingga dengan demikian selayaknya dihargai.

Keberadaan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari segala potensi sumber daya alam yang ada di perut bumi adalah sebuah realitas dari kehidupan mereka yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Bagi masyarakat adat (Dayak khususnya), berbagai aspek kehidupan seperti hutan; tanah dan air merupakan tiga komponen sumber hidup dan kehidupan yang sangat vital sebagai penunjang keberlangsungan hidup. Hutan, tanah dan air merupakan ”apotik” dan ”supermarket” bagi masyarakat adat. Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antar satu sama lain.

Atas berbagai dinamika dan sejumlah motif yang dilakukan para spekulan (Pemodal, Penguasa), selayaknya rakyat untuk selalu mawas diri dan berhati-hati dengan didasari sikap kritis. Dengan demikian layak kiranya kita ragukan niat baiknya bila ada para spekulan maupun pihak asing yang merasa ”risih” dengan hutan-tanah-air yang dimiliki masyarakat adat saat ini. Sebuah refleksi berikut kiranya pantas menjadi catatan penting: Salahkah bila kondisi HUTAN yang ada disekitar lingkungan masyarakat adat tetap utuh?; Salahkah bila TANAH yang ada tetap dimiliki oleh rakyat tanpa harus diserahkan pada para spekulan?; Salahkah bila kondisi AIR (sungai dan berbagai sumber air bersih) yang ada tetap bening dengan kesejukan alaminya?

Tentu, ketiga sumber hidup dan kehidupan ini diharapkan tetap menjadi kebanggaan kita bukan? Dan hanya orang serakah yang akan menyangkal dan mengatakan tidak setuju dengan sejumlah pertanyaan refleksi tersebut. Kejadian kriminalisasi yang dialami masyarakat selama ini terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam harusnya mendapat perhatian bersama yang tidak perlu terjadi.

Harus diakui bahwa kriminalisasi adalah buah dari kebijakan pembangunan ketika alat produksi rakyat (hutan-tanah-air) dikuasai para spekulan yang mendapat legalitas dari penguasa. Kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang terjadi selama ini adalah simbol bahwa keberpihakan negara terhadap rakyatnya masih jauh dari harapan. Masyarakat Adat selayaknya dihargai sebagai bagian dari anak negeri yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Jangan ada perlakuan yang tidak adil bagi rakyat. Upaya untuk menghentikan kriminalisasi terhadap warga negeri ini hendaknya massif dilakukan atas dasar niat yang baik, ketika negara dianggap tidak lagi menjadi pelindung bagi rakyat, ketika negara tidak memberikan perlindungan terhadap kondisi yang lestari. Saatnya, perjuangan memang harus dimulai dengan kesadaran dan keyakinan bahwa rakyat memang harus bersatu. Karena KETIKA RAKYAT BERSATU, TAK BISA DI KALAHKAN. Semoga!